Di dalam tubuh NU ada istilah jam’iyah dan jama’ah, keduanya merupakan kekuatan tersendiri bagi NU. Jam’iyah adalah orang yang bergambung dalam struktur NU, sedangkan Jama’ah adalah orang yang yang secara cultur mengikuti ajaran dan amaliah yang dilakukan oleh Ulama-Ulama NU. Dalam sejarah NU, urusan pembinaan dan pengelolaannya sebagai Jam’iyah dan Jama’ah telah mengalami beberapa periode. Periode ini ditulis oleh saksi sejarah dan santri dari Hadaratus syekh KH. Hasyim Asy’ari yaitu KH. Abdul Muhith Muzadi dengan judul Pengelolaan NU sebagai Jam’iyah dan Jama’ah.
Kyai Muhith menuturkan bahwa ada beberapa periode; pertama, mulai berdirinya sampai awal dasawarsa 1930-an, NU dikelola secara sederhana sekali oleh para ulama dengan bantuan beberapa orang yang mengerti dan dapat mengerjakan urusan organisasi dan administrasi seperlunya. Para pembantu inilah yang kemudian berkembang menjadi “Tanfidziah”. Dapat dibayangkan bahwa pembinaan bidang organisasi dan administrasi masih lemah dan sederhana. Meskipun sederhana tapi tertib. Kedua ; pada pertengahan 1930-an dengan tampilnya beberapa tenaga baru didalam kepengurusan NU, maka pengelolaan NU sebagai jam’iyah terasa ada paningkatan seperti tergambar pada penjelasan tersebut di atas, yaitu pasa zaman kepemimpinan almarhum KH. Machfudz Shiddiq sebagai ketua PB NU dan almarhum H. Aziz Dijar sebagai sekertaris jendral (dahulu namanya Voorzitter dan Algemeen secretaries).
Ketiga, Pada zaman panjajahan Jepang, sama sekali tidak dapat dilakukan pembinaan organisatoris administratif (jam’iyah), hanya dapat dilakukan pembinaan NU secara jama’ah. Keempat; Pada zaman refolusi fisik, NU juga tidak sempat melakukan pembinaan organisatoris administratif secara intensif, karena kesibukan perjuangan bersenjata. Kelima ; Sesudah refolusi fisik selesai (dasawarsa 1950-an), NU berusaha membenahi diri, terutama menampilkan kembali eksistensinya setelah bertahun-tahun “tenggelam” ditelan Jepang, ditelan refolusi dan terakhir dalam Masyumi. NU berhasil menampilkan eksistensinya secara mengagumkan, menjadi partai ketiga dari empat besar. Tetapi NU kemudian terlihat didalam politik praktis yang berlebihan, sekaligus juga pertentangan terus menerus, sehingga pembinaan internal (organisatoris, administratif dan idiologis) terbengkalai lagi. Keenam; Sesudah memfusikan fungsi politiknya didalam PPP, sekali lagi NU terlihat didalam politik praktis yang berlebihan, dan sekaligus pertentangan terus menerus, sehingga tetap saja pembinaan organisatoris administratif terbengkelai lagi.
Ketuju ; Sesudah kembali kepada khittahnya, NU rupanya belum juga sempat secara serius dan intensif melakukan “pembinaan” dibidang perubahan wawasan. Itupun masih mengalami banyak hambatan, yang sebagian merupakan akibat dari lemahnya pembinaan administrasi organisasi, kelemahan pembinaan NU sebagai jam’iyah. Tapi dengan masuknya kalangan akademisi kepengurusan NU, secara bertahap dapat melakukan juga penguatan organisasi melalui perbaikan administrasi dan manajemen organisasi.
Pengelolaan NU secara organisatoris sangat nampak pada era kepemimpinan Gus Dur, dan saat Gus Dur jadi Presiden. NU berkembang dengan pengelolaan dan penataan manajemen modern, kantor-kator NU berdiri hingga ke tingkat Cabang, MWC dan Ranting. Lembaga dan Lajnah serta badan otonom NU berjalan sesuai dengan perencanaan program masing-masing. PBNU pun memiliki kantor yang cukup megah dengan perangkat Informasi dan tehnologi berupa NU ON LINE.
Umat NU saat ini sangat mendambakan peran-peran struktur di NU (Mustasyar, Syuriyah, Tanfdziyah, Lembaga dan lajnah) berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Rekrutmen pengurus NU yang akan datang tentu tidak hanya yang ahli dalam ilmu fiqh dan tashawwuf, tapi perlu orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan kondisi masyarakat. Program-program NU tidak hanya menggantungkan diri pada Rais Am dan Ketua Umum, pengurus yang lain harus bergerak sesuai dengan pembagian bidangnya masing-masing.
Dalam kondisi NU sekarang yang sedang menghadapi berbagai tantangan antara lain ; merebaknya ideologi yang bertentangan dengan ideologi NU, baik dibidang aqidah, syari’ah, maupun dalam konteks kenegaraan Republik Indonesia, adanya pasar bebas yang membutuhkan kemampuan ilmu ekonomi dan SDM, melemahnya peran-peran NU ditingkat nasional maupun internasional, dan krisis kepercayaan ummat pada para pemimpin, maka NU harus memperkuat Institusional Builnding, membangun NU secara organisatoris, bukan berfikir pada personal tokoh siapa yang akan menjadi Rais Am dan ketua Umum NU. Jika berfikirnya berangkat dari personal tokoh justru akan terjadi konflik kepentingan yang tidak menguntungkan NU. Era sekarang ini tentu sudah berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu, Pengurus Cabang, MWC dan Ranting sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Mereka sudah bisa menilai dengan mata hati mereka siapa yang sungguh-sungguh berjuang di NU dan siapa yang pantas memimpin NU.
Termasuk terjadinya tarik ulur perdebatan tentang konsep Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dalam Muktamar yang akan datang, para pengurus NU di bawah sangat paham apakah itu sebuah rekayasa atau bukan. Wallahu a’lam bishawab.
Jember, 25 Desember 2014
Penulis
HM. Misbahus Salam
Alumni PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo
Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam