Berkas Kepahlawanan Kiai As’ad Diserahkan ke Bupati Situbondo
SERAMBIMATA, Kemarin siang (30/03/2014), Forum Masyarakat Peduli Pancasila dan NKRI menyerahkan berkas pengajuan gelar Pahlawan Nasional untuk KHR. As’ad Syamsul Arifin kepada Bupati Situbondo. Penyerahan berkas tersebut dihadiri oleh Ketua DPRD Situbondo, Wakil Polres Situbondo, Ketua MUI Situbondo, PCNU Situbondo, PC Muslimat dan Fatayat Situbondo, dan puluhan kepala dinas dan tokoh masyarakat Situbondo.
Ustadz Muhyiddin Khatib memaparkan, sebenarnya gagasan usulan pengajuan gelar tersebut pernah dilontarkan oleh KH. Ahmad Siddiq, Rais Am PBNU pada hari kedua setelah Kiai As’ad wafat. Kiai Ahmad memandang, Kiai As’ad sangat layak untuk menyandang gelar pahlawan. Tapi gagasan tersebut baru diseriusi saat ini.
Sementara itu, Bupati Situbondo sangat gembira dengan pengajuan gelar tersebut. Ia juga menyampaikan pesan KHR. Kholil As’ad agar kita perlu meluruskan niat dalam pengajuan gelar tersebut. Walaupun dari pihak keluarga, sebenarnya gelar tersebut tidak terlalu penting. Karena sesungguhnya Kiai As’ad telah memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah.
Menurut kajian Forum Masyarakat Peduli Pancasila dan NKRI, peran Kiai As’ad sangat besar. Pada saat pra kemerdekaan, Kiai As’ad telah berperan menanamkan cinta tanah air dan semangat jihad melalui pendirian Pesantren Sukorejo dan Barisan Kerakyatan Pelopor (tahun 1920-an). Pelopor merupakan wadah bekas bajingan yang dibina Pesantren Sukorejo untuk dakwah dan perjuangan.
Di samping itu, Kiai As’ad telah menanamkan semangat jihad bersama ulama NU membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Setelah terbentuk Hizbullah dan Sabilillah, para Pelopor mendorong agar orang-orang di daerahnya masuk Lasykar Hizbullah dan Sabilillah.
Kiai As’ad menjadi komandan Lasykar Sabilillah di Karesidenan Besuki (1943).
Pada masa mempertahankan kemerdekaan, Kiai As’ad menempatkan Pesantren Sukorejo sebagai pusat pejuang. Pondok Sukorejo mengadakan pelatihan mubalighin oleh PWNU dan PBNU. Materinya tentang kebangsaan dan baris-berbaris (1945). Nara sumbernya, antara lain: KH. Wahab Hasbullah (PBNU) dan KH. Masykur (Komandan Sabilillah Pusat). Peserta para lasykar Sabilillah dan Hizbullah.
Kiai As’ad juga telah memimpin pelucutan pasukan Jepang di Garahan Jember (September-Awal Oktober 1945). Jepang berhasil dilucuti dan diusir. Kiai As’ad membantu pertempuran 10 Nopember di Surabaya (Nopember 1945). Mendengar pertempuran di Surabaya yang begitu dahsyat lalu Kiai As’ad mengirim anggota Pelopor dan Pasukan Sabilillah Situbondo ke daerah Tanjung Perak kemudian bertempur hebat di Jembatan Merah. Begitu pula, pengikut Kiai As’ad yang berasal dari Bondowoso, langsung menuju Tanjung Perak kemudian terlibat kontak senjata dengan Belanda di Jembatan Merah. Di sini, Kiai As’ad aktif memimpin. Dalam pertempuran Surabaya, Kiai As’ad bermarkas di rumah Kiai Yasin, Blauran IV/25. Rumah Kiai Yasin ini, memang menjadi markas para kiai yang mempunyai ilmu kanuragan tingkat tinggi. Misalnya, Kiai Gufron, Kiai Ridwan, Kiai Ali, Kiai Muhammad Sedayu, Kiai Maksum, Kiai Mahrus Ali Kediri dan beberapa kiai lainnya.
Gerakan yang lain, Kiai As’ad memimpin Perang Gerilya Karesidenan Besuki (1945-1949), antara lain: Pertama, mencuri senjata di Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso (Ramadhan 1366 H, Akhir Juli 1947). Kiai As’ad bersama beberapa anggota Pelopor mencuri senjata di Dabasah. Kemudian terlibat perang di beberapa daerah di Bondowoso.
Kedua, Belanda menyerang pertama kali ke Pondok Sukorejo (Oktober 1947). Agresi I Belanda ke Pesantren Sukorejo. Namun ketika masuk pesantren, Belanda sudah tidak menjumpai para pejuang, karena mereka sudah meninggalkan pondok pesantren. Pemimpin pasukan Belanda menjadikan Sukorejo sebagai “daerah suci” (heillige zone) yang merupakan kawasan terlarang bagi pasukan Belanda—maksudnya pasukan Belanda dilarang keras untuk memasuki daerah tersebut, walaupun untuk menangkap para tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Kiai As’ad menjadikan Sukorejo sebagai pusat perjuangan. Banyak ulama dan para pejuang dari daerah Karesiden Besuki, Probolinggo, dan Madura yang mengungsi ke Sukorejo. Menurut Kiai As’ad, sekitar sepuluh ribu pejuang yang berada di Sukorejo. Tiap hari, Kiai As’ad menyembelih 2 ekor sapi untuk lauk pauk para pejuang dan menghabiskan 480 ekor sapi.
Ketiga, Belanda Menyerang Kedua Kali Ke Sukorejo (Nopember 1948). Pasukan Belanda dibantu Cakra menyerang Pesantren Sukorejo untuk kedua kalinya. Pasukan Cakra menggeledah asrama-asrama santri dan merampok beberapa barang milik santri. Belanda menyerang lagi Sukorejo; karena pada tgl 16 Nopember 1948, Van Der Plas menggelar Konperensi Dewan Kabupaten yang diikuti “perwakilan rakyat” se-Jawa Timur di Bondowoso yang akan membentuk Negara Jawa Timur. Sebelumnya, untuk menghindari penyusupan gerilyawan, Belanda menggelar pembersihan total di beberapa daerah di Karesidenan Besuki
Pada masa kemerdekaan, Kiai As’ad mempraktikkan politik kebangsaan dan kenegaraan. Beliau mencoba terjun ke politik praktis, sebagai anggota konstituante partai NU (1957-1959).
Kiai As’ad kemudian terjun di politik kebangsaan dan tokoh di balik layar, diantaranya: sebagai Penasihat Pribadi Wakil Perdana Menteri KH. Idham Khalid (1956-1957) dalam kabinet Ali Sastroamidjojo, Penasihat Subhan ZE (politisi muda NU), dan Penasihat beberapa pengurus dan politisi NU. Kiai As’ad juga ikut terlibat dalam pembentukan Majelis Ulama Indonesia (1975).
Kiai As’ad Sebagai mediator umat dan umara. Kiai As’ad menghadap Presiden Suharto untuk menyampaikan keresahan umat soal buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam buku PMPyang diajarkan di sekolah disebutkan: Bahwa semua agama pada hakikatnya sama baiknya atau sama benarnya. Kalimat inilah yang membuat kalangan umat Islam resah, begitu pula warga Nahdliyyin. Tanpa banyak bicara, Kiai As’ad mendatangi Presiden Soeharto. Kiai As’ad mengharap, supaya Presiden Soeharto kelak menjadi husnul khotimah. Kiai As’ad pun memaparkan bahwa umat Islam sekarang sedang resah karena merusak akidah. Beberapa waktu kemudian, buku tersebut mengalami revisi dengan redaksi: Bahwa semua agama pada hakikatnya sama baiknya menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing
Dalam peneguhan Asas Tunggal Pancasila melalui Munas dan Muktamar NU (1983-1984, Kiai As’ad menjadi aktor utama dibalik penerimaan asas tunggal Pancasila. Di samping itu, Kiai As’ad juga sebagai tuan rumah Munas dan Muktamar.
Dalam bidang pendidikan, Kiai As’ad telah mengembalikan pesantren ke khittah-nya. Di antaranya, Mendirikan Perguruan Tinggi, Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy (UNNIB), Mendirikan “Sekolah Umum”: ingin menyantrikan siswa, mewajibkan siswa sekolah umum merangkap madrasah diniyah, dan Mendirikan Lembaga Kader Ahli Fiqh atau Ma’had Aly li al-‘Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh atau yang populer disebut Ma’had Aly (21 Pebruari 1990).
Sumber : http://sukorejo.com/