Tidak mengherankan lagi jika banyak calon-calon pemimpin di berbagai daerah baik sebagai calon bupati, calon gubernur bahkan calon president yang berasal dari golongan perempuan. Sebuah kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena apa yang dicita-citakan oleh para pejuan gender mulai membuahkan hasil. Kouta 30% perempuan di legislatifpun sa’at ini telah menjadi syarat utama partai-partai untuk mengusung calon legislatifnya (caleg).
Namun, bagaimanakah Islam menyikapi revolusi sosial ini? berikut wawancara kami dengan salah seorang pakar hukum Islam, Ust.Imam Nakha’i yang berasal dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Beliau sering mengisi berbagai accara dan forum di tingkat Nasional untuk membahas berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam. Beliau juga dikenal dengan gagasan-gagasannya yang merakyat.
Akhir-akhir ini banyak perempuan yang menduduki jabatan strategis di legislatif. Bagaimana tanggapan ustadh?
Perempuan menjadi pemimpin itu sesungguhnya telah menjadi perdebatan klasik dikalangan para ulama’, baik kepemimpinan dalam shalat, rumah tangga, menjadi hakim, maupun sebagai kepala negara (khalifah).
Ulama’ berbeda pendapat apakah perempuan boleh menjadi imam shalat atau tidak. Mayoritas ulama’ mengatakan tidak boleh sedangkan sebagaian ulama’ yang lain mengatakan boleh. Demikian pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami menjadi “qawwam”. salah satu alasannya kan karena ia memberi nafaqah istrinya. Maka kalau suami tidak mampu memberikan nafaqah maka ia tidak lagi memilki “qiwamah” atas istrinya, sesuai dengan kaidah al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman. Persoalan berikutnya adalah apakah qiwamah itu berpindah pada istri? Kalau kita konsisten dengan kaidah itu seharusnya kita berani mengatakan ia. Lagi pula bagi saya tidak penting siapa yang memimpin, yang penting kan sesunggungnya pemimpin yang adil, mensejahterakan, dan menghargai komonitas yang dipimpinnya.
Perdebatan yang lebih seru lagi tentu saja terjadi dalam kepemimpinan perempuan dalam wilayah publik, khususnya perempuan sebagai khalifah. Faktor dahsyatnya perdebatan perempuan menjadi pemimpin negara bukan semata-mata karena dalil, tapi lebih karena ada kepentingan kelompok lain ( katakanlah laki-laki) yang merasa terancam jika perempuan ikut bersaing memperebutkan kekuasaan yang telah lama dikuasai dan dinikmati laki-laki.
Adakah dalil yang secara jelas membolehkan kepemimpinan perempuan?
Tidak ada dalil yang berindikasi terang (qhat’i) yang membolehkan ataudalalah yang melarangnya. Dalil yang digunakan sebagai argumen larangan perempuan menjadi khalifah adalah hadist yang ahir-ahir ini sangat terkenal ” lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan“ tidaklah beruntung kaum yang menyerahkan seluruh persoalaannya pada wanita. Hadist ini adalah hadist ahad yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah ketika ia menolak ajakan Sayyidah A’isah radhiyAllahu a’nha untuk bergabung bersama pasukannya melawan Sayyina Aly radiyAllahu anhu.
Sedangkan dalil ulama’ mu’ashir yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin adalah dalil-dalil kully yang menegaskan prinsip keadilan, kesetaraan, amanah, dan kejujuran. Dalam beberapa ayat juga diyatakan bahwa perempuan juga punya tugas suci amar ma’ruf dan nahi mungkar sama dengan laki-laki.
Beberapa ulama di pondok pesantren salaf yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan, pandangan ustadh?
Menurut saya selama pandangan itu sebagai hasil ijtihad atau pilihan dari hasil ijtihad yang didasarkan pada kejujuran ilmiyah, kebersihan hati dan kesadaran menjungjung tinggi syari’ah, adalah absah. Yang naif adalah ketika pandangan itu dijadikan legitimasi untuk menghadang atau menghalangi seorang karena kepentingan politik dan keuntungan ekonomi yang lebih menggiurkan.
Shahehkah hadist nabi ” lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan“? dan bagaimanakah seharusnya kita menafsiri hadist tersebut?
Kalau hadist tersebut betul-betul shahih dan jika kita setuju dengan pandangan bahwa memahami teks hadist sama dengan memahami teks al-qur’an, maka menurut hemat saya untuk memahami hadist itu diperlukan pemahaman yang tuntas tentang : pertama asbabul wurudnya, kedua stuktur bahasanya,ketiga menghadapkan teks hadist dengan hadist lain yang senada dan menghadapkan dengan al-qur’an. Dan Keempat mengetahui illat atau alasan logis guna melihat apakah alasan yang sama masih ada dalam konteks saat ini ataukah telah berubah . kelima mengetahui konteks sosial budaya dan sosial politik saat hadist disabdakan dan melakukan tahqiqul manat apakah kandungan hadist itu relevan dalam konteks sosial budaya dan sosial politik saat ini.
Sebagai mana dijelaskan dalam kitab-kitab syarah hadist, Hadist nabi lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan disabdakan oleh nabi segera setelah nabi mendengar bahwa penguasa Persia mangkat, rakyat memilih putrinya sebagai raja yang menggatikannya. Seakan nabi mengatakan rakyat persia tidak akan beruntung sebab mereka meyerahkan segala persoalannya pada perempuan. Pertayaannya adalah mengapa tiba-tiba nabi bersabda seperti itu? Apakah karena perempuaanya ataukah karena sebab-sebab lain.
Dari segi struktur bahasa hadist ini diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan teks “lan” yang biasa diartikan “tidak akan pernah” dan ada yang menggunakan “la” yang berarti “tidak akan”. Dipihak lain ada yang mengunakan teks ” asnadu” yang berarti meyandarkan, “mallaku” yang berarti memilikkan, “wallau” meyerahkan al-wilayah dll. Ada juga yang memposisikan teks imra’atun sebagai maf’ul dan ada juga yang memposisikannya sebagai fa’il.
Disisi lain hadist ini menggunakan struktur bahasa ” nakirah fi siyaqi an- nafi” yang berarti “teks umum”. Yang berarti hadist itu bukan berlaku dalam kasus masyarakat persia melainkan juga masyarakat lain di dunia ini, menurut kaidah usul fiqih al-ibrah bi umumil lafdhi la bikhususis sabab. Sekalipun masih ada kaidah sebaliknya al-ibrah bi khususis sabab la bikhususil lafdhi. Namun dalam kaidah usul fiqih dikatakan ma min ammin illa wa qad khussisha, setiap lafad am pastilah terdapat pengecualian.
Jadi melihat struktur bahasanya hadist itu bisa mengandung kemungkinan makna, antara lain ” masyarakat manapun termasuk masyarakat persia tidak akan berbahagia jika seluruh persoalan hidupnya diserahkan atau dimilikkan pengelolaannya pada seorang wanita. Namun makna ini masih bersifat dhanny sebab masih ada makna lain dan masih mungkin dikecualikan. Sebab itulah atas dasar hadist ini jumhurul ulama’ berpendapat perempuan tidak boleh menjabat hakim. Berbeda dengan Ibnu Jarir At-Thabari dan sebagian ulama’ Malikiyah yang membolehkan perempuan menjadi qhadi. (baca fathul bari juz 20, hlm 107)
Semua syari’ah diturunkan oleh Allah pastilah karena alasan kemaslahatan. Tidak ada satu syari’ahpun yang disyari’atkan tanpa alasan kemaslahatan. Alasan kemaslahatan itulah yang dinamakan illat. Dalam kaidah usul fiqih dikatakan al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman , hukum berputar sealur dengan ada dan tidaknya alasan. Jika illat ada maka hukum ada dan jika illat tiada maka hukum juga tiada.
Pertayaannya dalam konteks hadis ini, apa illah adamul iflah ? apakah karena perempuanya? Ataukah karena perempuan saat itu belum memiliki kemampuan menjabat raja, ataukah karena sebab-sebab lain? Jika illatnya karena perempuan, maka illat perempuan adalah illat qhashirah, yang tidak dapat dijadikan illat. Maka saya menduga bahwa illatnya bukan karena perempuannya, melainkan karena sebab lain yaitu ketidakmampuan perempuan. Selanjutnya bagaimana kalau perempuan dalam konteks kekinian mampu menduduki jabatan itu? Jika kita konsisten dengan kaidah itu seharusnya kita mengatakan ” mengapa tidak?
Apalagi kalu kita berpendapat menjadi presiden tidak sama dengan khalifah atau seorang raja. Presiden dalam negara demokrasi bukanlah pengambil kebikjakan tunggal. Jadi menggunakan hadist lan yufliha qaumun itu dalam kontek negara demokrasi sesungguhnya kurang tepat, kalau tidak dikatan keliru. Hadis itu lebih tepat digunakan dalam sistem pemerintahan teokrasi atau negara sistem kerajaan.
Apakah dibenarkan jika ada kelompok-kelompok manyarakat yang menggunakan dalil –dalil syar’i untuk kepentingan kelompoknya?
Syari’ah diturunkan oleh Allah bukan untuk kepentingan Allah sendiri melainkan untuk kepentingan manusia. Jadi syari’ah memang harus digunakan untuk kepentingan manusia termasuk perempuan selama dipahami secara proporsional dan sejalan dengan nilai-nilai kemaslahan dan kejujuran beragama. Bukan atas dasar keuntungan ekonomi, kekuasaan dan kemasyhuran diri. Bukankah nabi mengingatkan bahwa orang yang belajar ilmu untuk tujuan itu tidak akan pernah mencium bau surga apalagi masuk kedalamnya.
dalam hal taqwa laki2 perempuan tak ada beda (di nilai ketaqwaannya bukan kelaminnya) tapi kalau sudah berumah tangga (keluarga sholeha) tetap rujukannya suami atau laki2 yang bertanggung-jawab dalam hal ketaqwaan rido suami rido Allah…laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. kalau pemimpin wanita / presiden wanita hamil, cuti 9 bulan, kan jadi repot negaranya. belum lagi kalau negaranya sebagian besar beragama islam, waktu sholat idul fitri/idul adha presiden wanita nya lagi haid, jadi tak ikut sholat. bukan maksud merendahkan wanita. tapi wanita/istri sholeha dengan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga lebih baik di banding wanita/istri berkarier di luar rumah tangga. karena jikalau dia jadi pemimpin suatu daerah dia tidak bisa mengutamakan kepentingan jobnya, karena harus dan paling utama mengurus suami, tak ada alasan menomo rduakan suami (kalau wanitanya muslim, kalau tidak ya terserah). dan itu jelas hukumnya, dan kalau si wanita pun bisa hebat dalam kepimimpinannya, dia hanya hebat di dunia belum tentu di akhirat, dunia ibaratkan ibu jari yang di celupkan di tengah lautan dan ketika kita angkat jari tadi, maka air laut yang terisisa di jari tadi, itulah dunia, sangat-sangat kecil di bandingkan dengan akhirat. Agama Islam di rusak dari dalam, dimulai dengan statement yang mencari-cari pembenaran dalam urusan untuk kepentingan dunia, padahal sudah jelas laki-laki itu pemimpin bagi wanita, dan tidak beruntung suatu kaum apalagi menyerahkan segala urusannya kepada wanita. jadi apakah ini kurang jelas? dan para nabi/rasul juga dari para lelaki 100% yang juga pemimpin suatu kaum, jadi dari itu sudah jelas-jelas Nampak pemimpin itu harus laki2 untuk suatu kaum/Negara. atau ada yang mau nambahin pernah ada nabi/rasul wanita yang tidak tercatat sejarah atau tidak tercatat dalam Al-Qur’an, Astaghfirullah al’aziim, Subhanallahu