Halal Bihalal; Meluruskan Benang Kusut Indonesia

0
519

Dinamika perpolitikan modern di tanah air sangat memprihatinkan, banyak diwarnai dengan permusuhan dan dendam kesumat yang tidak ada ujungnya. Suasana politik menjadi arena pertarungan kepentingan masing-masing tokoh dengan para pendukungnya, akibatnya, masyarakat menjadi terpecah-pecah dan terkotak-kotak dalam berbagai kubu dan aliran politik. Pertarungan kepentingan antara masing-masing tokoh dengan para pendukungnya, bisa dilihat dalam setiap kampanye pemilu, elit Islam akan mengusung simbol-simbol Islam, bahkan acapkali menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya untuk merebut simpati massa Islam, hal ini membuat posisi umat Islam  menjadi serba salah, karena mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Sesungguhnya penggunaan jargon teologis maupun simbol Islam sebagai alat pembenar dikalangan elit Islam, bukanlah hal baru, kendatipun konstitusi negara tidaklah secara eksplisit menggunakan Islam sebagai ” Idiologi resmi ” negara. Tetapi, pengggunaan simbol-simbol keagamaan sebagai jargon politik untuk “ pemanis bibir ” telah menjadi kenyataan politik di manapun saja, termasuk di negara-negara sekuler sekalipun. Apalagi, di negara yang menamakan dirinya sebagai Negara Islam, secara otomatis para tokoh politiknya merasa punya kewajiban mulia untuk menggunakan Islam sebagai legitimasi politik dalam perebutan kursi kekusaan, walaupun pada hakikatnya mereka hanya memperjuangkan nasib diri dan kelompoknya saja.

Karenanya, apa yang diperjuangkan elit muslim yang mengatasnamakan kepentingan Islam dan umat Islam, namun pada kenyataannya mereka justru sekedar memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing, hal ini membuat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam menjadi luntur dan sirna. Akibatnya pesta demokrasi yang dilakukan setiap lima tahun sekali menjadi ajang perseteruan dan permusuhan antara sesama umat Islam. Bahkan yang lebih menyedihkan para tokoh masyarakat yang menjadi panutan umat ikut ambil bagian dalam perseteruan dan permusuhan tersebut.

Dalam kondisi perseteruan dan permusuhan yang kian membara di antara sesama umat Islam, maka perlu adanya instrumen yang efektif untuk meredam dan memadamkan api permusuhan tersebut, salah satunya dengan mengadakan “ Halal bihalal ” untuk merekatkan kembali tali persaudaraan ( ukhuwah Islamiyah ) yang mulai kendor dan rapuh. Karena jika perseteruan dan permusuhan yang terjadi di antara umat Islam dibiarkan, maka di khawatirkan akan menjadi konflik nasional yang berkepanjangan.

Halal bihalal merupakan tradisi saling mema’afkan yang selalu dilakukan ketika Hari raya Idul Fitri. Ketika hari raya orang-orang biasanya saling minta ma’af atas semua kesalahan yang telah diperbuatnya, baik kesalahan yang tidak disengaja lebih-lebih kesalahan yang disengaja, setelah acara halal bihalal hati akan menjadi lapang dan pikiran menjadi tenang, karena telah terlepas dari beban yang menghimpit berupa dendam kesumat dan permusuhan.

Dalam Al-Qur’an maupun Hadist tidak akan ditemukan suatu keterangan yang menjelaskan tentang makna halal bihalal, karena istilah tersebut nampaknya memang khas Indonisia. Di negara lain, hampir dapat dipastikan tidak akan dijumpai istilah tersebut, bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab.

Jika ditelusuri dari aspek bahasa, Halal bihalal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal yang diimpit oleh satu huruf ( kata penghubung ) ba’ ( baca ; bi ) mirip dengan pembentukan istilah ” yadan biyadin “ dalam bab riba. Kalau kata majemuk tersebut diartikan seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni “ acara ma’af mema’afkan pada hari lebaran “. Jika demikian, maka dalam halal bihalal terdapat unsur silturrahim yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Sedangkan pengertian halal bihalal jika ditinjau dari segi linguistik (kebahasaan ), kata halal dari segi bahasa terambil dari akar kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain adalah “ menyelesaikan problem atau kesulitan “ atau “ meluruskan benang kusut “ atau “ mencairkan yang beku “ atau  “ melepaskan ikatan yang membelenggu “. Dengan demikian, kalau kita pahami kata halal bihalal ditinjau dari segi kebahasaan, seakan-akan kita menginginkan adanya suatu perubahan yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas dan bebas.

Dari pengertian tersebut, nampaknya tradisi halal bihalal perlu dilestarikan sebagai sarara untuk menyatukan dan merekatkan kembali keutuhan umat yang sudah tercabik–cabik oleh berbagai kepentingan, lebih-lebih pasca pemilu yang dilaksanakan dengan tidak sehat, yang menyebabkan  masyarakat menjadi terkotak-kotak ( ada kubu barat  dan kubu timur ). Ironisnya, antara golongan yang satu dengan yang lain saling menjelekkan dan saling menyalahkan, jika hal ini dibiarkan, maka akan melahirkan benih-benih permusuhan dan dendam kesumat yang tidak ada ujungnya, yang pada akhirnya tidak mustahil akan menjadi konflik nasional yang akan mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Oleh: Zainul Ahsan

Tinggalkan Balasan