Pada hari Senin, 8 September 2014, diundang PCNU Banyuwangi dalam acara Halal Bihalal dan Launching Hasil Rekam Aspirasi Calon Bupati Banyuwangi periode 2015-2020 y. Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Ketua Umum PBNU, KH. Selamet Efendi Yusuf, Jajaran Pengurus NU ( cabang, MWC, ranting) dan badan otonom NU (GP. Anshor, Muslimat Fatayat, IPNU-IPPNU), pengasuh pondok pesantren se Kabupaten Banyuwangi, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wakil Bupati, Seluruh kepala Dinas, Camat dan kepala desa.
Bahkan, PCNU Jember yang dipimpin oleh Rais Syuriyah KH. Muhyiddin Abdussamad beserta pengurus Muslimat NU Jember juga datang untuk menyaksikan forum yang dapat mengantarkan kader NU (Abdullah Azwar Anas) menjadi Bupati Banyuwangi . KH. Hasyim Muzadi yang datang satu mobil bersama orang dekatnya HM. Misbahus Salam, dalam tasyiyakhnya menyampaikan tentang perbedaan tugas antara ulama dan umara.
Ulama bertugas menyampaikan pesan-pesan agama kepada ummat, sementara umara melaksanakan secara tehnis dari pesan-pesan agama dari ulama. Misalnya hadist Annadhafatu minal iman (kebersihan merupakan bagian dari iman), ulama bertugas mensosialisasikan pesan hadist ini pada ummat, sedangkan umara (pemerintah) melaksanakan secara tehnis opersional dalam mengetrapkan kebersihan, baik dengan menggerakkan pasukan kuning maupun cara-cara lainnya.
Dalam konteks membuat peraturan atau undang-undang kata Kyai Hasyim Ulama dan Umara NU harus paham antara hal yang lafdhi (tekstual) dan maknawi (substansi). Karena saat ini marak pembuatan perda-perda syariah. Seakan-akan kalau ada peraturan tidak berbahasa arab tidak dapat pahala. Padahal para wali songo memperjuangkan islam di Indonesia melalui kearifan lokal daerah. Artinya kita harus berfikir secara substansial syariah bukan dengan formalitas syariah.
Misalnya peraturan yang berdampak pada kemajuan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya itu semua adalah sangat sesuai dengan syariat walaupun tidak memakai bahasa arab. Kyai Hasyim juga mengingatkan kepada para pengurus NU bahwa NU ini adalah jimatnya agama dan Negara. Ditangan NU NKRI ini akan selamat, ditangan NU pula missi rahmatan lilalamin akan terwujud.
Oleh karenanya rawatlah NU ini dengan baik. Orang NU boleh saja berpolitik, seperti Ulama Ulama NU terdahulu (KH. Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim ) dan lain-lainnya semuanya adalah politisi. Akan tetapi politik jangan dijadikan perdagangan politik, namun harus jadikan perjuangan politik. Kalau tokoh NU menjadikan politik sebagaai perdagangan politik maka dia tidak menempati makam yang mulya baik dihadapan Allah (‘Indallah) maupun dihadapan manusia (‘indannas ).
Dan, kita harus bisa membedakan antara orang NU dan NU, kalau orang NU bisa dari berbagai kalangan, mulai yang korak dan Kori’, bajingan dan kyai, penjahat dan pejabat, semua orang NU, tapi NU itu tersendiri yang didalam mengandung ajaran islam Ahlussunnah wal jama’ah dan bila diamalkan akan berdampak terwujudnya rahmatan lilmuslimin dan rahmatan lil’alamin. (HMS)