Menelisik Problematika Pesantren Terkini
Pesantren Salaf dan Modern
Beberapa tahun belakangan, beberapa tokoh masih berdebat tentang definisi pesantren, dari lontaran argumentasi beberapa pihak, pesantren sebagai budaya asli Indonesia tersimpulkan dua idialisme esensinya. Salaf dan Modern. Sebagai poros tengah, satu ide “abu-abu” dengan konsep pesantren salaf dengan “selipan” kegiatan formal (pesantren modern). Idialisme terakhir ini nampaknya mulai menjadi “pilihan”.
Bagaimanapun, eksistensi pesantren salaf dan pesantren modern adalah dua aspek yang mempunyai fragmen sejarah dan kultur berbeda, ma la yudroku kulluh la yutroku julluh, adalah idialisme yang kurang pas dijadikan asas sebuah pesantren. Hal ini akan memunculkan sebuah opini, pesantren “setengah-setengah”.
Kitab Kuning Ciri Khas Pesantren
Bermain dengan “intonasi bahasa luar” layaknya kumpulan mahasiswa sedang rapat BEM dan tidak mengenalkan identitas lewat gaya atau ciri khas bahasa kitab kuning sah-sah saja. Tapi pada satu sisi, prosa kitab salaf akan tidak popular.
Menjadi jauh bila ditarik ke karakteristik sufistik yang seharusnya jadi identitas pesantren. Karena semakin jauh bermain, semakin terpengaruh dan menjadi terganggu identitas yang seharusnya dikenalkan. Ini disinggung oleh Ibnu Malik dalam alfiyahnya, Waqod amalu litanasubin bila da’in. Implementasi ciri khas menjadi penting bagi sebuah komunitas untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya. Termasuk pesantren yang menjadi lembaga pendidikan tua di negeri ini.
Bagaimana sebaiknya yang dilakukan pesantren dalam dewasa ini?, berikut ini beberapa hal yang kami simpulkan ketika mengunjungi beberapa pesantren di Jawa Timur, sebuah provinsi yang berdiri 5000 lebih pesantren dengan berbagai corak. Fasilitas dan rancangan yang kami sampaikan mungkin sedikit memberi gambaran akan tantangan pesantren dari masa ke masa.
Pesantren Rehabilitasi
Kami pernah menemukan plang nama “Pondok Pesantren Rehabilitasi” di daerah Balen Bojonegoro beberapa waktu lalu, kalau itu benar, betapa pesantren telah tampil apik dan menjadi solusi umat, sebuah sarana pendidikan yang bisa mebina beraneka ragam karakter anak bangsa. Apapun latar belakangnya, pesantren diharapkan bisa “meluruskan” dan membawa para santri ke jalan kebenaran, jalan menuju Allah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Pesantren Metal di Pasuruan Jawa Timur, dari beberapa “alumni”, telah benar-benar merasakan kemanfaatan rehabilitasi jiwa mereka, termasuk “perbaikan” karakteristik spiritual. Memperbaiki lahir batin tentu menjadi pilihan yang menjanjikan kepada saudara-saudara kita yang mengalami gangguan kejiwaan.
Media Pesantren
Pesantren sekarang sudah familiar dengan media cetak, seperti majalah, buletin dan mading. Pembinaan disertai pelatihan atau seminar-seminar jurnalistik dilaksanakan dengan serius dan berkala, karena santri yang bisa menulis dan berbahasa baik menurut tatanannya adalah nilai plus pesantren. Menjadi tidak baik bagi nama pesantren bila ada tulisan di website atau yang lain dari pesantren, ternyata tatanan bahasa kurangnya baik. Malah, makin menguatkan pesantren berada dalam sebuah asumsi “tradisional”.
IT di pesantren salaf, bisa perlu bisa tidak. Terkhusus akses internet, dilihat dari mudlarat dan manfaatnya berbanding 95:5. Beberapa program di internet memang ada yang positif dan bisa dimanfaatkan (5%), itupun harus dikelola oleh tenaga porposional dengan pengawasan ketat pesantren, karena ada 95% mafsadah di dalamnya.
Pekerjaan Rumah
Sistem regenerasi yang dar’ul mafasid adalah hal absolute didahulukan. Salah satunya pengajar, karena para pengajar bersentuhan langsung dengan santri. Di samping kredibilitas keilmuannya, metode pengajaran yang lebih konstruktif diperlukan. Karena pribahasa, lain dulu lain sekarang, juga berlaku untuk santri. Tidak cukup dengan jalbil masholih saja.
Kepekaan informasi luar, agar bisa menfilter dan “mengarahkan” opini para muridnya perlu dipertimbangkan, karena guru adalah aktor utama dalam pembentukan sugesti murid-muridnya. Sepertinya, menjadi kebutuhan mendesak saat sebagian santri yang masih sekolah di pesantren, justru kebingungan tentang masa depannya. Apalagi pendidikan nasional terus berkembang dari waktu ke waktu, pesantren yang menjadi wadah ratusan bahkan ribuan santrinya tentu harus berpacu untuk menyeimbangkan sistem pendidikannya.
Asrama Bahasa Indonesia & Asing
Sebagian pesantren ada yang menerapkan asrama khusus bahasa asing, seperti bahasa Arab dan English. Ini akan menguatkan eksistensi pesantren dalam pendidikan santrinya. Tidak sedikit lulusan pesantren menguasai bahasa asing berbagai negara, khususnya bahasa Arab. Seperti teman saya dari pesantren Tebu Ireng Jombang dan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Mengawasi dan mengontrol serta mu’asyarah bil lughoh secara kontinu dan “campur tangan” seluruh pihak pesantren tentu diperlukan. Tanpa itu, sulit bahasa asing terealisasi. Harapan santri yang benar-benar berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia memang tidak mudah, tapi juga tidak sulit. Sebuah kaidah ushul fikih mengatakan, Al amru idza dloqo ittasa’a (setiap perkaran yang sempit menjadi luas), berangkat dari hal itu, penduduk pesantren harus merencanakan langkah kongkrit dan cerdas.
Pesantren Bersih
Bisa dipastikan bahwa, keadaan pesantren pada saat ini sudah bukan gotakan kayu dan angkring. Namun sudah berupa gedung bertingkat dan lantai berpaving. Dimensi ini harus disikapi cerdas guna menarik minat masyarakat ke pesantren. Salah satunya dengan menjaga kebersihannya. Tidak lantas membiarkan lembaga pesantren keadaannya kumuh dan tidak sehat. Hadis masyhur An nadhofatu minal iman yang familiar bagi santri harus benar-benar diterapkan. Semangat ini disampaikan oleh Ibnu Malik dalam kita Alfiyahnya, fama ubiha if’al wa da’ ma lam yubah.
Dari beberapa pesantren yang ada di Jawa Timur, pondok pesantren Langitan Widang Tuban berhasil mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat, beberapa tahun lalu Langitan mendapat penghargaan dari Kementrian Kesehatan karena menjadikan pesantrennya sebagai tempat yang bersih dan bebas dari rokok.
Idialisme Kongkrit
Pesantren yang ada sejak ratusan tahun lalu sudah selayaknya merumuskan “jalannya.” “Umur tua” adalah cerminan langkah yang harus matang. Idialisme “orang-orang pesantren” diharapkan menjadi corong untuk mengangkat eksistensi pesantren yang bisa bermanfaat kepada para santri dan berguna bagi masyarakat sekitarnya, atau kepada bangsa. Karena jasa pesantren kepada Negara ini sudah tidak diragukan.
Perlu diapresiasi ketika Sidogiri justru menancapkan slogan, “kami tidak minta diakui, tapi mereka yang mengakui kami”. Manajemen dari konsep al akhdu bi jadidil ashlah yang terakomodir dengan baik dan kesuksesan memperdayakan ribuan alumninya yang tersebar di seluruh nusantara lewat mua’malahnya, membuat Sidogiri sangat diperhitungkan tidak dari kalangan pesantren, malah berbagai universitas nasional justru “ngaji” ke Sidogiri.
Sudah waktunya pesantren tampil dengan bijak, “berwajah” santun menyejukkan (minjam istilah TV9). Idialisme dan langkahnya diorientasikan kepada hal yang berdampak positif. Jihad masa kini bukan mengangkat pedang. Tapi, mengeksplorasi karya-karya kreatifitas dari pesantren untuk bangsa ini. Sumbangsih kepada bangsa sudah pasti akan mengangkat citra pesantren di mata umum. Wallahu a’lam.
Oleh: H. R. Umar Faruq
Kepala Sekolah Flp Lamongan