Menundukkan kepala, melirihkan suara, melangkah pelan, dan semua perbuatan yang bersifat merendah seringkali diartikan sebagai wujud dari tawaduk. Seseorang masih belum bisa dianggap tawaduk, jika dia masih mendongakkan kepala, bebicara dengan nada keras dan melangkah dengan tergesa-gesa ketika berjalan. Pemahaman tawaduk seperti ini tidak sepenuhnya keliru, karena peraktik-peraktik seperti ini memang pada biasanya dimiliki oleh orang yang sudah bisa memahami makna hakikat tawaduk, meskipun semua ini tidak sepenuhnya mencerminkan makna tawaduk yang sesungguhnya. Tawaduk juga sering diartikan dengan rendah diri. Padahal rendah diri bukanlah perilaku yang dibolehkan dalam Islam. Karena hal itu hanya akan membuat wajah Islam terkesan menjadi lemah, yang dianjurkan dalam Islam adalah rendah hati.
Tawaduk dalam bahasa Arab berasal dari kata wadha’a (وضع) yang bermakna “melatakkan”, yang kemudian diikutkan bab tafa’ul menjadi tawadha’a (تواضع) yang bermakna saling meletakkan atau memposisikan. Bisa dipahami dari makna tawaduk secara bahasa, bahwa tawaduk bukanlah menundukkan kepala atau bersuara pelan, melainkan bagaimana seseorang bisa saling memposisikan dirinya dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya. Seorang Kiai baru dianngap tawaduk jika beliau bisa mengayomi santrinya, berakhlaq dan memiliki ilmu sehinnga bisa diteladani oleh satri-santrinya. Seorang ustadz bisa disebut tawaduk apabila beliau bisa mengajar murid-muridnya dengan baik disamping juga harus berbudi pekerti luhur. Seorang santri atau murid dikatakan tawaduk apabila dia bisa menghormati Kiai dan ustadznya, baik ketika bertatap muka atau ketika jauh dari beliau (dengan cara tidak membicarakannya di belakang). Seorang umana’ (pengurus pesantren) misalnya, dia bisa disebut tawaduk apabila bisa melayani santri dengan baik secara prosedural tanpa harus menyulitkan pihak lain yang sudah berproses secara prosedural.
Jadi, begitulah tawaduk yang seseungguhnya. Tawaduk tidak harus diaplikasikan dengan cara menunudukkan kepala, memelankan suara apalagi harus berpakaian yang compang camping. Dalam Islam dianjurkan, selagi mampu, agar selalu berhias (selama masih dalam batas wajar) untuk mencerminkan bahwa Islam itu rapi dan senang pada kebersihan. Dan juga, agar wibawa Islam tidak rendah di mata non Muslim. Tawaduk adalah bagaimana kita memahami posisi kita sebagai siapa dan kemudian kemampuan kita untuk menjalankan posisi itu sesuai porsinya.
Sehingga, orang yang sudah bisa sampai pada tingkatan tawaduk tidak akan pernah menyakiti orang lain, apalagi bersikap sombong pada mereka. Karena mereka sudah bisa memposisikan dirinya pada tempatnya dan sesuai porsinya, sesuai pernyataan hadits Nabi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله أوحى إلي أن تواضعوا حتى لا يفخر أحدٌ على أحدٍ، ولا يبغي أحدٌ على أحدٍ رواه مسلم.
Rosulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT memberi wahyu kepadaku untuk membuat mereka (umat) menjadi tawaduk (bisa saling memposisikan diri) sehingga satu dengan yang lain tidak saling menyombongkan diri dan juga tidak saling berbuat lalim. (H.R. Muslim)
Dalam al-quran surah al-Hijr ayat 88, seringkali juga dijadikan dalil dari anjuran seseorang agar bersifat tawaduk. Namun, mungkin ayat tersebut dipahami secara zhahir, sehingga memunculkan pemahaman bahwa tawaduk itu harus merendahkan diri dengan cara menunduk saat berjalan, harus pelan ketika berbicara dan sebagainya.
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9 ÇÑÑÈ
Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-hijr 88).
Secara harfiah ayat ini memang menganjurkan, hendaknya seorang mukmin merendah diri -dalam artian merendahkan anggota tubuh -terhadap mukmin yang lain. Namun Imam Al-Rozi berpendapat lain, menurut beliau ayat ini tidak bisa dipahami secara mentah zhahir ayat. Karena ungkapan ini, menurut beliau adalah ungkapan kinayah dari sifat al-lin (lembut), ar-rifqu (kasih sayang) dan at-tawaduk (rendah hati). Jadi tawaduk bukanlah peraktok jasmani, akan tetapi peraktik rohani. Bagaimna kita bisa menata hati sehingga bisa memahami posisi diri sendiri dan posisi orang lain. Sehingga terciptalah suasana saling memahami satu sama lain. (Mafatihul Ghoib. Hal. 266)
Apalah gunanya kita menundukkan kepala namun hati kita tetap mendongak. Apalah gunanya kita rendah diri namun hati kita tetap tinggi. Alangkah baiknya orang yang tetap mendongakkan kepala dan meninggikan diri namun hatinya selalu menunduk dan merendah baik kepada Tuhan atau kepada sesama. Dan alangkah muliayanya orang yang bisa mengontrol kedua-duanya, disamping dia rendah diri dia juga rendah hati. Kepala menunduk hatinya pun juga menunduk. Kita tidak dianjurkan mengaplikasikan tawaduk secara formalitas, namun kita dianjurkan mengaplikasikan hakikat dari tawaduk itu sendiri.
Tawaduk adalah salah satu dari sekian ribu sifat terpuji yang dimiliki oleh Rosulullah SAW. Alangkah beruntungnnya orang yang bisa meniru sifat Nabinya. Namun apalah gunanya ketika hal yang sangat terpuji ini kemudian tidak terwujud pada tempatnya. Perbuatan yang seharusnya terpuji kemudian menjadi berubah seratus delapan puluh derajat karena kesalahan manusianya memahami sifat tersebut. Niat baik seseorang memang akan selalu mendapatkan tempat di sisinya. Namun niat akan menjadi ternodai hanya karena kesalahan kita memahami niat tersebut. Oleh karena itu, marilah kita pahami makna tawaduk yang sesungguhnya. Jangan pernah menggunakan kata tawaduk hanya untuk mengesankan bahwa kita orang baik. Tawaduk tidak butuh formalitas saja, tapi butuh bukti nyata yang bisa dirasakan tidak hanya oleh diri sendiri tapi juga oleh orang lain yang ada di sekitar kita. Nabi bersabda:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , أَنَّهُ سُئِلَ: أَيُّ الإِسْلامِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:”مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
Dari Nabi Muhammad SAW, beliau pernah ditanya; Islam seperti apa yang paling utama? Nabi menjawab; yaitu orang yang membuat orang di sekitarnya merasa nyaman dengan lisannya (perkataanya) dan tangannya (perbuatannya).
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa dipisahkan dari lingkungan dimana dia hidup. Dari kodratnya ini manusia harus selalu peduli terhadap lingkungannya demi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, sikapnya terhadap lingkungan sangantlah menentukan demi kedamaian hidupnya. Jika dia baik kepada orang lain maka orang lain pun juga akan baik kepadanya. Jika orang itu tidak bisa bersikap baik dan tidak bisa mengnghormati orang lain maka jangan pernah menyalahkan orang lain jika mereka tidak bersikap baik dan tidak baik kepada dirinya, karena itu adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak dan dihindari.
Salah seorang bertanya kepada imam, “Apakah tanda-tanda tawaduk itu?,” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang engkau jumpai dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran”.
Oleh: Asror Baisuku, Santri Ma’had Aly, Sukorejo Situbondo