Membumikan Barokah di Era Global

0
361

(Mencetak Insan Religius-Modernis)

Perbincangan barokah tak akan pernah lapuk sepanjang zaman, sahut Sang Guru Salaf pesantren. Modern ini nilai-nilai mistis seperti percaya barokah, sudah habis termakan waktu. Budaya salafisme: tawassul, ajaran kesederhanaan (tawassut), tawadhu’, ta’dzim pada guru dan kitab, akhirnya tergeser oleh kecenderungan akal (rasio) semata. Jika baik menurut paradigma akal, maka baik pula segalanya: begitulah dinamika kehidupan liberalis.

Akibatnya, barokah yang bersifat gaib (samar-samar) itu, tidak diyakini kebenaran dan keberadaannya. Mereka lebih percaya pada dunia riil (fakta), yang mampu menebak peran perjalanan hidup manusia sekarang maupun akan datang. Ini masalah besar bagi kaum salafiyyin (zaman klasik) tradisional (kaum sarungan/santri).

Melihat fenomena di atas, pertanyaan yang terbersit yakni bisakah kita mempertahankan eksistensi barokah di era dan area modern rasionalisme saat ini? bagaimana nilai barokah yang diyakini adanya, bisa tumbuh subur kembali di mata kaum modernis?

Untuk menjawabnya tidak cukup hanya mengandalkan lembaga pesantren sebagai satunya-satunya madrasah yang mengajarkan barokah. Akan tetapi, penting diyakini dan dirasakan bahwa barokah nyata ada dan tiada hal yang menolaknya. Langkah-langkah itu bisa dicapai dengan menganalisis makna serta kenyataannya yang terasa pada jiwa kita.

Menganai eksistensi barokah, sebagian ulama klasik mengibaratkan sama halnya dengan orang buta yang berjalan di malam hari tanpa tongkat. Meraba dalam alam kegelapan. Dalam kondisi seperti itu, si buta bisa berjalan normal dan fasih. Demikianlah, barokah digambarkan seperti ilusi yang berada di alam bawah sadar manusia tanpa panca indera yang bisa menangkapnya. Rasio memang tidak menerimanya, akan tetapi yang dapat merasakan mata hati (ain al-bashirah). Diyakini atau tidak, insting berbicara barokah benar ada, tidak tampak dimana tempatnya dan bagaimana bentuknya.

Barokah ditandai dengan ziyadah al-khair yaitu kebaikan yang bertambah sejak pertama kali. Dengan demikian barokah dapat dimaknai dengan perubahan dari keadaan biasa, menjadi luar biasa. Atau nilai plus pada, untuk, bagi siapa yang dikehendaki Allah di antara hamba-hamba-Nya, baik langsung ataupun perantara, sebab lahir berkat karunia dan rahmat Allah semata.

Barokah terjadi di luar prediksi akal atau perasa manusia (sense). Barokah termasuk bagian dari pemberian Allah yang samar (sirriyyah) yang menempati urutan keempat setelah tingkatan karomah. Urutan tersebut jika dirunut sebagai berikut; urhash, mukjizat, karomah, barokah, ma’unah dan yang terakhir atho’. Bila diklasifikasi segi penyalur atau agennya, yang berhak menerima urhash, mukjizat, karomah, barokah, ma’unah adalah Nabi dan Rasul Allah termasuk juga Ulil Azmi (5 orang). Sedangkan karomah, barokah, ma’unah diperuntukan pada Auliyaullah. Barokah, ma’unah dan atho’ dikaruniakan kepada ‘Ibadurrahman dan ‘Abdullah.

Bentuk-bentuknya berupa kenikmatan, kebaikan, keberuntungan, kebahagiaan, kelebihan, kemuliaan, keridlaan atau restu. Bentuk semua ini ghaib dapat dirasakan tapi tidak bisa dilihat. Misalnya hati terasa nikmat, sejuk, senang atau bahagia tengah menjalani tugas apapun yang dikerjakan. Harta (nafkah) yang dimiliki, terkadang terasa memuaskan untuk kebutuhan sanak keluarga, sekalipun pendapatan tak seberapa. Semua ini, kenyataan yang mampu diterka oleh ketajaman mata hati (ain al-bhasirah) serta perasaan setiap manusia.

Sedangkan keberadaan barokah terkadang menempel pada barang atau benda, manusia, tempat, waktu atau masa, dan hal atau sikap perbuatan. Misalnya benda yang kita miliki amat bernilai dan memberi pengaruh pada diri kita. Sebagaimana dalam hadist Rasulullah Saw: “itu makanan barokah, karena makanan itu lezat” (HR. Muslim).

Barokah bisa juga terjadi pada manusia yang dicintai Allah Swt. Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan Imam al-Turmidzi: “Aku dapati pada diri Rasulullah Saw. kelapangan dada dan barokah”. (HR. Turmidzi). Begitu dan seterusnya barokah berada dimana-mana yang mampu diukur dengan nilai kebaikan yang berlipat ganda dan berjalan deras seiring iradah, ridla dan kekuasaan Allah Swt kepada mereka yang berusaha menyakininya.

Di era modernisasi—global ini, barokah hendaknya dipadukan sama, kritis terhadap fenomena kehidupan yang terjadi antara doktrin agama dengan gaya hidup modern. Nilai-nilai barokah bisa menyusup dalam alam dunia teknologi yang menyelaraskan antara konsep modern yang ditawarkan dengan ajaran kesufian (tasawuf). Maka terjadilah kolaborasi ajaran inti agama dengan ajaran modernisasi global, yang nantinya bisa memproduk Ulama—kontemporer.

Untuk itu, penting dihayati bahwa, musnahnya makna dan ajaran barokah di tengah percaturan global diakibatkan oleh serangan paradigma pola pikir masyarakat kapitalis modern yang banyak mengqounter ajaran ghaibisme tradisional yang mayoritas berada di keraton sufi (pesantren), sehingga kesulitan menggempurnya. Harapan penulis, ajaran barokah di pesantren tidak hanya berkutat di area yang sangat sempit, tapi juga di lingkungan kapitalis—modernis di perkotaan begitu juga pedesaan yang terbelakang.

Ajaran barokah berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist. Allah berfirman: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.(QS. al-A’raf : 96). Kemudian sabda Rasulullah: “Telah datang kepadamu Ramadlan, bulan barokah”.

Walhasil, amat jelas bahwa kerangka—logis serta dalil perwujudan barokah. Umat Islam di zaman global ini, harus mampu mengusung, meyakinkan serta membumikan barokah secara cerdas. Karena ajaran ini termasuk nilai-nilai keluhuran agama yang patut disebarluaskan.

Sebagai renungan kita, bahwa ambruknya bangsa sedikit banyak diakibatkan oleh arus rasionalisasi modern yang timpang: hikmah-hikmah agama kering kerontang. Menstrim budaya negatif begitu derasnya merajalela. PR kita, bisakah kita menentukan sikap tengah (tawassut) dengan merefleksikan sikap tawadhu’, tawakkal, qona’ah sekaligus optimis bekerja giat di era global. Sehingga, bisa berjiwa supel yang religius-modernis.

Oleh : Ahmad Mu’takif Billah

Tinggalkan Balasan