Sejarah Shalat Jum`at

0
700

Hukum shalat jum`at merupakan fardlu ’ain, jika telah cukup syarat-syaratnya. Perintah untuk menunaikan shalat jum`at turun di Mekkah. Namun di Mekkah sendiri tidak dilaksanakan waktu itu, karena jumlah orang muslim tidak cukup.[1]

Dinamakan hari jum`at, karena hari itu merupakan saat berkumpulnya orang-orang muslim pada hari itu untuk menunaikan shalat bersama-sama. Hari jum`at pada masa jahiliyah dinamakan yaumul ‘aruubah yang artinya hari rahmat, sebagaimana dikatakan Imam as-Suhaili. Orang yang pertama kalinya menamai jum`at adalah Ka’ab bin Lu’ay.[2]

Ka’ab berkata, “Sesungguhnya Allah SWT. telah melebihkan kota Mekkah atas kota-kota yang lain, melebihkan bulan ramadhan atas bulan yang lain, melebihkan hari jum`at atas hari-hari yang lain. Juga terdapat hadits yang mengatakan bahwa pada hari jum`at terdapat saat dikabulkannya doa”.

Shalat jum`at yang pertama kali dilakukan dalam Islam adalah di kota Madinah, beberapa saat sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Saat itu kaum muslim mengatakan, “orang yahudi mempunyai hari dimana mereka berkumpul, yaitu hari sabtu dan orang nasrani pun mempunyai hari seperti itu. Yaitu hari minggu. Karena itu marilah berkumpul dan menetapkan suatu hari dimana kita mengingat Allah dan memperoleh peringatan di dalamnya.” Kemudian mereka sama-sama menemui As’ad bin Zurarah dan As’ad melakukan shalat jum`at yang pertama kali dalam Islam bersama mereka.[3]

Nabi Muhammad bersama para sahabatnya melaksanakan shalat jum`at yang pertama kali di tempat Salim bin ‘Auf pada sebuah parit. Mereka menjadikan tempat itu sebagai masjid. Rosulullah SAW. Berkhutbah di hadapan mereka dan mengerjakan shalat bersama-sama mereka.[4]

Sayyid Quthub mengatakan dalam tafsirnya bahwa. “Shalat jum`at adalah shalat jama’ah yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan berjama’ah. Ia adalah shalat yang sifatnya mingguan, yang mengharuskan orang-orang muslim untuk berkumpul, bertemu, dan mendengarkan khutbah yang mengingatkan mereka kepada Allah. ( Zhilal al-Qur’an)

Perjalanan seseorang menuju shalat jum`at adalah perjalanan rohani (rihlah ruhaniyah), perjalanan yang menghibur jiwa dan hati, memberi ketenangan dan Kenyamanan pada nurani dan anggota tubuh. Shalat jum`at dapat menumbuhkan jiwa sosial karena berinteraksi dengan masyarakat.

Seseorang dapat berdialog dengan jamaah lain tentang persoalan-persoalan yang penting bagi semua orang, sehingga dia tidak merasa hidup sendirian. Bersama-sama dengan yang lain membuatnya merasa tenang, karena ada yang sehati, seiman, dan sepenanggungan, serta ada pula orang yang siap membantunya secara moral maupun materi. Paling tidak, seseorang yang shalat berjama’ah terbebas dari rasa kesepian,  karena berinteraksi dengan jama’ah lainnya. Selain itu ia terjaga dari penyakit-penyakit yang timbul akibat kesepian jiwa.



[1] Al Makibari, Abdul Aziz, “Fathul Mu’in, Nurul Huda”, Surabaya, hal 39

[2] Al-Kuhli, Hilmi, op.cit, 195-196

[3] Asy- Syarbashi, Ahmad, “Yas’alunaka Fi Ad-Din Wa Al-Hayah”, Dar Al- Jari, Beirut.

[4] Syaukani, Muhammad, “Nailul Authar”, Dar Al-Kutub, Beirut, Juz II, Hal 247

Tinggalkan Balasan