Untuk kali ini, penulis ingin memulai pembahasan dengan pribahasa.
Sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui.
Menyelam sambil minum air.
Dua pribahasa ini sering kali hinggap di telinga, maknanyapun tak sampai memeras otak. Pribahasa ini memberikan pelajaran kepada semua orang bahwa di dalam berbuat satu pekerjaan tidak hanya satu hasil yang akan diperoleh, akan tetapi, dengan bermodal kecerdasan dan kecerdikan, satu perbuatan bisa banyak menghasilkan keuntungan.
Islam telah memberikan solusi cerdas kepada pemeluknya agar satu perbuatan bisa banyak meraup pahaladengan cara meniatkan satu ibadah lebih dari satu niat. Atau dalam bahasa arabnya dikenal dengan isytiroku al-niyat (berbilangnya niat). Kalau saja, konsep isytiroku al-niyat banyak diketahui oleh banyak orang barang kali mereka tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Karena sebagai makhluk yang berpikir tentu akan memilih perbuatan yang sedikit dengan banyak memperoleh keuntungan.
Dalam hal ibadah, isytiroku al-niyat juga diperkenankan adanya. Hanya saja tidak kemudian semua ibadah dibolehkan di-isytiroku al-niyatnya. Ada ketentuan-ketentuan tersendiri di dalam ibadah yang boleh dan tidaknya untuk di-isytirok.
Oleh sebab itu, perlu kiranya penulis memaparkan konsep niat dalam shalat terlebih dahulu. Di dalam niat ada tiga tingkatan. Pertama, jika sholat fardlu maka ada tiga hal yang harus dipenuhi agar niatnya bisa dikatakan cukup. (1) bermaksud. (2) menentukan. (3) meyelipkan kata ‘fardiyah’. Jika diaplikasikan, maka bentuknya akan menjadi
Kedua, jika shalat sunnah yang mempunyai waktu seperti shalat rawatib, witir, tahajud, dhuha, dll, atau mempunyai sebab seperti shalat istisqo’ (meminta agar turun hujan) maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu; (1) bermaksud. Dan (2) menentukan. Jika diaplikasikan maka bentuknya akan menjadi
Shalat sunah model ini juga dikenal dengan sebutan shalat sunah maqsudah.
Ketiga, jika shalat sunnah mutlak (tidak terikat dengan waktu) seperti shalat tahiyatul masjid, wudlu’, istikhoroh, thawaf, ihrom, dsb, maka cukup bermaksud saja. Sebagian ulama fikih menyebut shalat sunah ini dengan sebutan shalat sunah ghoiru maqsudah
Sebelum menggabungkan beberapa niat dalam satu ibadah, konsep di atas menjadi sangat penting untuk dipahami dengan baik dan benar karena kebolehan melakukan isytiroku al-niyat tidak berlaku pada semua model shalat di atas. Shalat fardlu dan shalat sunnah yang mempunyai waktu (maqsudah) seperti, shalat qobliyah, ba’diyah, dhuha, tahajud, dsb tidak boleh digabung menjadi satu shalat, misalnya sholat dzuhur qodho’ dengan shalat dzuhur ada’ atau shalat ba’diyah isya’ dengan witir. Gamblangnya, shalat yang tidak bisa digabung menjadi satu perbuatan adalah shalat fardlu dengan fardlu dan shalat sunnah maqsudah dengan shalat sunah maqsudah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengerjakan shalat dhuhur sekaligus niat qodho’ maka shalatnya tidak sah.
Sementara shalat yang niatnya boleh di isytirok adalah shalat sunah yang ghoiru maqsudah atau shalat sunah mutlak. Sholat sunah model ini niatnya bisa digabung, baik dengan shalat fardlu, sunah maqsudah, lebih-lebih dengan sejenisnya. Misalnya shalat subuh dengan tahiyatul masjid, tahajud dengan shalat istikhoroh, dan shalat sunah wudlu dengan tahiyatul masjid. Shalat sunah mutlak yang dilakukan demikian juga mendapat pahala bahkan sekalipun tidak ada niat khusus untuk melakukannya sudah dianggap cukup dalam memperoleh pahala itu.
Selain di dalam shalat, isytiroku al-niyat juga bisa kita lakukan dalam bab puasa. Untuk itu, agar puasa yang kita lakukan tidak hanya menghasilkan satu ganjaran, sudah saatnya kita mempraktikkan konsep ini dalam keseharian puasa kita.
Format yang ada di dalam bab puasa tidak jauh berbeda dengan format di dalam shalat, yaitu puasa yang bisa digabung dengan puasa yang lain hanya tertentu kepada puasa sunah dengan fardlu, tidak fardlu dengan fardlu. Oleh karena itu, jika ada seseorang menggabung antara puasa qodo’ ramadhan dengan puasa ramadhon maka puasanya dihukumi batal.
Untuk memperoleh beberapa kesunahan dalam satu puasa ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Hajar untuk memperoleh pahala-pahala itu seseorang harus meniatkan terhadap masing-masing puasa yang dimaksud. Seperti seseorang yang terbiasa puasa hari senin dan ketika itu bertepatan dengan hari arofah dan yaumu al-baidh (puasa pada tanggal 13, 14, dan 15) maka untuk memperoleh pahala dari ketiga puasa itu harus disertai niat, jika tidak maka pahala tidak akan tercapai. Namun, dalam pendapat lain tidak mensyaratkan adanya niat.
Dua konsep isytiroku al-niyat di atasmemberikan gambaran betapa mudahnya seseorang mendapatkan pahala dari Allah. Cukup dengan satu perbuatan bisa memperoleh banyak pahala. Lebih luas dari itu, isytiroku al-niyat juga berlaku dalam setiap perkara yang bernuansa ibadah. Misalnya mengaji, jika dalam mengaji diniatkan untuk orang tuanya, guru-gurunya, keluarganya, baik yang hidup ataupun yang sudah mati, teman-temannya, dan semua orang islam maka pahala dari mengaji tersebut akan sampai pada mereka semua tanpa berkurang sedikitpun. Maksudnya, jika pahala yang Allah berikan sebanyak 100 kebaikan maka masing-masing dari mereka mendapatkan pahala yang sama yakni 100 kebaikan.
Dari keterangan di atas kita dapat menerapkan konsep isytiroku al-niyat pada perkara apa saja yang masih ada kaitannya dengan kebaikan atau ibadah, dengan begitu, untuk merajut pahala berjuta-juta tidak menjadi hal yang mustahil lagi dalam benak kita, berbekal niat yang banyak pula maka jutaan pahala juga akan segera digapai. Selamat mencoba…!!(Referensi I’ana al-tholibin juz II dan Kasyifatu syaja)