NU dan Kemandirian Ekonomi Pertanian
Ekonomi pedesaan terutama di bidang pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbanyak dalam negara berkembang seperti Indonesia. Badan Pusat Stastik (2013) menyebutkan bahwa 45% penduduk di Indonesia bekerja di sektor pertanian lalu diikuti 23.5% di sektor Industri dan sisanya bekerja di sektor perdagangan dan jasa.
Pembangunan pertanian di pedesaan tidak lepas dari kelembagaan yang berperan sebagai penyokong dari hulu hingga hilir agribisnis pertanian. Kelembagaan pedesaan ini terdiri dari aparat pemerintah desa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (Ormas), paguyuban, dan sebagainya.
Kelembagaan ini berperan besar dalam menentukan kemajuan ekonomi di pedesaan yang didominasi oleh pertanian, seperti penyediaan modal produksi, pengadaan bibit unggul, pembangunan irigasi dan pemasaran produk pertanian. Karena hal tersebut maka dibutuhkan kelembagaan yang berperan dalam menyokong faktor produksi pertanian tersebut.
Kelembagaan dalam menyokong hal tersebut haruslah memiliki kedekatan psikologis dengan para masyarakat desa, hal ini dikarenakan faktor pendidikan yang umumnya masih rendah di pedesaan sehingga mereka hanya percaya dengan para pemuka desa seperti para kyai atau Ulama, sehingga tepat bila Nahdlatul Ulama yang beranggotakan para alim Ulama menjadi sebuah lembaga yang menaungi seluruh faktor penyokong pertanian.
NU dan pembangunan pertanian
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi masyarakat yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari pada tahun 1926 dan salah satu tujuan berdirinya NU yaitu menyejahterakan para petani desa.
Hal ini sesuai dengan salah satu khittah dalam statue NU fatsal 3 yaitu “Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara” sehingga jelas bahwa pasal 3 tersebut merupakan tugas NU dalam memajukan pertanian di pedesaan.
Dengan demikian, NU serta perangkatnya akan berperan aktif dalam pembangunan pertanian di pedesaan dengan para ulama, santri dan para masyarakat desa secara bergotong royong dari penyediaan modal hingga pemasaran produk pertanian yang dihasilkan.
Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak lepas dari berdirinya tiga tiang penyangga awal, yaitu Nahdlatul Wathan (Kebangkitan bangsa), Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Ekonomi kecil), dan Taswirul Afkar atau yang dikenal dengan Nahdlatul Fikr (Kebangkitan Pemikiran). Dengan demikian NU bukan hanya berdiri sebagai organisasi keagamaan dalam arti sempit, namun memperhatikan pula kesejahteraan ekonomi para jam’iyahnya.
Nahdlatut Tujjar didirikan oleh 45 orang Saudagar santri serta dua orang Kyai berpengaruh yaitu KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asyari diatas permasalahan sosial ekonomi yang terjadi pada tahun 1918.Nahdlatut Tujjar memiliki visi misi untuk mengangkat kualitas kehidupan masyarakat dalam perekonomian, serta memerangi kolonialisme yang telah melahirkan aneka bentuk eksploitasi dan penindasan di sisi lainnya.
Berdirinya Nahdlatut Tujjar telah mengenal struktur organisasi modern yaitu KH. Hasyim Asyari dipilih sebagai kepala perusahaan, KH. Wahab Chasbullah dipilih menjadi direktur perusahaan, H. bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.
Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan.
Strategi pembangunan ekonomi pertanian
Setelah beberapa lama akibat kompleksnya permasalahan sosial dan keagamaan pada maa perjuangan kemerdekaan maka Nahdlatut Tujjar tidak memiliki peranan penting sebagaimana awal berdirinya. Sehingga pada tahun 1937 KetuaTanfidhiyah NU KH. Mahfoedz Shidiq mendirikan koperasi Syirkah mu’awwanah untuk memperkuat modal para petani di pedesaan. Kehadiran koperasi ini berupaya membuka jaringan perdagangan antar pesantren yang banyak menghasilkan produk-produk pertanian dan usaha-usaha kecil lainnya.
Pada saat itu pesantren memproduksi barang-barang sederhana seperti pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain diperkenankan memasarkan barangnya dengan nama “Nahdlatul Ulama”, dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya mereka harus mamberikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Kiai didorong madirikan toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan di pesantren; departamen ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan bisnis mereka, dan para usahawan didorong menjual barang-barang mereka ke toko-toko ini dengan persyaratan yang lebih mudah. Dalam perkembangannya di era reformasi, syirkah mu’awwanah ini berkembang menjadi Baitul Maal wa ta’mil Syirkah Mu’awwanah Nahdlatul Ulama (BMT SM NU) yang bergerka di banyak sektor selain pertanian.
Kekuatan perekonomian NU sebenarnya terletak pada potensi pengembangan kemandirian pesantren yang terintegrasi menjadi suatu wadah dalam NU. Pesantren yang secara kultural maupun struktural berada dibawah NU jumlahnya sangat banyak dan tersebar diseluruh penjuru Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Kemandirian pesantren sejak berabad-abad yang lalu menunjukkan bahwa pesantren telah memiliki basis ekonominya secara mandiri.
Namun perlu diakui juga bahwa kemampuan ekonomi pesantren masih bersifat tradisional, kecil dan mayoritas pada sektor pertanian tradisional. Pesantren tidak hanya mendidik ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, namun juga memberikan skill-skill untuk mengembangkan ekonomi, khususnya dalam bertani, berternak dan berdagang melalui koperasi pesantren. Sehingga selepas dari pesantren, para santri dapat hidup mandiri dengan bertani, berternak, atau menjadi pedagang kecil.
Seiring dengan perkembangan zaman, sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya dengan memperluas basis ekonominya melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi produksi. Intensifikasi produksi dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi modern dan hasil-hasil penelitian dalam pengembangan unit-unit produksinya yang kebanyakan masih tradisional.
Ekstensifikasi dilakukan dengan membuka diri pada peluang-peluang produksi lain yang sangat dibutuhkan oleh para santri dan masyarakat. Sehingga pesantren dapat menjadi basis pengembangan ekonomi umat.
Hal yang harus dilakukan oleh pesantren dalam mewujudkan hal tersebut yaitu, pertama, pesantren harus membuka diri terhadap perkembangan teknologi dan hasil-hasil penelitian dalam pengembangan ekonomi.
Kedua, pesantren mesti menyediakan sumber daya yang memadai melalui pelatihan-pelatihan bagi santri dalam berbagai bidang garapan ekonomi di pesantren maupun di luar peasantren, sehingga karya para santri memiliki daya saing yang tinggi di pasar luas.
Ketiga, membangun jaringan ekonomi antar pesantren, santri sebagai alumni pesantren, masyarakat dan pemilik modal. Jaringan ekonomi antar pesantren selain memberikan keuntungan secara ekonomi, juga mampu meningkatkan hubungan kerjasama diantara pesantren. Banyaknya jumlah pesantren dengan ribuan santri tentu banyak kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak mungkin dapat disediakan sendiri oleh pesantren tersebut.
Oleh karenanya jaringan ekonomi pesantren akan dapat menyediakan informasi produksi dan kebutuhan diantara pesantren sehingga pasar dan distribusi produksi ekonomi dari pesantren akan semakin luas. Dengan demikian pesantren akan semakin kuat dan mandiri, yang pasti juga akan dirasakan oleh para santri maupun alumni. Tingkat ketaatan dan keeratan ikatan emosional antara pesantren dengan alumni dapat memberikan keuntungan untuk semakin memperluas jalur distribusi dan pengembangan pasar, sehingga alumni dapat menjadi penghubung antara pesantren dengan masyarakat.
Yang terakhir, kerja sama dengan pemilik modal menjadi bagian penting dalam pengembangan ini, karena selama ini ekonomi santri hanya dibangun dengan keterbatasan modal.
*Muhammad Mulya Tarmiz, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Sumber : NU Online