Orang baik memdapatkan pasangan halal orang yang buruk. Atau, orang buruk mendapatkan pasangan halal orang yang baik. Untuk yang pertama pasti dianggap kerugian. Untuk yang kedua juga pasti dianggap keberuntungan.
Hemmm… Sulit memang jika apa-apa diukur dengan rugi dan untung. Sebenarnya dalam hal pasangan, kaitannya dengan sabar dan syukur. Orang yang baik mendapatkan pasangan yang buruk adalah ujian yang harus dijalani dengan sabar. Sebaliknya, orang yang buruk mendapatkan pasangan yang baik merupakan anugerah yang harus disyukuri.
Sesungguhnya, harus dipahami bahwa orang baik itu ada yang sejak awal memang baik dan ada orang yang memiliki potensi untuk menjadi baik. Hal inilah yang sering kali tidak dipahami ketika mendapatkan pasangan yang tidak baik. Terlalu mendambakan yang terbaik sehingga hati tertutup untuk melihat orang yang memiliki potensi “baik”.
Akibatnya, ketika tidak mendapatkan pasangan yang baik, merasa doanya tidak dikabulkan atau merasa Allah tidak adil dengan dalih, “Aku ini baik, kok bisa mendapatkan pasangan yang tidak baik?”. Orang seperti inilah yang tidak baik, karena dalam dirinya masih ada kesombongan atau keangkuhan.
Semisal, seseorang yang rajin belajar, bersih-bersih, ibadah, dan selalu kerja keras, ternyata mendapatkan orang yang serba pemalas, malas belajar, orangnya jorok, ibadahnya juga males-malesan. Atau, seseorang yang penyabar, nerima apa adanya, bicaranya santun, sikapnya ramah, dan dermawan, ternyata mendapatkan pasangan pemarah, suka yang uwah, bicaranya nyerocos, sikapnya gak karuan, dan pelit. Hemmm…
Mungkin orang yang baik ditakdirkan mendapatkan yang tidak baik, karena Allah memiliki tujuan agar merubah dia menjadi baik, sebagaimana Allah mengutus Rasulullah di tengah-tengah orang Jahiliyah untuk merubah mereka. Artinya, orang baik tersebut adalah “Rasulullah” bagi pasangannya yang buruk, yang akan memberikan cahaya dan mengantarkan pada jalan Allah. Ungkapan lain, orang baik tersebut menjadi hidayah bagi pasangan yang buruk. Harus tetap husnuzhzhan pada takdir Allah. Husnunzhzhan merupakan “pelarian” yang tepat ketika kenyataan tidak sesuai dengan kehendak kita.
Rasulullah bersabda,
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَبَرَ عَلىَ سُوْءِ خُلُقِ امْرَأَتِهِ أَعْطَاهُ اللهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَا أَعْطَى أَيُّوْبَ عَلَى بَلاَئِهِ
“Barang siapa bersabar atas keburukan kelakuan istrinya maka Allah swt. akan memberi pahala kepadanya seperti pahala yang pernah diberikan Allah swt. kepada Nabi Ayyub as. atas cobaan yang diterimanya”.
وَمَنْ صَبَرَتْ عَلَى سُوْءِ خُلُقِ زَوْجِهَا أَعْطَاهَا اللهُ مِثْلَ ثَوَابِ آسِيَةَ امرَأَةِ فِرْعَوْنَ
“Dan barang siapa bersabar atas keburukan kelakuan suaminya maka Allah swt. memberi pahala kepadanya seperti pahala yang pernah diberikan kepada Asiyah istri Fir’aun”.
#Kisah tentang pasangan halal (istri atau suami) yang memiliki sifat dan karakter buruk
Tentang kisah Asiyah lengkapnya begini, ketika Nabi Musa as. mengalahkan para tukang sihir Fir’aun, keimanan Asiyah semakin mantap. Keimananya kepada Allah sebenarnya sudah lama tertanam di dalam hatinya, dan ia tidak menyatakan Fir’aun (suaminya) sebagai Tuhan. Begitu Fir’aun semakin jelas mengetahui keimanan istrinya, maka ia menjatuhkan hukuman kepadanya.
Kedua tangan dan kakinya diikat. Asiyah ditelentangkan di atas tanah yang panas, wajahnya dihadapkan ke sinar matahari. Manakala para penyiksanya kembali, Malaikat menutup sinar matahari sehingga siksaan itu tidak terasa. Belum cukup siksaan itu dilakukan Fir’aun, ia kembali memerintahkan algojonya supaya menjatuhkan sebongkah batu besar kedada Asiyah.
Manakala Asiyah melihat batu besar itu hendak dijatuhkan padanya, ia berdoa kepada Allah, “Rabbi, ibni ly ‘indaka baitan fil jannah” (Wahai Allah, Tuhanku, bangunkanlah untukku disisi-Mu sebuah gedung di Surga) (QS. At-Tahrim, ayat 11).
Segera Allah memperlihatkan sebuah bangunan gedung di surga yang terbuat dari marmer berwarna mengkilat. Asiyah sangat bergembira, lalu ruhnya keluar menyusul kemudian barulah sebongkah batu besar itu dijatuhkan pada tubuhnya sehingga beliau tidak merasakan sakit, karena jasadnya sudah tidak mempunyai nyawa.
Begitulah kisah seorang istri yang ternyata tetap sabar menjalani agamanya meski hidup bersama suami yang sama sekali tidak memiliki sifat dan karakter yang baik. Berikut ini cerita tentag suami yang bersabar atas keburukan istrinya.
Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa, ada seseorang bermaksud menghadap Umar bin Khattab hendak mengadukan perihal perangai buruk istrinya. Sampai ke rumah yang dituju orang itu menanti Umar ra. di depan pintu. Saat itu, ia mendengar istri Umar mengomeli dirinya, sementara Umar sendiri hanya berdiam saja tanpa bereaksi.
Orang itu bermaksud balik kembali sambil melangkahkan kaki seraya bergumam, ”Kalau keadaan amirul mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan diriku”. Bersamaan itu Umar keluar. Ketika melihat orang itu hendak kembali, Umar memanggilnya dan bertanya, ”Ada keperluan apa?”.
Orang itu menjawab, ”Amirul Mukminin, kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal istriku lantaran suka memarahiku. Tetapi begitu aku mendengar istrimu sendiri berbuat serupa, maka aku bermaksud kembali. Dalam hati aku berkata, “Kalau kedaan Amirul Mukminin saja diperlakukan istrinya seperti itu, bagaimana halnya dengan diriku”.
Lalu Umar berkata kepadanya, ”Saudara, sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari istriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Istriku bertindak sebagai juru masak makananku. Ia selalu membuatkan roti untukku. ia selalu mencucikan pakaian-pakaianku. Ia menyusui anak-anakku, padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. karena itu, aku menerimanya sekalipun dimarahi”.
Lelaki itu berkata lagi, “Amirul mukminin, demikian pulakah istriku?”
Umar menjawab, ”Ya, terimalah marahnya. Karena yang dilakukan istrimu tidak akan lama, hanya sebentar saja.”