Siapa saja harus hati-hati ketika berhadapan dengan penguasa. Karena banyak hal buruk yang akan didapat bila terlalu akrab dengan penguasa. Kisah berikut semoga dapat mengingatkan.
Ini sebagian cuplikan kisah dalam kitab manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Suatu ketika Syaikh Abdullah Al-Mushalli menceritakan, bahwa Khalifah al-Mustanjid Abal Mudhaffar datang berkunjung ke kediaman Syaikh Abdul Qadir untuk meminta nasihat. Layak dan umumnya seorang pejabat, ia datang tidak dengan “tangan kosong”. Sejumlah uang disertakan dalam kunjungan tersebut. Setidaknya ada sepuluh kantong besar uang yang dipersembahkan untuk sang Syaikh Abdul Qadir. Bahkan untuk dapat membawa persembahan tersebut, ada sepuluh pengawal yang harus mengangkatnya dan dibawa masuk kediaman sang syeikh.
Akan tetapi tanpa diduga ternyata Syaikh Abdul Qadir menolak pemberian tersebut. Sadar dengan penolakan itu, sang khalifah tetap memaksa agar sesuatu yang dibawanya dapat diterima. Al-Mustanjid menandaskan bila sang syaikh tidak menerima pemberian itu, ia juga akan menolak pergi dari kediaman Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Pertemuan terkesan tegang lantaran antara kedua belah pihak bersikukuh dengan pendapatnya. Yang satu harus menolak, yang lain harus diterima.
Mungkin agar tidak terlampau mengecewakan khalifah, akhinya syaikh menerima dua kantung dari sepuluh yang dibawa khalifah. Syaikh juga memilih kantung terbaik dari sekian kantung yang ada.
Belum sempat khalifah pergi, Syaikh Abdul Qadir berdiri dan mengambil dua kantung yang ada. Masih di hadapan khalifah, ia lalu memeras dua kantung berisi dinar tersebut.
Apa yang terjadi? Ternyata dari kantung hasil perasan sang syaikh keluar darah segar. Kepada Khalifah Abu Mudhaffar, Syaikh Abdul Qadir menyatakan, “Apakah kamu tidak malu kepada Allah atas perbuatanmu memeras darah manusia lalu kamu berikan kepadaku?”
Suasana pertemuan yang semula penuh keakraban berubah menjadi tegang. Pada saat yang sama khalifah pingsan. Ketika itu Syaikh Abdul Qadir berkata, “Demi Dzat yang disembah. Seandainya tidak takut merusak kehormatan khalifah yang nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad, maka akan saya biarkan darah itu mengalir hingga ke rumahnya.”
Â
Apel Penuh Darah dan Nanah
Masih dalam manakib tersebut, dikisahkan bahwa kepribadian Syaikh Abdul Qadir tidak pernah menghormat seseorang karena harta. Beliau juga enggan berdiri menghormati para pejabat karena jabatan strukturalnya. Disamping itu beliau juga tidak pernah berdiri di belakang menteri dan khalifah, bahkan tidak pernah pula menerima hadiah dari mereka.
Sikap dan keistiqamahan ini ternyata dimaknai berbeda oleh sebagian penguasa. Bahkan tidak jarang yang akhirnya tersinggung serta marah atas tindakannya.
Agar dapat mendudukkan permasalahan secara jernih dan benar, suatu ketika ia berkata, “Khalifah, kirimkanlah kepada saya barang yang anda miliki dan silahkan datang bersamanya.”
Dalam pikiran sang khalifah, bisa jadi ini adalah kesempatannya untuk memberikan sesuatu untuk sang syaikh. Lalu khalifah datang sendiri dengan membawa buah apel yang istimewa, segar dan ranum.
Buah apel pemberian sang khalifah diperhatikan dengan seksama. Dalam penglihatan sang syaikh ternyata buah apel itu dipenuhi darah dan nanah. Karena itu Syaikh Abdul Qadir berkata, “Bagaimana saya bisa menerima apel pemberian khalifah kalau ternyata dipenuhi nanah dan darah manusia?”
Atas kejadian ini khalifah mohon maaf dan bertaubat di hadapan beliau. Dan sang khalifah pun mau berkunjung dan duduk di sisi syaikh layaknya rakyat biasa untuk mengaji hingga akhir hayatnya. (s@if)