Potret Pemimpin Ideal

1
1507

Pendidikan merupakan salah satu diantara sekian hal yang saat ini menjadi kebutuhan primer manusia. Bila ada seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan, maka akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Namun, dunia pendidikan pun akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya bila sistem yang berjalan tidak lancar.

Dunia pendidikan merupakan suatu sistem yang dijalankan bukan hanya oleh satu orang secara individual. Namun, pendidikan merupakan serangkaian kegiatan yang dijalankan oleh banyak pihak.

Sebagaimana kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh sekumpulan orang, pendidikan juga membutuhkan satu orang yang bisa memadukan banyak orang tersebut mengarah pada satu tujuan. Nabi pun pernah bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ (رواه أبو داود)[1]

Apabila ada 3 orang melakukan perjalanan maka hendaklah salah satu dari mereka diangkat menjadi pemimpin.

Disinilah peran pemimpin dalam dunia pendidikan, yakni sebagai pengarah. Untuk memilih satu orang tersebut, tidak boleh sembarangan. Akan tetapi harus memerhatikan beberapa hal demi mendapatkan pemimpin yang ideal.

A.    Amanah Pemimpin dalam Islam

Menjadi seorang pemimpin merupakan salah satu posisi yang sangat urgent dan sangat menentukan terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan kaum yang dipimpinnya. Seorang pemimpin juga mempunyai beberapa hak khusus yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang dipimpinnya. Namun, dibalik hak yang begitu luas, ada tanggung jawab besar yang harus diembannya. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [النساء/58]

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” [QS. Al-Nisâ’ (4):58]

Secara lahir, ayat ini memang tidak tertentu kepada seorang pemimpin karena seseorang secara pribadi juga dituntut untuk menyampaikan amanat yang dibebankan kepadanya. Namun, ketika kita kontekskan pada suatu teori yang menyatakan bahwa manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri, maka ayat ini menjadi sangat jelas bahwa mengarah pada seorang pemimpin.

Dari ayat di atas, Allah menegaskan bahwa seorang pemimpin haruslah menyampaikan amanat yang telah diberikan padanya kepada orang-orang. Amanat terhadap seorang pemimpin adalah amanat dari bawahan atau rakyatnya. Amanat tersebut adalah bagaimana bawahan atau rakyat menjadi nyaman dan tentram serta instansi atau lembaga yang dipimpinnya menjadi maju dan berkembang.

Dalam ayat di atas pula, Allah menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memberikan dan menetapkan hukum dengan adil. Kata hukum yang ada dalam ayat di atas tidak hanya sekedar putusan hukum pengadilan. Tapi ia juga bisa bermakna kebijakan. Sehingga, kebijakan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin haruslah kebijakan yang tidak membela atau menguntungkan pada salah satu pihak, melainkan kebijakan yang benar-benar memiliki nilai keadilan.

Keadilan terkadang dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai keputusan atau kebijakan yang sesuai dengan apa yang telah diundangkan. Oleh karena itu, perlu arahan kepada para pemimpin agar keadilan yang berusaha dijalankan tidak kehilangan arah. Sehingga para ulama telah memberikan batasan dalam sebuah kaidah,

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة.[2]

Kebijakan seorang pemimpin untuk rakyatnya harus didasarkan pada kemashlahatan.

Kebijakan yang secara lahir berkeadilan tapi ternyata tidak memberikan kemashlahatan, maka kebijakan yang demikian tidak bisa digulirkan dan diterapkan untuk para bawahannya atau rakyat. Bila memang tetap dipaksa untuk diterapkan, maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Oleh karena itu, tidak mudah menjadi seorang pemimpin yang dibebani hal-hal seperti di atas. Hal inilah yang mendasari penolakan Umar dan para sahabat yang lain ketika mereka ditawari sebagai khalifah pertama, pengganti nabi Muhammad r.

B.     Syarat Pemimpin Ideal

Dalam sejarah kepemimpinan dalam dunia Islam, ada sederet nama yang dipandang sebagai para pemimpin yang ideal. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, dan tentunya nabi Muhammad r.

Dari Abu Bakar al-Shiddîq, kita bisa melihat beberapa sifat beliau ketika memimpin umat Islam, yakni rendah hati, terbuka, amanah, adil, teguh dalam perjuangan, dan demokratis. Semua sifat ini, selain bisa kita lihat dari kehidupan sehari-hari beliau, juga dapat kita temukan dari pidato beliau ketika pertama kali dilantik sebagai khalifah,

Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dilantik (menjadi khalifah) bukanlah karena saya lebih baik daripada kamu sekalian. Jika saya berbuat baik bantulah dan jika saya berbuat buruk luruskanlah. Jujur itu adalah amanah dan bohong itu adalah perbuatan khianah. Orang-orang yang lemah di antara kamu, kuat di sisi saya karena saya akan melindungi hak-haknya. Orang yang kuat di antara kamu, lemah di sisi saya sampai saya mengambil hak-hak orang daripadanya. Janganlah kamu meninggalkan perjuangan, karena akibat sikap demikian Allah akan menimpakan kehinaan di pundak kamu. Patuhlah kepada saya, selama saya patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika saya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tiada kewajiban bagi kamu mentaati saya. Berlaku adillah terhadap orang yang berhubungan (bergaul) dengan kamu, semoga Allah akan mengasihi kamu.[3]

Dari sayyidina Umar bin Khattab t, kita bisa menemukan sifat keberanian dan ketegasan. Pada masa Umar inilah, banyak kebijakan-kebijakan krusial yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Bahkan, bisa dikatakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab t merupakan cikal bakal munculnya konsep negara modern dan pemimpin ideal.

Perjuangan sayyidina Umar bin Khattab t dilanjutkan oleh Umar bin Abdul Aziz yang ketenaran namanya di dunia kepemimpinan Islam sudah tidak diragukan lagi. Pada masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz mengembangkannya dengan sikap jujur, adil, pro rakyat, dan lebih mengutamakan ukhuwah islamiyah dari pada kepentingan golongan.

Dari berbagai sifat di atas, dapat dirangkum menjadi dua kategori pemimpin yang ideal. Pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang memenuhi syarat kapabilitas (القوة) dan integritas (الامانة). Terpenuhinya sifat quwwah dan amânah pada seorang pemimpin merupakan tujuan syariat, bukan hanya dalam konteks kepemimpinan negara saja, akan tetapi juga berlaku bagi setiap orang yang mendapat amanah dan tanggung jawab sekecil apapun, seperti penerima titipan, penerima gadai, kepala sekolah, buruh, dan sebagainya. Dikisahkan dalam al-Qur’an bahwa putri nabi Syuaib as. mengusulkan kepada ayahandanya agar mempekerjakan nabi Musa as. sebagai pengembala kambing. Karena dia melihat nabi Musa as. memiliki dua sifat tersebut, yakni al-Quwwah dan al-Amanah. Allah berfirman:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (26) [القصص/26]

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”” [QS. Al-Qashash (28):26]

  • Kapabilitas

Kapabilitas, yang dalam bahasa arab diistilahkan dengan al-Quwwah, merupakan kemampuan seseorang untuk menjalani atau melaksanakan hal-hal yang telah dibebankan kepadanya.[4] Seorang pemimpin, mutlak harus memiliki kapabilitas dalam bidang yang dipimpinnya. Bila seseorang yang tidak tahu menahu tentang kenegaraan diminta menjadi pemimpin negara, negara tersebut akan kacau balau. Begitu pula dengan lembaga pendidikan, bila dipimpin oleh orang yang belum mengetahui atau berpengalaman dalam dunia pendidikan, maka kebijakan yang digulirkan pun pasti akan jauh dari harapan.

Kapabel disini bukan hanya menyangkut pengetahun dalam arti keilmuan, namun juga menyangkut pengalaman dan pengetahuan tentang tugas-tugas yang diembannya seorang pemimpin serta arah dan tujuan yang hendak dicapai.

  • Integritas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan dan kejujuran.[5] Menurut Mario Teguh, motivator ternama di Indonesia, integritas adalah kesetiaan kepada yang benar. Hal ini sejalan dengan pengertian integritas menurut Wikipedia yang mendefinisikan integritas sebagai:

“Integrity is a concept of consistency of actions, values, methods, measures, principles, expectations, and outcomes. In ethics, integrity is regarded as the honesty and truthfulness or accuracy of one’s actions. (Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau akurasi dari tindakan seseorang.)”[6]

 

Dengan demikian, integritas berarti suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Nilai dan prinsip ini tentunya tidak lepas dari yang namanya kebenaran. Oleh karena itu orang yang memiliki integritas pasti akan menjadi orang yang jujur dan menyukai keadilan.

Integritas ini dibutuhkan oleh siapa saja, tidak hanya pemimpin namun juga yang dipimpin. Integritas sebagai pemimpin dapat membawa yang dipimpin menjadi lebih baik. Pemimpin yang memiliki integritas hanya akan berpikir bahwa dirinya melayani siapa saja yang dipimpinnya, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang pengikut yang memiliki integritas berpikir bahwa dirinya harus melayani pemimpin selama pemimpin itu benar sesuai nilai prinsip dan moral. Dengan begitu akan terjadi pelayanan dua arah dimana akan menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pemimpin yang melayani, pengikut bisa menjadi adil. Hal ini membuat pengikutnya senang dan mengikuti apa yang diperintahkan karena mereka yakin bahwa pemimpin tersebut memiliki integritas dan lebih banyak benar.

Integritas berhubungan dengan dedikasi atau pengerahan segala daya dan upaya untuk mencapai satu tujuan. Integritas ini yang menjaga seseorang agar tidak keluar dari jalurnya dalam mencapai sesuatu. Seorang pemimpin yang berintegritas, tidak akan mudah korupsi atau memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang. Seorang pengusaha yang berintegritas tidak akan menghalalkan segala cara supaya usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan tinggi. Singkatnya, orang yang memiliki integritas tetap terjaga dari hal-hal yang mendistraksi dirinya dari tujuan mulia.

Singkatnya adalah, orang yang memiliki integritas lebih menyukai proses yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang benar. Hasil tidak menjustifikasi proses dan proses tidak menjustifikasi hasil, keduanya harus berjalan dengan baik dan benar. Orang yang berintegritas pasti anti jalan pintas, apalagi mendapakan sesuatu dengan cara meretas. Mereka adalah lawan dari orang-orang yang munafik. Sementara orang munafik bersikap tidak sama dengan kata-kata, orang berintegritas melakukan hal sesuai dengan yang ia katakan. Silat lidah tidak berlaku bagi orang yang memiliki integritas karena ia adalah orang yang mengatakan bisa jika memang bisa dan mengatakan tidak bisa jika memang ia tidak mampu.


[1] Ahmad bin Husain bin Aly al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy Qubrā, (Makkah: Maktabah Dār al-Bāzz. 1994), jld. V, h. 257

[2] Al-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nadzâir, jld. II, h. 259

[3] Abu Bakar al-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’, (Mesir: al-Sa’âdah. 1952), h. 63

[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Integrity

Sumber Gambar: google.co.i

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan