Agus Sunyoto: Canggihnya Keilmuan Walisongo Dipersempit Hanya Pada Tataran Fiqih
Halaqah Islam Nusantara yang diselenggarakan Pascasarjana STAINU Jakarta menghadirkan Sejarawan dan pakar Islam Nusantara Ki Agus Sunyoto, Jum’at (17/4) sore di Kampus STAINU Jakarta Jl Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat. Forum ini adalah pertemuan kedua, setelah pertemuan pertama menghadirkan Budayawan, Dr Zastrouw al-Ngatawi. Halaqah ini berlangsung setiap hari Jum’at dengan narasumber yang berbeda.
Dalam uraiannya, penulis buku Atlas Waliongo ini mengungkapkan, bahwa keilmuan Islam Nusantara yang dibawa oleh ulama-ulama Islam abad 14-15 sangat banyak. Di sini, pesantren sebagai lembaga pendidikan peninggalan Walisongo telah mempersempitnya hanya pada tataran ilmu fikih pada abad 17. Menurutnya, hal ini merupakan malapetaka yang luar biasa.
“Padahal tidak seperti itu. Kita ambil contoh ketika Portugis datang ke Malaka tetapi tidak berani ke Jawa, karena mereka tahu, Jawa saat itu teknologinya sudah tinggi, mampu membuat meriam-meriam ukuran besar, bedil, dan berbagai alat tempur seperti kapal perang, dan lain-lain,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang ini dihadapan para dosen Pascasarjana dan mahasiswa yang hadir.
Jika kita perhatikan, lanjutnya, ilmu-ilmu yang dibawa Walisongo merupakan kelanjutan keilmuan sebelumnya. Menurutnya, ada tiga aspek keilmuan yang dibawa oleh para Walisongo.
“Pertama Nalar, pengetahuan ini hanya pada tataran materi, sifatnya analitis-spekulatif, kedua disebut kawruh dari kata-kata weruh, itu pengetahuan yang bersumber dari hati, sifatnya intuitif, yang ketiga sebagai faktor penyeimbang disebut langu, imajinasi, itu ada di angan-angan, pengetahuan ini pengembangan dari nalar,” papar salah satu Dosen Pakar di Pascasarjana STAINU Jakarat ini.
Jadi, tambahnya, ilmu orang-orang zaman kuno yang dikembangkan oleh Walisongo, sumbernya dari ketiga aspek itu, karena itu semua mempengaruhi bentuk pengetahuan yang tumbuh di era itu.
Wakil Ketua PP Lesbumi NU ini kembali menerangkan, dari ketiga aspek tersebut, muncullah berbagai ilmu seperti pertukangan, filologi, palalindon atau ilmu tentang gempa, ilmu sosial, desain pakaian atau busana, matematika, astronomi, astrologi atau nujum, medis atau usada, metalurgi atau ilmu pengecoran baja dan besi, misalnya dalam pembuatan keris, bedil dan meriam. Kemudian ilmu fisionomi atau ilmu katuranggan. Ilmu ini baru dikembangkan abad 20 untuk mengetahui karakteristik manusia.
“Sejak zaman itu sudah sebegitu canggihnya. Dari ilmu matematika dan astronomi mengahsilkan kalender. Kalender itu dalam itungan Walisongo mencakup jam, hari, tanggal, minggu, wuku (satuan bulan), satuan tahun. Dari jam saja, misalnya, mencakup beberapa komponen yang sangat kompleks yang dirumuskan oleh Walisongo sendiri melalui fenomena alam, misal jam 00.00 disebut lingsir wengi, jam 03.00 disebut jago kluruk, dan lain sebagainya,” urainya panjang lebar.
Sebelumnya, dalam pembukaan, Direktur Madrasah Kemenag RI, Prof Dr Nurkholis Setiawan yang hadir pada kesempatan itu mengatakan, bahwa pendalaman struktur keilmuan kajian Islam Nusantara di Pascasarjana STAINU Jakarta dapat diambil dari pembelajaran yang dilakukan oleh, Mbah Bonang (Sunan Bonang) ketika mendidik Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) dengan prinsip ‘Murni’.
“Ternyata prinsip ini mempunyai makna yang agung melalui kepanjangannya, yakni ‘Marsudi Urip Rukun Nuju Nur Alam Cahyaning Sejati’. Artinya, kekuatan dalam dimensi horisontal yang dilandasi spiritualitas iman,” terang Guru Besar bidang Tafsir ini.
Dalam halaqah kali ini, hadir beberapa dosen pascasarjana Islam Nusnatara STAINU Jakarta diantaranya, Dr Radhar Panca Dahana, Dr Rumadi, Dr Mamat Burhanuddin, Arif Zamhari, PhD, Deni Hamdani, PhD, Dr M Ulinnuha, dan Dr Sa’dullah Affandy.
Sumber : NU Online