Sebelum Tuhan menciptakan makhluk bernama “manusia”, Tuhan menciptakan malaikat dan iblis, pekerjaannya tak lain, hanyalah beribadah dan mengabdi kepada Tuhan, tak satupun dari mereka yang memabangkang, Malaikat tercipta dari cahaya, Iblis tercipta dari api.
Setelah inisiatif Tuhan, didengar Malaikat tentang penciptaan makhluk bernama “manusia” sebagai penghuni bumi, Malaikat protes, sebagaimana dilukiskan dalam al-qur’an, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. 02: 30)
Terciptalah “Adam,” manusia pertama ciptaan Tuhan, meskipun Adam diciptakan setelah Malaikat dan Iblis, namun Tuhan memberinya keistimiwaan, berupa ilmu pengetahuan. Sebagaimana dilukiskan dalam al-qur’an, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (QS. 02: 30) ayat ini menginformasikan bahwa, sesuatu yang tercipta terlebih dulu belum tentu lebih paham dan mengerti tentang seluk beluk kehidupan, dan juga sesuatu yang tercipta belakangan belum tentu lebih tidak tau apa-apa tentang kehidupan, yang tua belum tentu lebih benar dan tak terbantahkan dari yang muda, dan yang muda belum tentu selalu dipandang salah. Bukan tidak mungkin “muda” lebih berpengetahuan tinggi dari yang tua, “santri” lebih berpengetahuan tinggi dari “kiai”, lulusan “SD” lebih berpengetahuan tinggi dari “profesor”, dan seterusnya. Bukankah penemu lampu pijar, Thomas Alva Edison (11 Februari 1847 – 18 Oktober 1931), tidak tamat sekolah? Bahkan hanya sekolah 3 bulan. Bukankah D. Zawawi Imron – budayawan Nasional asal Sumenep – hanya tamat Sekolah Rakyat (SR), setingkat SD? Dan lain sebagainya.
Menukil istilah Prof. Nurcholish Majid, (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005), cendekiawan yang gigih memperjuangkan gagasan pluralism Islam, dan dikenal sebagai perumus “wajah Islam Indonesia”, mengatakan, maka kalau manusia harus diukur dari segi tinggi rendahnya, terhormat tidaknya (tambahan penulis), semestinya dengan pertimbangan apa yang telah diraih dan diperbuat. Dalam jargon sosial disebut sebagai prestasi (achievement). Kita diajari untuk menerapkan achievement orientation, orientasi berdasarkan hasil kerja orang. Sesuai dengan yang telah dicerminkan Tuhan dalam firman-Nya, bahwa manusia tidak mendapatkan apa-apa selain apa dia kerjakan. Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (QS. 53: 36-40), bukan berdasarkan keturunan, sebagaimana yang terdapat dibudaya Jawa, misalnya. Menukil istilah KH. Azaim Ibrahimi, pengasuh ke IV PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, keturunan “kaia” yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, maka tidak perlu dihormat.
Rasialisme, memang sulit dihilangkan, telah terbukti sejak dulu, sebelum Adam diturunkan ke bumi, tatkala Makalikat dan Iblis diperintah untuk sujud pada Adam, semua Malaikat sujud, atas dasar mematuhi perintah Tuhan. Sedangkan iblis enggan untuk sujud pada Adam, dengan argumen, dia lebih baik dari Adam, iblis diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah, penciptaan dari api tentu lebih baik dan mulia daripada penciptaan dengan tanah, iblis tidak sadar, bahwa penciptaan tersebut bukanlah pilihannya, namun pilihan Allah. Sebagaimana yang telah dilukiskan melalui firman-Nya. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. 7: 11-12). Disinilah letak perbedaan malaikat dan iblis, malaikat memandang Adam dari segi ruhani dan spiritual, sedangkan iblis memandang Adam dari segi fisik.
Sifat rasialisme inilah yang menyebabkan iblis celaka sehingga dia diusir dari surga, tempat dia tinggal awal mulanya bersama makalaikat. Bukankah Allah juga telah berfirman, Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (QS. 49: 13)
Amirul Mukminin Alwi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang
Batu, 08 November 2014