Sebagai langkah awal pembahasan kita kali ini, penulis memandang persoalan ini amat bijak dan menarik untuk dikaji bila dimulai dari firman Allah Swt, sebagai muara dalil pertama hukum Islam dari rentetan-rentetan dalil hukum syar’i secara universal. Segala problem sosial dan timbulnya konflik (selisih pendapat) dikalangan masyarakat pada hakikatnya sudah terkodifikasi komplit dalam lembaran al-Qur’an yakni sebagai nilai fitrah diciptakannya manusia sejak awal.
Allah berfirman dalam al-Qur’an : “ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”.(QS : Surat Hud : 118-119)
Penulis mencoba mengkaji makna ayat di atas, bahwa perbedaan persepsi merupakan suatu hal yang niscaya terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia. Keanekaragaman tersebut lahir disebabkan oleh banyak faktor segi. Antara lain, Ikhtilaf tak dapat dihindari ; ikhtilaf lahir karena banyak sebab termasuk struktur kognitif, budaya, lingkungan (miliu), politik, ekonomi, perbedaan persepsi dan nilai-nilai pribadi (psikologis); dan ikhtilaf dapat mendatangkan rahmat, tetapi juga mengakibatkan bencana yang membahayakan.
Sebagai akar masalah dari perbedaan pandangan tersebut adalah problem produk (ijtihad) hukum Islam (fiqh), yang sampai saat ini masih menjadi diskursus segar yang cukup alot untuk didiskusikan dan dicermati oleh semua kalangan para pemikir Islam, baik yang berkaitan dengan dalil hukum yang subtansial (qhoth’iy) atau asumsi (dhonniy) secara mendasar.
Memang kenyataannya begitu, masyarakat NU sendiri acapkali terjadi selang pendapat disaat mengelaborasi fenomena hukum agama kontemporer yang selalu berkembang pesat saat ini. Sampai-sampai, kontroversi tersebut tak mampu dibendung dengan cara kekeluargaan atau berdamai. Akibatnya, terjadi disintegrasi sosial yang cukup memperihatinkan dan mereka terkubang pada jurang kevakuman (mauquf), statis dan tak menemukan jawaban satupun yang relevan dengan peristiwa (waqi’ah) modern. Selanjutnya, hukum menjadi beku (jumud), kaku, tak stabil, problem sosial selalu menjalar dan kritis tidak teratasi.
Misalnya perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri 1427 Hijriyah yang terjadi beberapa bulan yang lalu, sempat menggemparkan warga muslim utamanya warga nahdhiyyin di seluruh Indonesia. Terjadi keputusan yang berseberangan dalam penentuan hilal yang sebenarnya. Hasil keputusan ru’yah PBNU pusat (selasa 24-11-2006) di Jakarta, bertolak belakang dengan hasil keputusan PWNU (senin 23-11-2006) di Jawa Timur. Nah, kontradiksi fatwa yang semacam ini penting kita pikirkan juga guna mengantisipasi perbedaan pendapat susulan masa akan datang. Menurut pengakuan para ahli ilmu falak diperkirakan tahun 2007, 2008, 2010, 2019, dan 2020 akan terjadi “lebaran kembar”.(Lihat, Susiknan Azhari, Fenomena Perbedaan Idul Fitri Pada Masa Orde Baru : Sebuah Survey Historis).
Penulis beransumsi, bahwa pusat perbedaan hukum Islam lahir disebabkan karena pengambilan signifikansi dalil (istidhlal) dan bersudut pandang dalil yang berlawanan arah baik dari segi intensitas, sanad, perawi, atau aspek historisitas sumber dalil al-Qur’an maupun al-Hadis. Dari sini, penulis amat khawatir jika perselisihan (ikhtilaf) dikalangan Ulama mujtahid, berefek pada malapetaka, bencana, permusuhan atau saling memarginalkan antar sesama muslimnya karena mempertahankan kebenaran argumentasi (hujjah)-nya masing-masing. Yang amat miris lagi, virus perselisihan ini merasuk pada kaum awam bawah sebagai muqallid murni (orang yang mengikuti pendapat mujtahid) terhadap segala keputusan hukum yang dianggap siap saji.
Oleh sebab itu, mujtahid fiqh sebelum menelorkan hukum baru hendaknya mengkaji dan mempelajari konsep Manajemen Ikhtilaf (MI) terlebih dahulu secara komprehensif, obyektif dan proporsional. Bagaimana cara mereka mengelola perselisihan menjadi rahmat, toleran, santun, bijak serta menuai sejuta perdamaian kasih sayang untuk segenap umat Islam. Sebab terjadinya kesenjangan perbedaan hukum Islam dengan gejala kehidupan masyarakat disaat hukum digulirkan, dikhawatirkan akan menimbulkan yang lebih parah atau hukum menjadi pedoman kehidupan yang tak bermakna lagi. Kaidah fiqh mengatakan : “al-khuruju min al-khikaf mustahabbun” (keluar dari khilaf, menjaga agar perbedaan pendapat tidak tajam, adalah dianjurkan).
Dengan Manajemen Ikhtilaf (MI), seseorang (mujtahid) terutama seluruh umat Islam mampu menyikapi setiap perbedaan pandangan baru yang muncul, sehingga menghantarkan mereka kepada idealitas sosial yang tinggi, inklusif bukan ekslusif, moderat bukan ekstrim serta menciptakan suasana yang harmonis, sikap kreatif, toleran, bijaksana dan dinamis.
Sebuah Tawaran
Langkah seorang mujtahid dalam mengelola keragaman produk hukum. Pertama, sadar dan yakin bahwa persinggungan hukum Tuhan merupakan apresiasi rahmat bagi umat di seluruh jagad raya, baik hukum yang bersifat non-literal, substansial, maupun konstektual. Dengan sikap ini mampu menproduk manusia yang beretika luhur, arif dan bijaksana dalam berfatwa. Tidak disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan (saling menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga rasa saling mencintai dan tidak membedakan antara yang satu dengan lainnya.
Kedua, berusaha memahami dan memisahkan ranah dalil hukum yang bersifat asumsi (dalalah dhonniyyah) dengan dalil hukum yang pasti (dalala qhoth’iyyah/substansial), dimana kedua macam dalil tersebut sebagai cikal bakal datangnya hukum baru. Dalil hukum asumtif berarti terbukanya ruang ijtihad menuju kesejahteraan universal (maslahah ‘ammah) bukan kesenangan pribadi (maslahah fardiyyah) semata. Sedangkan dalil subtantif merupakan hukum paten yang tak bisa diotak-atik akal (ijtihad), karena sudah jelas letak kemaslahatannnya.
Ketiga, menghindari dikotomi status (bangsa, keturunan, strata, ras atau umat yang terpisah). Kemanusiaan adalah kehidupan yang sejalan (linier) bukan berlawanan arah. Bukankah kita harus mengulang dan mengkaji kembali hukum universal agama yakni persaudaraan, saling mencintai, tidak bermusuhan dan menghormati pendapat orang lain. Semuanya harus kita pegang dalam setiap langkah kehidupan secara utuh tanpa terpisah apalagi diremehkan. Oleh sebab itu, integrasi bangsa harus kita tegakkan kuat sebagai satu-satunya asas tunggal yang harus diutamakan hingga kita berada dibawah payung kebenaran Tuhan yang abadi.
Keempat, menghindari sifat taashub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan oleh kefanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan bukan sesuatu yang menguntungkan. Khilaf bukanlah perpecahan pendapat yang tidak agung melainkan kemuliaan yang membawa pahala.
Benar sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala”. Paham Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan, bahwa Ikhtilaf yang direstui, ditoleransi dan tidak sampai mengeluarkan pelakunya adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (fiqh,) masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Bukan masalah-masalah ushul al-din (tauhid) yang pasti ditaati dan diikuti tanpa ada ikhtilaf.
Kelima, mengembangkan dan melestarikan tradisi ijma’ (konsensus) dikalangan para mujtahid. Baik ijma’ shorih (konsensus dinamis) maupun ijma’ sukuty (konsensus statis). Langkah demikian ini lebih laik (relevan) sebab mempunyai kapasitas kuat bila ditinjau dari segi pengambilan sumber-sumber dalil syar’i setelah al-Qur’an, dan al-Hadist dilandingkan. Kesepakatan yang bulat akan mencapai kualitas serta intensitas hukum yang lebih unggul (rajih) dan sangat dibenarkan (mu’tabarah). Sebab terbentuknya hukum pada hakikatnya untuk kemaslahatan bersama, diterapkan bersama dengan bertumpu pada kehendak Tuhan (maqasid al-syari’ah).
Reaktualisasi Hukum Islam (Fiqh)
Perubahan dan pengaruh budaya (kultur), kondisi dan waktu sangat mempengaruhi terhadap status hukum. Ibnu Qoyyim berkomentar bahwa “perubahan hukum syar’i dipengaruhi oleh perubahan waktu (azminah), kondisi (ahwaal) dan tempat (amkinah)”. Inilah yang dikatagorikan tajdid al-Hukm (pembaharuan hukum lama menuju hukum yang adaptatif). Ini dimaksudkan agar hukum selalu stabil dan dinamis, tidak jumud (vakum) sesuai kehendak alasan (illat) hukum dan pesan-pesan Tuhan yang sesungguhnya.
Reaktualisasi berarti merenovasi hukum yang dipandang kaku ditengah-tengah problem kehidupan sosial. Dengan ini, seseorang akan menjadi berani menginstinbath hukum agama dengan lebih detail, teliti, komprehensif, obyektif, serta dinamis, tanpa terikat dengan hal sekitar apalagi dirinya merasa terkungkung. Dalil-dalil kuat, syamil dan bertanggungjawab yang dilontarkan seorang mujtahid merupakan karya pemikiran terhormat mereka dalam berdalih dan melahirkan hukum Tuhan yang hakiki. Tradisi kuno, sikap labil dan tindakan semena-mena perlu kita tepis dengan mengukur kebutuhan kehidupan kita secara wajar dan sempurna.
Walhasil, produk istinbath hukum seorang mujtahid yang berbeda dan diyakini kebenarannya adalah reaktualisasi hukum Tuhan yang tak perlu dipersoalkan keberadaannya, melainkan harus diikuti dan direalisasikan, karena perselisihan tersebut merupakan rahmat bagi seluruh umat alam semesta.
Oleh : Ahmad Mu’takif Billah