“Lembaga pendidikan islam” itulah yang tergambar ketika disebut kata pesantren dan ini memang sudah melekat dari pesantren. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab sejarah awal adanya pesantren memang untuk mengembangkan dakwah islam melalui pendidikan, tentunya pendidikan islam, mengingat untuk pertamakali yang hendak ditanamkan oleh para penyebar islam adalah penguatan keimanan dan keilmuan, yang tentunya ditempuh dengan mendirikan pesantren. Kita bisa melihat bagaimana Sunan Ampel bisa mendidik kader-kader penyebar Islam dengan mendirikan pedepokan di Ampel Denta. Syaikhona Khalil Bangkalan juga mendidik para santri—yang dikemudian hari menjadi ulama-ulama besar—di pesantren yang beliau dirikan. Maka tak heran dari pesantren lah lahir ulama-ulama terkemuka.
Tapi yang juga perlu diingat, ketika kita menilik sejarah, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mencetak para ulama atau cerdikcendekia. Pesantren juga berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan nilai perjuangan pesantren sangat besar. Misalnya kita bisa ambil contoh perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dalam melawan pemerintah kolonial belanda. Perjuangan beliau melalui penanaman nilai-nilai nasionalisme pada bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fatwa beliau yang terkait langsung dengan para penjajah. Di antaranya beliau pernah mengharamkan penggunaan celana, karena menjadi ciri khas kaum penjajah. Beliau juga pernah berfatwa haram berangkat haji menggunakan kapal-kapal belanda. Transfusi darah dari orang islam kepada tentara belanda yang sedang berperang melawan jepang juga diharamkan. Dan yang terakhir beliau mengeluarkan “Resolusi Jihad” ketika belanda mulai ada keinginan lagi menjajah Indonesia dengan masuk indonesia melalui Surabaya.
Bukan hanya melalui penguatan rasa nasionalisme pada bangsa, kalangan pesantren juga ada yang terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Maka kita tidak heran mendengar para kiai langsung melakukan perlawanan pada penjajah. Misalnya KH. As’as Syamsul Arifin yang secara langsung melucuti senjata para penjajah di Garahan. Keterlibatan para kiai atau santri dalam perjuangan juga bisa terlihat secara langsung dalam pasukan Hizbullah atau Sabilillah yang dibentuk sebagai respon Resolusi Jihad. Dan akhirnya ikut secara langsung mengusir penjajah melalui pertempuran di Surabaya, yang kemudian hari tu disebut hari pahlawan. Maka tidak heran ketika Aji Hermawan, seorang pakar Manajemen dan SDM dari IPB mengatakan, “Tanpa keberadaan pesantren, saya kira Indonesia tidak akan merdeka”.
Di zaman modern ini, pesantren tidak perlu lagi menghadapi penjajah karena Indonesia sudah merdeka. Namun dengan demikian bukan lantas tugas pesantren menjadi ringan. Bahkan dibilang cukup berat, mengingat tantangan zaman makin berat. Laju perkembangan yang tidak pernah berhenti akan membuat pesantren ‘kelimpungan’ kalau tidak bisa mengontrol dengan baik. Dan akhirnya pesantren pun menghadapi keadaan yang cukup dilematis, apakah tetap dengan ciri khas awalnya, yakni sebagai pusat pendidikan Islam?, atau juga harus mengikuti laju perkembangan zaman yang kadang menuntut pesantren mengurangi ciri khasnya tersebut?.
Dalam menghadapi tantangan zaman ini lalu pesantren terdikotomi menjadi dua. Ada yang konsisten dengan gaya tradisionalnya dengan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pelajarannya hanya berkutat dengan kitab-kitab kuning, tidak ada biologi, matematika, fisika, dan lain sebagainya. Ada juga yang lantas mengikuti gaya modern. Maka lalu kita bisa mendengar pesantren yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern semisal Gontor. Ada juga yang tidak menyebutkan langsung sebagai pesantren modern tapi pendidikan yang diajarkan sudah tidak hanya pada keagamaan tapi juga ilmu-ilmu umum. Yang kemudian tersedia pendidikan umum di pesantren-pesantren dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Melalui gaya pesantren seperti lalu banyak alumnus pesantren yang berperan secara aktif dalam pemerintahan dan lain sebagainya, sebab mereka memiliki ijazah formal.
Tentu masing-masing dari pola tersebut mempunyai alasan masing-masing yang tentunya dianggap baik. Bagi yang tetap dengan gaya tradisional beralasan tidak ingin terkontaminasi dengan gaya-gaya modern yang bisa merusak. Mereka akan tetap teguh dengan pola pesantren sebagaimana asalnya, yakni memperjuangkan islam. Makanya mereka hanya mempelajari karya-karya para ulama terdahulu—yang biasa disebut kitab kuning—yang menurut mereka sudah dijamin keilmuan dan keshalehannya. Sedang karya ulama-ulama sekarang sudah dianggap sedikit melenceng dari garis, khususnya ketika berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh ulama salaf. Alasan ini cukup bisa diterima, walaupun tentunya mempunyai nilai minus, yakni ketika dihadapkan pada perkembangan zaman yang sudah dikuasi oleh kapitalis
Sedangkan pesantren yang mengikuti pola modern beralasan bahwa perkembangan zaman tidak bisa dibiarkan begitu saja, berjalan liar tanpa ada kontrol. Untuk mengontrol, perlu keterlibatan secara langsung di dalamnya. Sehingga akhirnya butuh ilmu-ilmu umum, semisal ekonomi, manajemen, ilmu alam, dan lain sebagainya. Sebab kalau tidak mumpuni dalam berbagai ilmu tersebut maka alumnus pesantren akan terkucilkan ketika sudah berkecimpung di masyarakat, dan ini tidak boleh terjadi. Tapi terkadang ketika terlalu fokus atau diselingi ilmu umum, ilmu keagamaan makin sedikit tersingkirkan. Hal ini tidak bisa dipungkiri, sebab bisa dibuktikan dengan sedikitnya pesantren yang tetap kuat dalam pengembangan kitab kuning walalupun juga ada sekolah umumnya. Padahal kitab kuning merupakan salah satu ciri khas tersendiri yang tidak bisa ditemukan di lembaga pendidikan yang lain. Budaya-budaya dari luar yang masuk pesantren kadang juga tidak difilter dengan baik sehingga terkadang mengantarkan santri meniru budaya luar yang seharusnya tidak patut ditiru.
Tujuan dari dua pola pesantren tersebut tentunya baik, hanya saja yang perlu diatasi adalah minusnya. Sehingga mungkin yang perlu dilakukan dengan tetap menjaga karakteristik pesantren, tidak boleh luntur, yakni mengajarkan ilmu keislaman secara mendalam. Maka pembelajaran atau pengembangan kitab kuning tidak boleh luntur. Sebab hal ini termasuk keunikan yang hanya ada di pesantren. Pembelajaran semisal Qur’an juga tidak boleh diabaikan. Jangan sampai ada alumnus pesantren masih belum bisa baca Qur’an. Dan yang terakhir, akhlak yang menjadi ciri khas dari santri harus tetap dijaga. Jangan sampai akhlak alumnus pesantren sama atau bahkan lebih buruk dari yang bukan alumnus pesantren.
Ketika hal itu dilakukan, maka tidak perlu ragu lagi untuk mengimbangi perkembangan zaman dengan mendidik santri dengan ilmu-ilmu umum. Mengingat kebutuhan terhadap itu juga sangat penting. Hanya saja nilai keluhuran pesantren tetap harus dijaga. Kepatuhan yang tinggi pada Kiai atau guru tidak boleh luntur, sebab ini juga bagian dari karakter khusus pesantren.
Tentunya juga tidak perlu ragu menerima budaya dari luar asalkan masih selaras dengan nilai-nilai keislaman. Bukankah pesantren punya jargo “al-Muhafazhatu ala Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah”. Hanya saja tentu butuh adanya filter budaya. Agar yang diterima adalah yang benar-benar ashlah. Dan dalam masalah ini kadang masih menimbulkan persoalan. Sebab kadang dengan mudah menolak budaya orang lain dan kadang dengan mudah menerimanya, bahkan sering tidak konsisten. Misalnya tradisi tepuk tangan. Ada yang tidak setuju dengan tradisi tersebut dengan alasan termasuk tradisi orang Yahudi. Sementara dipihak lain, mengikuti tradisi non muslim yang lain, seperti mengikuti tradisi proses wisuda yang upacaranya sama dengan apa yang dilakukan oleh non muslim, model pakaiannya pun sama. Berarti dalam hal ini sudah tidak ada konsistensi. Maka yang dibutuhkan ketika melakukan filter pada budaya lain bukan hanya memandang dari mana budaya itu muncul, akan tetapi memandang terhadap dampaknya. Selama tidak melanggar nilai-nilai islam maka bisa diterima.
Sebagai kata penutup; karakteristik pesantren berupa penanaman nilai-nilai keikhlasan, ketataatan, kepatuhan, kesopanan, kesederhanaan dan lain sebagainya tidak boleh dihilangkan. Harus terus dilestarikan sebagai keunggulan yang dimiliki pesantren. Tentunya juga dalam menjaga ciri khas pusat studi keislaman. Maka porsi kajian keislaman harus tetap besar, dengan terus mengembangkan kajian kitab kuning, baik dari kitab-kitab klasik atau kontemporer. Hal ini tidak lain untuk menyesuaikan dengan zaman. Di samping itu, pengembangan pada ilmu pengatahuan umum juga harus diberikan pada santri sebagai bekal menghadapi laju perkembangan zaman yang sangat cepat.
Sumber Gambar: portalsantri.com