إلهي لست للفردوس أهلاً ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي زلتي واغفر ذنوبي فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبي مثل اعداد الرمال فهب لى توبة ياذاالجلال
وعمري ناقص في كل يوم وذنبي زائد كيف احتمال
الهي عبدك الجاني اتاك مقرا بالذنوب وقد دعاك
وان تغفر فانت لذاك اهل وان تطرد فمن يرحم سواك
“ Wahai Tuhanku, memang aku tak pantas tinggal di surga dan akupun tidak kuat berada di neraka jahim. maka anugerahkanlah kepadaku (ampunilah) dosa-dosaku karena engkau adalah Dzat yang maha mengampuni dosa besar. Dosaku bagai sejumlah kerikil bebatuan, maka terimalah taubatku wahai dzat yang memilki keagungan. Bagaimana mungkin aku dapat menanggungnya, sementara usiaku terus berkurang dan dosaku kian bertambah. Wahai tuhanku, hambamu yang pendosa datang kepada-Mu seraya mengakui dosa-dosa, benar-benar berdoa kepadamu semoga engkau mengampuni dosaku. karena memang engkaulah yang ahli untuk itu, jika engkau tidak peduli maka siapa selain engkau yang bisa memberikan Rahmat ”.
Subhanallah begitu indah dan sahdu Bait-bait di atas, Bait simpel yang sarat akan makna. Maka mereka yang tekun dan istiqomah membaca bait tersebut setelah doa-doa lain setelah sholat jumat maka akan meninggal dengan membawa islam (husnul khotimah),amin.
Sekedar diketahui,konon syair dan bait di atas merupakan ungkapan penyair besar di masanya. Beliau adalah al-Hasan bin Hani’ bin abd Awwal bin as-Shibah al-Hakamy, yang lebih dikenal dengan sebutan “Abu Nuwwas “.
Beliau lahir di kota kecil bernama khauzistan pada tahun 141 H dan wafat di usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 199 H. Abu nuwwas kecil pernah bersahabat dengan orang yang bernama Walibah bin al-Hibab dan bersama-sama belajar di daerah kufah untuk kemudian berangkat ke Bangdad.
Di sanalah beliau banyak belajar kepada banyak ulama’ sampai beliau menjadi seorang ulama’ yang ahli bidang sastra dan ilmu lainnya. Atas keahlian bidang sastra ini beliau mendapatkan jabatan terhormat di sisi kholifah Harun ar-Rasyid dan al-Amin.
Betapun beliau seorang ulama’ yang alim dan banyak mengerti tentang ilmu, akan tetapi hal itu tidak dapat melepaskan diri dari jati diri beliau sebagai manusia biasa yang dekat dengan sifat salah dan lupa. Hal ini pun pernah dialami oleh abu nuwwas saat menampilkan sebait syair, yang dalam sudut pandang tata bahasa arab dianggap kurang tepat. Dan menurut sebagian ulama’ hal ini tidak boleh terjadi pada sosok abu nuwwas selain karena beliau dikenal sebagai sosok yang alim juga biang masalahnya dianggap terlalu remeh untuk salah,yakni masalah nahwu tepatnya masalah lafadh.
Adapun lafadh yang menjadi pokok masalahnya adalah sebagai berikut ;
*كأنّ صُغْرى وكُبرى – من فَقاقِعِها * حَصْباءُ دُرٍّ على أَرضٍ منَ الذَّهَبِ*
Tepatnya pada lafadh صُغْرى ,كُبرى ,kedua lafadh tersebut adalah sama-sama isim tafdhiil dalam bentuk muannast padahal secara etika bahasa seharusnya apabila isim tafdhiil tidak dalam kondisi mudahof dan kemasukan al, maka seharusnya isim tafdhil bentuknya harus mufrod dan mudzakkar. Maka seharusnya begini “أصغر وأكبر”. Bukan صُغْرى وكُبرى. Sebagian ulama’ memberikan alasan sebagai pembelaan kepada beliau dengan menyatakan bahwa abu nuwwas tidak bermaksud membuat isim tafdhiil akan tetapi beliau bermaksud kepada makna sifat yang sepi dari tambahan,والله اعلم بالصواب.
Referensi:
المثل السائر في أدب الكاتب والشاعر (1/ 43).
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي (ص: 132)
Penulis: Ustadh Hamdi