Cerdas Menyikapi Problematika Shalat Tarawih

0
386

“Betapa banyak orang mencela pendapat yang benar. Padahal kekeliruannya terletak pada pemahaman yang tidak tepat” (al-Mutanabbi, Diwan)

Sya’ir dari Mutanabbi di atas menggambarkan bahwa di sekitar kita masih banyak orang-orang yang adu argumen, adu dalil, adu debat demi kempuasan, hingga saling memvonis lawan bicaranya salah. Padahal belum tentu pendapat  lawan salah. Salah satu yang sampai saat ini masih diperdebatkan adalah shalat tarawih. Bagai panjangnya pantai, perhelatan diskusi di seputar shalat tarawih seakan tak menemukan ujungnya hingga saat ini. Seperti apa sih sebenarnya Ulama Salaf dahulu menjelaskan perihal shalat tarawih? Simak TA edisi kali ini!

Amat miris dan memilukan kalau hanya lantaran perbedaan pendapat, sesama umat muslim harus pecah berantakan. Perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat malah menjelma menjadi malapetaka. Klaim benar dan salah dalam shalat tarawih adalah suatu hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Namun sampai saat ini, hal itu masih saja menjadi tren negatif yang selalu menghiasi corak masyarakat Indonesia. Seakan Islam adalah  agama pertikaian, “al-lslamu mahjubun bil  Muslim “ Begitulah Muhammad Abduh mengistilahkan.

Fanatik  buta yang tidak diimbangin o!eh pengetahuan yang mendalam sering kali menjadi pemicu konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi. Warga Nahdhiyyin dengan sangat bangga dan berapi-api mengklaim bahwa praktik shalat Tarawih yang dilakukan oleh orang Muhammadiyah adalah salah dan tidak sah. Tidak mau kalah, orang Muhammadiyah bahkan sampai mengklaim bahwa warga Nahdhiyyinlah yang telah melakukan bid’ah yang menyesatkan. Shalat tarawih seakan menjadi biang konflik yang tak berujung.

Buahnya, kemuliaan bulan ramadhan yang menjanjikan taburan rahmat dan magfirah harus ternodai hanya lantaran salah dalam memahami shalat tarawih. Pengetahuan yang tidak utuh dan menyeluruh dalam memahami ajaran agama membuat kita gampang memvonis sesat dan salah terhadap orang atau kelompok lain.

Dari fenomena negatif ini, TA merasa terpanggil untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan holistic terhadap tatalaksana shalat tarawih yang baik dan benar. Dengan begitu, pemahaman ini akan menjadi tolak ukur apakah shalat tarawih orang/kelompok lain benar atau justeru kita yang salah.

Hitungan Raka’at Shalat Tarawih

Di antara seluruh rentetan topik shalat tarawih yang diperdebatkan selama ini, persoalan hitungan rakaat shalat tarawih adalah yang paling seru dan paling sengit. Ada yang mengklaim bahwa shalat tarawih adalah 8 raka’at, ada pula yang mengklaim 20 raka’at, dan bahkan ada yang menegaskan bahwa yang benar adalah 36 raka’at. Perbedaan inilah yang kemudian membuat masyarakat linglung dan pusing harus memilih yang mana. Bahkan saking linglungnya, ada sebagian orang yang lebih baik tak usah shalat tarawih. Wah.. kalau sudah seperti ini kan sudah danger. Lantas mana sih sebenarnya yang benar?

Dalam Fiqh Syafi’iyyah, hitungan rakaat  tarawih  adalah   20  raka’at, sehingga menjadi 23 raka’at ditambah dengain 36 raka’at shalat witir. Syafi’iyyah berpijak pada pernyataan Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa ketentuan hitungan 20 raka’at dalam shalat tarawih berdasarkan riwayat dari Yazid bin Ruman. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Sayyidina Umar ra., memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk shalat sebanyak 20 raka’at di Masjid Nabi saw. Secara berjama’ah dengan orang-orang yang akan shalat tarawih ketika itu. Tindakan Umar bin Khattab ra. ini menjadi ketentuan yang dilestarikan oleh para sahabat lainnya. Sayyidina Utsman bin Affan ra. dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Bahkan, tidak ada yang mengingkari model jama’ah tarawih 20 raka’at ini, sehingga pada akhirnya ketentuan ini menjadi Ijma’. [Al-Um, I: 167; al-Majmu’, IV: 32; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, IV: 9636; al-Hawi al-Kabir, II: 662]

Sedangkan dari Madzhab lainnya, Madzhab Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah, dan Hanabilah juga senada dengan Syafi’iyyah yaitu 20 raka’at. Hanya saja Imam Malik yang agak berbeda yaitu hingga 36 raka’at dan ditambah witir menjadi 39 raka’at. Pendapat Imam Malik ini di dasarkan pada ritual shalat Ahli Madinah yang terdahulu (Penduduk Madinah). Namun, ada satu hal menarik sekali dalam perbedaan ini. Dalam merespon pendapat Imam Malik ini, Imam al-Syafi’i yang notabene super ‘allamah tidak mengomentari salah atau benar. Dalam al-Um, Beliau menyatakan, “Ahlu Madinah shalat tarawih 36 rakaat dan aku lebih memilih yang 20 raka’at.” [al-Um, I: 167; al-Mughniy, II: 159; Hasyiyatu Raddu al-Mukbtar, II: 43; al-Muntaqiy Syarh al-Muwattha’, II: 156]

Sungguh betapa bijak respon dari Sang Imam al-Syafi’i dalam menanggapi perbedaan ini. Seliarusnya ini menjadi tanladan bagi kita dalam menanggapi sebuah perbedaan. Tak usah saling menghujat atau justeru saling menyalahkan. Yang seharusnya disalahkan adalah yang nggak shalat tarawih; yaitu orang-orang yang biasanya shoping dan sibuk ngurusin baju lebaran. Bukankah begitu!

Lantas bagaimana dengan yang 8 raka’at. Dalam hal ini sebenarnya juga tidak bisa langsung diklaim salah atau benar. Karena pada dasarnya memang Nabi sendiri tidak pernah menentukan hitungan dalam shalat tarawih. Memang ada satu qaul dari Saib bin Yazid yang menyatakan bahwa shalat tarawih adalah 8 raka’at berdasarkan shalat Nabi 11 raka’at di suatu malam ramadhan. Namun, persoalannya shalat Nabi tersebut masih belum pasti menunjukkan pada shalat tarawih. Menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, boleh jadi Nabi ketika itu melakukan Shalat witir sebanyak 11 raka’at.

Sedangkan Shalat tarawih yang 20 raka’at sudah sangat terang benderang dilakukan oleh para sahabat. Dan secara logika, shalat tarawih para shahabat bisa menjadi indikasi bahwa shalat Nabi adalah 20 raka’at. Karena para shahabatlah yang bertemu dan bersama Nabi ketika masih hidup. [Muntaqiy Syarh al-Muwattha’, II: 156; al-Fiqh al-Islamiy, II: 251 ]

Lebih lanjut, Prof. Dr. Al-Zuhaili lebih memilih 20 raka’at sebagai pendapat yang paling shahih. Namun dengan bijak, Beliau menanggapi perbedaan ini dengan mengutip kata-kata Ibnu Taimiyah, “Kesemuanya itu (persoalan hitungan dalam tarawih) adalah baik. Nabi saw., tidak pernah menentukan berapa jumlah raka‘at dalam shalat tarawih. Oleh sebab itu, memperbanyak atau mempersedikit raka ‘at adalah dicukupkan  atas  meringkas  waktu berdiri ataumemperpanjangkannya“. [al-Fiqh al-Islamiy, II: 251]

Salam shalat tarawih                          

Masalah salam dalam shalat tarawih juga menjadi perdebatan yang tak kalah sengitnya dengan perbedaan hitungan raka’at tarawih di tengah-tengah masyarakat kita. Ada yang mengatakan bahwa salam shalat tarawih adalah 10 kali dalam 20 rakaat. Artinya dua rakaat, satu salam. Sedangkan kelompok yang lain mengatakan bahwa salam shalat tarawih hanya dua kali dalam shalat 8 rakaat. Artinya 4 rakaat, satu salam. Apakah pernyataan mereka punya landasan dan bias dibenarkan?

Pada dasarnya, seluruh ulama sepakat bahwa shalat tarawih dengan 2 rakaat salam adalah sah dan disunnahkan demikian. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai shalat tarawih yang dilakukan dengan satu kali salam dalam 4 rakaat. Hanafiyyah, dan Malikiyyah mengatakan sah. Bahkan menurut Hanafiyyah, seandainya dua puluh raka’at dilakukan sekaligus dengan satu salam maka tetap sah sekalipun makruh. Hal ini dilakukan dengan duduk tasyahud di tiap dua raka’at. Namun apabila tidak duduk di tiap dua raka’at maka shalatnya fasad. Fasad bukan berarti batal, melainkan hanya berdosa. Jadi, 4 raka’at dengan satu salam adalah makruh menurut Madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, II: 9639]

Sedangkan madzhab Syafi’iyyah menegaskan tidak sah melakukan shalat 4 raka’at satu salam, berlandaskan hadits Nabi saw.:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ عَلَى اْلمِنْبَرِ مَا تَرَى فِى صَلاَةِ الَّليْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى

“Dari Ibnu Umar, la berkata: seorang laki-laki bertanya pada Nabi saw., sedangkan Beliau sedang berada dalam dalam mimbar, “Bagaimana pandangan Anda dalam shalat malam “. Nabi saw. Menjawab: dua dua“. [Shahih al-Bukhariy, II: 319]

Menurut Ibnu Hajar, kata “dua-dua” ini dimaksudkan pada dua raka’at dua raka’at. Oleh sebab itulah, shalat tarawih wajib dilakukan dua raka’at satu salam. Kalangan Syafi’iyyah menilai shalat yang dilakukan 4 raka’at satu salam adalah tidak sah bila dilakukan dengan sengaja dan tahu akan hukum tersebut. Bila tidak, maka shalat tersebut tidak dianggap shalat tarawih. Dengan ungkapan lain, shalat tersebut dianggap sebagai shalat mutlak. [Fathu al-Bariy li Ibni al-Hajar, III: 420]

[sumber]

Tinggalkan Balasan