Totalitas Mendalami Ilmu Khas Austria

0
418

Sejumlah dosen dari tanah air melangsungkan kunjungan ke Wina Austria. Salah seorang dari mereka, Zaimatus Sa’diyah, LC, MA berkisah pengalaman selama menimba ilmu di sana. Berikut selengkapnya.

Perjalanan Mendebarkan
Hari Sabtu tanggal 1 November 2014 Zaimatus Sa’diyah bersama rombongan dari Kementrian Agama berangkat ke Wina Austria. Perjalanan yang berliku dan membuat deg-degan karena visa yang sudah diajukan ke kedutaan Austria di Jakarta sejak awal bulan November tidak kunjung jelas. Dalam ketidakpastian ini banyak di antara peserta yang galau. “Bagaimana tidak? Surat tugas dari kantor sudah keluar, tetangga kanan kiri sudah tahu kami akan pergi, namun sampai sehari sebelum jadual terbang kami masih di rumah,” kata alumnus Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Nurul Jadid Paiton Probolinggo ini. Sungguh suasana yang sangat tidak nyaman. “Tapi alhamdulillah, sore hari tanggal 30 Oktober 2014, tepat 24 jam sebelum flight kami ke Wina, kabar gembira itu datang,” tandas jebolan Universitas al-Azhar tahun 2001 ini. Visa sudah keluar, dan kamipun harus segera terbang ke Jakarta, lanjutnya.

Perjalanan ke Wina menggunakan maskapai Qatar Airlines dengan rute Jakarta-Doha-Wina. “Tepat pukul 17:00 WIB kami boarding karena pesawat akan terbang sejam kemudian,” kenangnya. Baginya, perjalanan ini sangat dilematis. Di satu sisi, sangat mendukung perkembangan kualitas akademik sebagai seorang dosen. “Siapa yang tidak senang mendapatkan kesempatan berkelana ke luar negri dalam rangka meningkatkan kualitas akademik?” ungkapnya. Namun di sisi lain, ia sebenarnya sangat sedih karena harus meninggalkan suami dan anak-anak yang masih kecil. Terutama si bungsu yang masih sangat membutuhkan perhatian “Ah, rasanya selalu ingin menangis jika ingat mereka,” desahnya. Tapi ia harus kuat, dengan harapan semua bisa menjadi motivator untuk keluarga kelak. “Mereka harus bisa lebih baik dari saya, uminya,” katanya.

Keputusan untuk pergi tidak lepas dari dukungan penuh suami. Baginya, sang suami adalah laki-laki hebat. “Betapa tidak? Dia siap untuk ditinggalkan sebulan sambil mengurus anak-anak yang masih kerap tidak akur,” katanya membela. Untuk urusan dapur, keluarga ini memang punya asisten rumah tangga yang bisa diandalkan, tapi bantuannya tentu sangat terbatas. “Tahu sendiri kan urusan domestik tidak ada habisnya 24 jam,” ungkapnya. Apalagi si bungsu masih sering terbangun tengah malam untuk sekedar minta susu. Untungnya ia dan suami sudah terbiasa untuk saling membantu. Suaminya sudah akrab mencuci piring, membuatkan susu anak-anak, menyiapkan makan malam dan masih banyak lagi bantuan dan perhatiannya. “Saya menyadari ini sangat berat, tapi dia siap melaksanakannya,” terangnya.

Kembali ke perjalanannya ke Wina, deg-degan yang dirasakan tidak hanya urusan visa, karena setelah semua penumpang naik ke kabin, tidak ada tanda-tanda pesawat akan take off. Rupanya ada permasalahan teknis dengan pesawat yang dinaiki. Lampu di kabin sempat dimatikan untuk me-restart mesin pesawat. Setelah kurang lebih satu jam di atas pesawat, penumpang diminta untuk turun. “Andai tidak jadi berangkat, dapat dipastikan kami akan telantar di bandara,” kenangnya. Meski sempat shock untuk naik kembali ke pesawat lantaran mengalami masalah teknis, tapi akhirnya dia bersama penumpang lain hanya pasrah. Doa-doa dilantunkan sepanjang perjalanan, hingga akhirnya sampai di Qatar jam 1:30 waktu setempat. Telat satu setengah dari jadual semula. But its ok still have time to board for the next flight to Wina.

Kejutan dari Austria
Pesawat yang membawa rombongan dari Qatar ke Wina mulai take off jam 2:25 waktu Qatar. Setelah kurang lebih membelah angkasa selama 6 jam, kami sampai dengan selamat di Wina. “Alhamdulillah pihak Kemenag sudah mendelegasikan mbak Ningrum, mahasiswi Indonesia di Wina untuk menjemput kami di bandara dan mengantar ke apartemen,” terangnya. Wina di pagi hari sangat sepi, karena ini hari Ahad dan juga sudah mulai masuk winter time. Dinginnya sampai 4’ C. “Untungnya saya sudah mempersiapkan semuanya, jaket, kaos tangan dan juga slayer sudah siap dikenakan,” kata alumus pasca sarjana Kajian Timur Tengah Universitas Gajah Mada ini.

Setelah perjalanan satu jam menggunakan kereta bawah tanah atau disebut U Bahn dan juga naik tram line, ia sampai di Lavante Loudon Apartement. Sejumlah bangunan klasik terlihat di sepanjang perjalanan, semua tertata rapi dan bersih. Yang unik adalah rata-rata bangunan di Wina usianya sudah lebih dari dua abad. Banyak bangunan yang sudah berdiri tegak sejak abad 17 dan 18. Subhanallah, sungguh luar biasa masyarakat dan juga pemerintahan di sini bisa menjaga peninggalan nenek moyang dengan baik. “Jadi teringat kawasan kota lama di Semarang, tempat saya tinggal. Kumuh dan tidak terawat. Ada apa sebenarnya? Apa yang salah dengan masyarakat kita?,” katanya sedikit protes.

Hal lain yang menarik dari kota tua ini adalah kedisiplinan. Ya, disiplin yang diaplikasikan dalam semua aktifitas. Satu contoh, jalanan di tengah kota yang tidak terlalu lebar, hanya seukuruan jalan kampung di Indonesia, tapi bisa digunakan bersama antara bus dan trem. Belum lagi masyarakat yang benar-benar sadar akan keberadaan traffic light, seperti cerita yang didapatkan di negara maju. Tidak ada orang yang menyeberang di luar zebra cross, dan para pejalan kaki harus menunggu sampai lampu berwarna hijau. “Oh ya, para pengguna transportasi umum dengan kesadaran mereka harus membeli tiket meski tidak ada pemeriksaan,” katanya. Hukum memang benar-benar ditegakkan, sehingga semua orang sadar akan akibat dari pelanggaran aturan yang dilakukan. Kalau ada penumpang yang ketahuan tidak memiliki tiket, harus membayar denda 200 Euro, sebuah jumlah yang sangat besar.

Beberapa waktu kemudian makan di restoran halal food dekat kampus. “Kebetulan pemiliknya orang Mesir, sekalian saja pesan Tho’miyah, makanan sandwich khas Mesir yang saya sukai,” kata dosen PBA STAIN Kudus ini. Saat itu pemilik resto mengatakan bahwa dia benar-benar menemukan nilai Islam seperti yang diajarkan Rasulullah SAW di sini, di Wina bukan di Mesir, ujarnya. “Ya, tidak jauh berbeda dengan pengalaman saat bermukim di Perth, memang saya justru merasakan ajaran Islam hidup di tengah negara yang katanya kafir,” katanya sembari geleng kepala.

Hari Senin pertama, rombongan bertemu Prof. Mag. Dr. Rudiger Lohlker, Directur di Oriental Studies di University of Vienna. Ia terkesima dengannya lantaran sebagai guru besar yang low profile alias tawadlu’, serta sangat mendalami ilmu-ilmu Islam. “Bagaimana tidak? Beliau sudah menulis tentang ushul fiqh, riba, dan sangat mengerti tentang penggunaan dalil, madlul dan lainnya, padahal non muslim,” ungkapnya. Melihat hal tersebut ia jadi malu yang kadang sudah merasa cukup dengan ilmu yang hanya setitik. “Astaghfirullaah, mohon ampun ya Allah,” katanya.

Totalitas, ya itulah kata kunci dari semua pencapaian keilmuan setiap orang di sini. Mereka total dalam mendalami satu kajian ilmu. “Selain totalitas, ada satu nilai penting yang bisa dipetik dari mereka, saya menyebutnya multi talenta,” katanya. Ya, orang-orang di sini tidak hanya puas dengan satu bidang ilmu. Setelah mendalami satu bidang ilmu mereka akan mendalami bidang ilmu yang lain. Persis seperti para ulama Islam terdahulu. “Tuh kan, mereka lebih islami dari kita yang muslim,” katanya dengan tawanya yang renyah. Sepertinya, pemerintah Indonesia juga harus berpikir ulang tetkait aturan linieritas kelimuan, terutama untuk dosen seperti saya, lanjutnya. “Kian beragam ilmu yang dikuasai, sebenarnya semakin kaya dan diharapkan semakin bijak,” pungkasnya. (s@if)

Tinggalkan Balasan