Jombang, Cyberdakwah — Perjalanan bangsa Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan, bahkan hingga kini tidak pernah lepas dari kiprah Nahdlatul Ulama. Dengan pandangan Islam yang khas, tidak sedikit yang ingin belajar kepada Indonesia.
Rentang waktu yang demikian panjang sejak proses islamisasi di Tanah Air yang demikian kondusif yakni tanpa kekerasan, menjadikan Islam memiliki penganut yang demikian besar. Proses tarik ulur antara keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara yang dipungkasi dengan tidak adanya keinginan mendirikan negara Islam, menjadikan Indonesia semakin kondusif. “Inilah yang akhirnya menjadikan banyak negara di dunia ingin belajar kepada Islam di Indonesia,” kata H Abdul Halim Iskandar, Senin (5/1/2015).
Ketua DPRD Jawa Timur ini menyampaikan pandangannya dalam kegiatan pendalaman Aswaja untuk para guru dalam rangkaian haul kelima KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diselenggarakan PC LP Ma’arif NU Jombang . Kegiatan yang diikuti tiga ratus peserta utusan sejumlah sekolah dan madrasah di bawah naungan Ma’arif ini berlangsung di Masjid Ar-Ribat Jogoroto.
Gus Halim, sapaan akrabnya menandaskan bahwa Islam Aswaja ala NU telah menyelamatkan Indonesia dari berbagai konflik dan perpecahan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada sejumlah hal yang menjadikan kondisi ini bisa sesuai harapan. “Perilaku keberagamaan, ketatanegaraan serta kehidupan berbangsa berjalan dengan baik,” katanya.
Dengan perilaku keberagamaan Islam ala NU, maka suasana di Tanah Air dapat berjalan dengan baik. “Coba bayangkan kalau yang mengemuka di negara kita adalah kelompok Islam garus keras, tentu suasananya tidak akan seperti ini,” kata kakak kandung Muhaimin Iskandar ini.
Demikian juga dalam ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa, yang lebih dominan adalah Islam yang menghargai perbedaan, dengan sejumlah prinsip keagamaan yang mendukung. “Konsep tasamuh, i’tidal, tawazun menjadi garansi bagi kondusifnya suasana di Indonesia,” terangnya.
“Dengan Islam seperti inilah maka keberadaan ideologi Aswaja ala NU bukan hanya sebagai pelengkap dalam konteks keberagamaan, berbangsa dan bernegara, namun menjadi kekuatan dominan sehingga Indonesia bisa lebih tenang,” terang Gus Halim. Karenanya tidak salah kalau saat ini Islam Indonesia akan menjadi kiblat dunia, bukan lagi negara muslim di Timur Tengah, lanjutnya.
Kendati telah memiliki kelebihan tersebut, keberlangsungan bagi Indonesia yang damai bukannya tanpa ancaman. “Kemunculan ancaman dari ISIS untuk melakukan perang terbuka dengan pihak keamanan adalah bukti bahwa keadaan bisa berubah,” ingatnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa keadaan damai seperti ini bisa tetap terjaga dalam kurun waktu yang lama, lanjutnya.
Karena itu lewat pemantapan Aswaja NU yang dilakukan para guru di lingkungan lembaga pendidikan Ma’arif adalah hal yang tidak terhindarkan. “Justru para guru dan ustadz inilah yang harus bisa menjamin keberlangsungan suasana kondusif tersebut,” katanya.
Pada kegiatan ini tampil sebagai pemateri pada sessi kedua yakni KH Marzuki Mustamar. Para peserta adalah utusan dari MWC NU dan Ma’arif se Kabupaten Jombang. Disamping mendapatkan sejumlah fasilitas, para peserta juga mendapatkan buku berjudul Dalil-dalil Praktis Amaliah Nahdliyah karya Kiai Marzuki secara gratis. (s@if)