Oleh: Muhyiddin Abdusshomad[1]
Dewasa ini banyak kaum intelektual baik dari Barat maupun Timur yang tekun menggali mutiara-mutiara yang terpendam di dalam kitab-kitab kuning Di antaranya ialah Prof. Dr. Andree Feillard dari Perancis dan Prof. Dr. Martin Van Bruinessen dari Belanda, Prof. Dr. Robert W. Hefner dari Boston University Amerika, Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dari Jepang dan lain sebagainya.
Kecenderungan baru ini merupakan tantangan bagi para tokoh Nahdlatul Ulama’ baik jama’ah ataupun jam’iyyah bersama generasi mudanya termasuk di dalamnya Muslimat, GP Anshor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan lain sebagainya. Untuk mengimbanginya ada beberapa usaha yang dilakukan. Antara lain pertama, dengan memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang Ahlussunnah wal Jama’ah serta meningkatkan penghayatan dan pengamalannya, kedua, meningkatkan keluhuran citra ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan meningkatkan mutu pelaksanaannya, ketiga, membuktikan keunggulan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dengan memperbanyak membaca dan menkaji Kutub al-Turats. Bermusyawarah serta berdiskusi untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul kepermukaan, kemudian menjadikan ajaran ASWAJA sebagai alternatif solusinya.
Sementara di sisi yang berbeda, keberadaan Islam ideologi transnasional di tangah masyarakat dengan beberapa doktrin keagamaan yang mereka bawa adalah fenomena yang tidak bisa dihindari akhir-akhir ini. Semakin marak dan menemukan momentumnya seiring dengan era kebebasan berpendapat dan berekpresi pada era reformasi saat ini. Mereka mengecam sana-sini, memberikan stempel kafir, ahli bid’ah khurafat, sesat kepada amaliah yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
Namun di tengah ekspektasi dan tantangan yang besar itu, ada satu problem serius yang dihadapi NU secara internal. Yakni masih banyak dikalangan kita yang tidak memahami secara benar tentang NU dan aswaja itu sendiri. Citra positif yang diberikan kepada aswaja an-nahdliyyah terkadang dikotori oleh tindakan sebagian yang mengatasnamakan NU tetapi perbuatannya bertentangan dengan NU itu sendiri. Atau banyak di antara kita yang memiliki fanatisme yang tinggi terhadap NU, tetapi secara tidak langsung atau tidak sadar menjadi penganut faham-faham transnasionalisme yang justru bertolak belakang dengan apa yang digariskan oleh para pendahulu kita. Terkadang atas nama toleransi atau netralitas, membiarkan kelompok lain masuk ke dalam lingkungan kita yang kemudian tanpa kita sadari mengobok-obok ajaran dan tradisi nahdliyyah.
Oleh karena itulah penanaman akan ajaran aswaja dan ke-NU-an harus terus dilakukan. Terutama untuk calon alumni pesantren, yang aka menjadi ujung tombak penanaman ajaran aswaja di tengah masyarakat. Apalagi bagi alumni dari pesantran Salafiyyah Syafi’iyyah, pesantren KHR. As’ad Syamsul Arifin yang telah berjasa besar dalam sejarah kelahiran serta perkembangan NU di tanah air tercinta.
Apa dan bagaimana Aswaja
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ`ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Ketika Rasûlullâh SAW menerangkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dengan tegas Nabi SAW menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman pada apa saja yang diperbuat oleh Nabi SAW dan para sahabatnya pada waktu itu (mâ ana `alaihi al-yawm wa ashhâbî).
Oleh karena itu, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ`ah sesungguhnya bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran hakiki agama Islam. Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ`ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencerabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam. Sekaligus merupakan salah satu jalan mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama Islam agar tetap sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh SAW dan para sahabat beliau. (Khittah Nahdhiyyah, 19-20 )
Adapun Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai perumus gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Sebelum kedua imam itu, ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah telah berjuang sepenuh tenaga untuk menjaga kemurnia agama Islam. Seperti imam Abu Hanifah, imam Malik Malik, Imam Syafi’i dan sebagainya.
Mengutip dari Imam Thasy Kubri Zadah (901-968 H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan Imam al-Maturidi mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab al-Syafi’i. Seorang yang bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi B dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7).
Setelah kedua imam ini, banyak ulama yang mengikuti yang mengikuti ajaran beliau. Dalam bidang aqidah adalah al-Hafizh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M) pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H/932-998 M) pengarang Ma’alim al-Sunan, al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167 M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571 H/1102-1176 M) pengarang Tarikh Dimasyq dan Tabyin Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) pengarang Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram, Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M) pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya. Sedangkan dari kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut aqidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 291).
Bahkan para habib yang merupakan keturunan Rasulullah SAW sejak dahulu sampai sekarang juga mengikuti aqidah Imam al-Asy’ari. Sebagaimana diakui oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H/1635-1720 M). Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan ajaran melalui murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi beliau juga meninggalkan sekian banyak karangan. Di antara karangan beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam dan lain-lain.
Di Indonesia, ajaran aswaja berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Hal ini tidak lain dikarenakan para penyebar agama Islam adalah ulama-ulama yang menganut faham Ahlussunnah wal ajmaah. Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M) menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, hal. 286-287).
Bukti yang menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan, di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhii kepada khalifah yang empat. Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah penganut faham Aswaja.
Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas ahlussunnah wal jamaah, yang merupakan tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yaitu:
1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا. (البقرة: 143).
“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah : 143).
2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ. (الحديد : 25).
“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. al-Hadid : 25).
3. Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an disebutkan:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. (المائدة: 8).
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah : 8).
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleran). Yakni menghargai perbedaan, dan menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى. (طه:44).
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha : 44).
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206).
[1] Rois Syuriyah PCNU Jember, Pengasuh PP. Nurul Islam Jl.Pangandaran 48 Antirogo Jember.