Membangun Mutu Pendidikan Pesantren

0
733

Pesantren adalah madrasah Islam yang berstatus ganda: terdiri dari pendidikan formal maupun non-formal yang memiliki ciri khas dan budaya yang unik. Ciri khas dan budaya ini membedakan dengan keadaan pendidikan di luar non-pesantren. Salah satu ciri khasnya di dalamnya terdiri dari kaum sarungan (santri) yang setiap harinya dicekoki dengan ilmu umum sekaligus agama klasik yang akrap dikenal dengan “kitab kuning”.

Pesantren dibagi menjadi dua kategori. Pertama, pesantren yang mempertahankan budaya salaf yang bernama “pesantren salaf”. Kedua, pesantren yang tetap dengan budaya salaf-nya sekaligus mengikuti perkembangan budaya modern, pesantren ini populer disebut “pesantren modern”: pesantren yang tidak gagap teknologi-informasi.

Pesantren saat ini tidak seperti persepsi Cliford Geert tiga puluh tahun lalu, yang dianggap tertutup, esotoris, dan ekslusif. Pesantren sekarang jauh lebih maju dan berkembang pesat ketimbang dahulu. Hal ini karena memandang beberapa corak budaya serta pemikiran yang beraneka ragam. Budaya yang tidak sampai keluar haluan agama Islam (syari’at) sampi pemikirannya yang tidak liberal (bebas). Sebab, belakangan ini pengaruh modernisasi dan tradisi liberalisme terbukti melumuri nilai-nilai budaya dan corak pemikiran pesantren yang sudah tertata mapan dibangun.

Kita mengenal seorang Intelektual Muda NU “Ulil Abshar Abdallah” asuhan pesantren—mantu KH. Musthafa Bisri, sampai saat ini pemikirannya dikenal sangat nakal: selalu menyimpang doktrin agama. Tindakannya tidak mencerminkan seorang mujtahid yang hati-hati dalam memutuskan persoalan agama, sehingga membuat bahaya umat lebih-lebih pesantren sebagai sentralnya. Untuk itu, kita di pesantren harus tetap mempertahankan corak budaya dan paradigma pemikiran khas pesantren yang ajeg (istiqamah) tanpa terpengaruh oleh ajaran kotor yang berusaha membius konsentrasi akidah umat. Dengan cara menyelipkan budaya agamis ataupun pola intelektual yang benar. Yakni dengan jalur pendidikan (at-Tarbiyah) yang berkualitas, niscaya akan terbentuk prinsip kokoh yang berada di posisi tengah-tengah (tawassut) tanpa memihak kubu satu maupun lainnya.

Pijakan (mabda’) utama yang harus dipertahankan pesantren, “menjaga paradigma budaya lama yang baik (bermutu), dan mengambil paradigma budaya modern yang lebih nyaman—berkualitas”. Salah satunya, menata pendidikan yang berkualitas serta selektif dalam memilih personalia di dalamnya. Misalnya pesantren lebih inten dalam menangani jam muthala’ah (belajar) santri, diskusi di kelas-kelas, khitobah dan pengembangan mental di kamar-kamar, daripada mengurusi hal-hal lain yang tak berguna bahkan tidak jelas orientasinya.

Lingkungan pesantren haruslah diwarnai dengan nuansa ilmiah yang mengantarkan pada kedewasaan santri dalam berpikir jauh ke depan, bukan sebaliknya kalah bersaing atau kerdil karena keterkungkungan lingkungan yang mengikat. Baiknya, jadikan santri—sahabat berdialog dalam bidang keilmuan bukanlah musuh yang menyebalkan hati. Begitu juga sebaliknya, santri harus siap dikader menjadi insan agamis tanpa ada pembangkangan bahkan hidup bebas-independen tanpa aturan.

Atas dasar itulah, visi misi pesantren ke depan haruslah menitikberatkan kepada peningkatan mutu pendidikannya: bukan kuantitas yang dikejar namun kualitas out put-nya yang didamba-dambakan.

Oleh karenanya, pesantren bisa memahami tujuan dibentuknya pendidikan Islam berbasis modern. Pertama, membentuk manusia yang universal. Hal ini bisa dicapai dengan ahklak (tasawwuf) plus moralitas tinggi. Kedua, menggapai kebahagiaan dunia-akhirat. Dimana kebahagiaan dunia bisa dicapai dengan karir atau profesi, prestasi, keterampilan dan sains. Sedangkan kebahagian akhirat dicapai dengan komitmen beribadah dan sukses menggapai ridlo Tuhan. Ketiga, menjalin hubungan sosial kemasyarakatan untuk membangun solidaritas (mu’akhah) muslimin di seluruh dunia. Benar pepatah berbunyi, “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Tiga tujuan di atas, harus dikuasai pesantren agar pendidikannya lebih terarah (maslahah), berdaya dan berkembang maju sesuai perkembangan dan tuntutan zaman. Khittah pendidikan pesantren sejatinya untuk memproduk insan kamil (profesional) yang mampu mengimbangi menstrim globalisasi, sekaligus memecahkan problem umat.

Misalnya dalam membangun kualitas pendidikan pesantren setidaknya mempunyai target sebagai berikut: pertama, pencapaian tujuan (goal attaiment), pendidikan digambarkan output yang tinggi dalam derajat akademik. Kedua, keefektifan sistem yang ditekankan pada proses dan kondisinya seperti pola pengambilan keputusan yang baik, sistem supervisi, kedisiplinan, proses komunikasi, (Sergiono, 1987, owens, 1987). Ketiga, respon positif lingkungan dalam memberi pengharapan kepercayaan, pengakuan, dan dukungan positif terhadap lembaga pendidikan tertentu. Penelitian Corner dan Got (1983) membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas memberikan layanan yang baik dan memperoleh respon serta dukungan positif dari lingkungan sekitarnya.

Sebagai bandingannya, pakar pendidikan kontemporer menandaskan, setidaknya mutu pendidikan pesantren mempunyai tiga mazhab yang harus digagas. Yaitu mazhab tujuan, mazhab proses, mazhab komprehensif (input-proses-output-outcome). Pesantren sebagai pabrik sains, maka ilmu yang diolah menuntut pada proses pendidikan yang berkompetensi tinggi. Sementara, hal-hal yang berhubungan dengan program kegiatan, materi pendidikan dan proses pengembangan keilmuan santri akan dibahas dan ditelaah ulang sesuai kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan.

Contoh keunggulan mutu pesantren; dalam bidang kurikulum yang terprogram secara sistematis, SDM tenaga pengajar yang handal, dan pengelolaan yang profesional (Sulthon Masyhud dkk, 2003). Serta dalam (Ditdikdas, 1997) digambarkan keunggulan itu meliputi kegiatan belajar mengajar aktif dan menyenangkan, manajemen pendidikan yang efektif dan efisien, buku dan sarana belajar yang memadai dan selalu dalam konsep siap pakai, fisik dan penampilan pesantren yang baik, dan partisipasi aktif masyarakat mencair.

Oleh karena itu, Pesantren harus menjaga potensi pendidikannya semaksimal mungkin, serta tidak lupa mengembangkan ajaran Pure (murni) klasik/salafy yang telah diwariskan ulama-ulama pendahulu kita (Salafûna as-Shâleh). Berkat kegigihan dan perjuangannya, pesantren tersebar di pelbagai pelosok tanah air dunia. Tercatat rata-rata setiap daerah Indonesia mempunyai lembaga pesantren jumlah lebih 20 buah dari tiap propinsi masing-masing. Dengan begitu, pesantren sebagai satu-satunya sub sistem pendidikan nasional bisa mengambil langkah strategis guna mengadakan ekspansi sainstisme agama yang bisa memadukan ajaran agama dengan ilmu terapan kontemporer; misalnya bidang kedokteran, seni, budaya Islam: dengan biaya terjangkau, sekaligus tidak mengurangi kadar kualitasnya.

Oleh : Ahmad Mu’takif Billah

Penulis adalah Pemerhati Pendidikan Pesantren, Alumnus Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo 2007.

Tinggalkan Balasan