Surabaya, Cyberdakwah — Dulu, kehebatan Nadlatul Ulama dilihat dari kualitas pemimpinnya. Bukan semata megahnya tempat ibadah, lembaga pendidikan maupun pesantren hingga layanan ekonomi dan kesehatan. Momentum muktamar hendaknya mengambalikan seleksi kepengurusan kepada pribadi yang memiliki kualitas.
Prof Dr KH Ali Maschan Moesa menandaskan bahwa capaian yang harus menjadi titik tekan pada muktamar kali ini adalah kualitas keislaman warga dan pengurus NU. “Karena NU adalah ulama, yang mana titik tekannya justru kepada kualitas ibadah, keikhlasan yang berujung pada masing-masing personal,” katanya, Ahad (15/3/2015).
Guru besar Universitas Islam Negeri Sunam Ampel Surabaya ini justru mengkhawatirkan kalau seleksi kepengurusan di NU ternyata tidak lagi mengindahkan kualitas. “Saya malah mengkhawatirkan hal ini justru akan menimbulkan kekeroposan di NU sendiri,” ungkapnya.
Hal ini juga sama seperti ketika banyak takmir yang membanggakan biaya renovasi masjidnya dengan angka yang fantastis. “Tapi coba tanyakan, siapa saja yang istiqamah melaksanakan shalat jamaah lima waktu di masjid tersebut,” terang Wakil Rais PWNU Jatim ini.
Karena itu yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh NU adalah bagaimana bisa memperbaiki kualitas orangnya, dalam hal ini adalah para pengurus yang dipilih.
“Mungkin para pengurus tidak bisa mencontoh secara utuh sosok KH Hasyim Asy’ari yang demikian ikhlas,” kata mantan Ketua PWNU Jatim dua periode ini. Demikian juga bagaimana sosok KH Abdul Wahab Chasbullah yang dengan uangnya sendiri mampu mendatangi sejumlah kiai di Tanah Air untuk diajak bergabung dengan NU, lanjutnya.
Bayangan Pak Ali, sapaan akrabnya, bagaimana orang NU tidak semata membanggakan kulit, namun substansinya ternyata keropos. “Soal banyaknya kampus NU yang diminati warga, itu adalah wadah,” sergahnya. Namun dalam setiap pembicaraan, nyaris tidak ada yang mencoba membincang kualitas.
“Karena itu yang sangat mendesak untuk dirumuskan adalah bagaimana orang NU yang berkualitas tersebut?” katanya. Karena yang dinamakan dengan NU adalah organisasi yang di dalamya adalah ada sejumlah orang yang terlibat sebagai pengurus, lanjutnya.
Bagi Pengasuh Pesantren Mahasiswa “Al-Husna” Surabaya ini, sudah saatnya mulai didefinisikan secara jelas siapa warga dan pengurus NU yang sebenarnya. Jangan sampai semua orang mengaku sebagai orang NU namun perilaku yang ditampilkan ternyata jauh dari kriteria sebagai ulama.
Padahal definisi dasar dari ulama adalah harus ikhlas, memiliki kualitas keilmuan yang mumpuni, selektif dalam mencari nafkah, menjaga perilaku, konsisten dalam ibadah, serta memiliki kepedulian dengan lingkungan sekitar.
Pak Ali mengajak semua kalangan untuk menggali ulang prosesi pendirian NU yang disimbolkan dengan banyak hal. “Komitmen awal NU adalah spiritualitas, juga ditambah dengan komitmen keagamaan dan kebangsaan serta kerakyatan,” pungkasnya. (s@if)