Perdebatan tentang Pemilukada secara langsung atau melalui DPRD masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terlebih setelah Presiden SBY mengeluarkan PERPU. Namun, warga NU harus tahu bahwa pemilukada oleh DPRD sebenarnya sudah disepakati oleh ulama-ulama NU. Hal itu sejalan dengan hasil musyawarah nasional dan konferensi besar NU di Cirebon pada tanggal 15 s/d 17 September 2012.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga telah menyampaikan mendukung pemilukada oleh DPRD bukan pemilihan langsung oleh rakyat. Hal itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dengan alasan mudharatnya atau kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya.
Penulis secara pribadipun mendukung pemilukada oleh DPRD bukan pemilukada secara langsung oleh rakyat, dikarenakan beberapa alasan berikut:
1. Tidak semua orang tahu track record figur calon pemimpinnya.
Bisa bayangkan disatu kabupaten/kota, ada banyak kandidat yang bermunculan saat musim pemilukada. Dan sebagian besar masyarakat tidak tahu track record (rekam jejak) figur kandidat yang akan dipilihnya. Ini dimanfaatkan oleh para kandidat untuk melakukan promosi besar-besaran agar mereka bisa dikenal lebih cepat oleh masyarakat melalui media-media marketing seperti baliho, spanduk, iklan TV, radio, acara publik, dan berbagai cara lainnya.
2. Banyak kecurangan sulit dikontrol
Terjadinya berbagai kecurangan adalah konsekwensi logis pemilukada secara langsung dan itu sangat sulit dikontrol. Bagaimana bisa mengontrol masyarakat disatu kabupaten/kota dengan tim sukses yang terus bergerilya untuk memenangkan kandidat yang didukungnya?
3. Money politik dimana-mana
Pernah dengar istilah serangan fajar? Bukan itu saja momentum money politik besar-besaran, sebelum itu ada banyak proses yang melibatkan uang agar masyarakat atau golongan tertentu mau mendukung salah satu kandidat. Dan itu sudah lumrah terjadi di masyarakat.
4. Rawan konflik
Ini juga sudah menjadi rahasia umum. Gara-gara Pemilukada, antar tokoh agamapun bisa bermusuhan. Sangat disayangkan bukan… Banyak cerita yang kita dengar, permusuhan antar golongan, antar kelompok bahkan antar keluarga yang terjadi karena perbedaan figur kandidat yang didukungnya.
5. DPRD adalah wakil rakyat
Karena bapak-bapak/ibu-ibu yang duduk dikantor DPRD adalah wakil rakyat yang dianggap kompeten untuk mewakili rakyatnya dari berbagai DAPIL (daerah pemilihan), maka secara tidak langsung pemilukada melalui DPRD juga sama dengan pemilukada secara langsung oleh rakyat, dalam tanda kutip. Karena itulah pemilihan anggota DPRD harus benar-benar menjadi perhatian serius masyarakat, agar calon yang terpilih sesuai dan mampu mewakili kehendak masyarakat.
Meskipun demikian, bukan berarti pemilukada oleh DPRD bebas dari politik uang. “Kan ada KPK, PPATK atau institusi hukum lainnya yang bisa melakukan pengawasan,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Dijelaskannya, disamping figur-figur yang sukses memerintah dari pemilihan langsung seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi Ridwan Kamil di Bandung dan lainnya, banyak sekali pemimpin daerah yang terpilih karena memiliki uang banyak.
“Ada calon baik-baik yang kalah sama penyanyi, karena kalah populer dan kalah uang,” tegasnya.
Untuk menjadi kepala daerah, kata Kiai Said, dibutuhkan dana yang sangat besar. Untuk bupati, bisa puluhan milyar sedangkan untuk tingkat gubernur, mencapai ratusan milyar. Dan tentu saja, mereka akan berusaha mengembalikan modal tersebut dengan segala cara setelah terpilih.
Wakil sekjen PBNU Masduki Baidlawi menambahkan, proses pilkada saat ini merupakan bagian dari upaya pematangan politik, baik pemilihan langsung maupun oleh DPRD akan sama-sama menimbulkan politik uang.
“Kalau pemilihan oleh DPRD, maka kontrol masyarakat terhadap lembaga ini harus diperkuat,” tegasnya.
Berikut hasil bahtsul masail maudluiyyah pemilukada dalam perspektif Islam dalam Munas NU Cirebon, 15-17 September 2012
1. Pemilukada yang didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, antara lain:
a. Melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat luas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Dengan demikian, ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam berdemokrasi.
b. Terpilihnya kepala daerah yang aspiratif yang memahami betul problematika masyarakat dan pemecahannya.Tujuan mulia ini dapat disebut dengan kemaslahatan (mashlahah) yang hendak diraih dengan pemilukada.
2. Dalam praktek pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah), baik dalam proses maupun dalam produknya, telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan.
3. Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini.
4. Harapan untuk memperoleh kepala daerah yang terbaik (ashlah) melalui pemilukada, lebih sering tidak terwujud dalam kenyataan. Sementara itu konflik horizontal akibat pemilukada telah menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan.
5. Mengingat mafsadah pemilukada merupakan mafsadah yang sudah nyata terjadi (muhaqqaqah), sedangkan mashlahahnya lebih sering maslahat semu (wahmiyyah), maka pemilukada wajib ditinjau kembali. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1403 H, h. 87).
6. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat (irtikab akhaff al-dlararain) yang didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Apabila ada dua mafsadah saling bertentangan maka harus diperhatikan mafsadah yang lebih besar bahayanya dengan memilih mafsadah yang lebih ringan madlaratnya” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1403 H, h. 87).
Sumber: NU Online dengan beberapa tambahan.