Menikah Itu Bukan Ngasih Koin Ke Pengemis
Ta’aruf sudah. Khitbah sudah. Yang mungkin bisa terjadi setelah khitbah adalah kamu menghentikan proses tersebut. Pasalnya, selama proses menuju pernikahan itu kamu melihat hal-hal yang membuat pintu hati seperti digembok dengan rapat. Seakan tidak mendapat cahaya apapun, boro-boro cahaya, sinyal wifi saja nggak dapat (lah?!). Bisa jadi pula, kamu melihat alasan-alasan logis yang dengan tegas menunjukkan nggak adanya kecucokan.
Mengalami hal ini?
Bila kamu mengalami hal ini maka hendaklah kamu bermusyawarah, berunding dengan orang bijak yang terpercaya, yang dapat mempertimbangkan semua itu. Bisa ustadz, bisa murabbi kamu, bisa dengan kakak perempuan atau dengan nenek perempuan kamu (lho, emang ada nenek laki-laki?). Jika memang semua pertimbangan mengarah pada tidak dilanjutkannya proses tersebut ke jenjang pernikahan maka kamu nggak harus melanjutkannya, apalagi kalau atas dasar “gue kasihan”.
“Bagaimana mungkin aku meninggalkannya setelah dia berpinangan denganku? Bagaimana nantinya?”
“Setelah sekian lama pinangan, bagaimana aku bisa mengakhiri semuanya? Apa yang akan dikatakan orang-orang apabila aku meninggalkannya setelah usianya sekian dan sekian?”
Buang, buanglah pikiran seperti itu. Jika seperti ini, kamu harus kedepankan pertimbangan akal. Bagaimana rasanya, kamu harus berani mengakhirinya bila memang itu yang terbaik. Sebab bisa jadi, rasa sakit akibat perpisahan sekarang nggak ada apa-apanya, nggak sebanding dengan petaka yang akan terjadi setelah pernikahan nanti—apalagi kalau sudah punya anak.
Imam Al-Banna pernah mengatakan, “Kendalikan dorongan perasaan dengan kekuatan akal, dan nyalakan pandangan akal dengan luapan perasaan.”
Bila kamu mengambil kata perpisahan setelah akad nikah, itu berarti kamu telah membuatnya menjadi janda dan kamu pun telah berstatus duda. Padahal, status tersebut memiliki sejumlah konsekuensi yang nggak ringan di tengah masyarakat. Berat banget. Maka dari itu, jangan menikah karena kasihan karena menikah itu bukan ngasih koin ke pengemis yang didasarkan rasa kasihan.
Sumber : Bersama Dakwah