Untuk Apa Kuliah Tinggi, Kalau Ujung-Ujungnya ke Dapur, Sumur dan Kasur?

0
492

Untuk Apa Kuliah Tinggi, Kalau Ujung-Ujungnya ke Dapur, Sumur dan Kasur?

Suatu hari seorang anak perempuan, mahasiswi tingkat akhir di sebuah Universitas di Jakarta dalam percakapan rutinnya dengan sang Ibu via telepon menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata 2 (S2). Seperti ini percakapan yang terjadi di antara mereka.

“Kalau adek sudah selesai kuliah, nanti pulang ke rumah, ‘kan?”, tanya sang Ibu.

“Belum tahu, Ma.. Adek ingin lanjut S2, kalau bisa. Boleh ya?”, pinta sang anak.

“Mau kemana lagi, dek? Mau ambil gelar apa lagi?”, tanya ibunya lagi.

“Gelar Master, Ma.. Boleh ya?”, ucap sang anak.

“Kenapa sekolah tinggi-tinggi? Buat apa? S1 aja nggak cukup, ya? Memang mau kerja dimana nantinya?”

“Kalau bisa kerja di rumah sambil mendidik anak, Ma.”

“Lah, terus buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau ujung-ujungnya balik ke dapur, sumur, kasur?”

“Tapi, Ma.. mendidik anak itu butuh ilmu.. nggak bisa disepelekan, susah.”

“Mama yang bukan lulusan pendidikan tinggi saja bisa melahirkan dan mendidik anak seperti kamu. Kamu ini, masih muda sudah berani nasehatin orang tua, Mama ini lebih banyak pengalamannya dari kamu, dek.”

Dan percakapan pun berakhir.

Oke, dari percakapan di atas, apa yang bisa digarisbawahi?

Mendidik anak membutuhkan ilmu.

Seperti yang dikatakan oleh Ayah Edy dalam buku Orang Tuanya Manusia karangan Pak Munib Chatib, yang kurang lebih seperti ini, “Mau jadi pilot, ada sekolahnya, jadi dokter, engineer, atau guru juga ada sekolahnya, tapi jadi orang tua, belum ada sekolahnya.”

Dalam buku yang sama, Elly Risman Musa, S.Psi, seorang psikolog juga menuturkan bahwa kita semua ternyata tidak siap menjadi orang tua. Kita terdidik untuk menjadi ahli di bidang tertentu, tapi tidak untuk menjadi ayah-ibu bagi anak-anak, sedangkan ilmu dan teknologi berkembang dan generasi masa depan berbeda tipe dengan generasi masa lampau.

Coba bayangkan, jika seorang dokter nekat mengobati pasien tanpa memiliki ilmu, apa kira-kira yang akan terjadi? Malpraktik (hii.. serem!). Atau jika seorang pilot nekat menerbangkan pesawat tanpa tahu ilmunya, apa kiranya yang akan terjadi? Besar kemungkinan akan berakhir seperti kecelakaan maut pesawat terbang yang kita saksikan di berita beberapa bulan silam. Padahal itu saja pilotnya sudah punya jam terbang tinggi. Nah, bagaimana dengan kita, yang hanya bermodal nekat dalam mendidik anak? Terlebih di dunia yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan (liberalisme) dan pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) seperti saat ini, kira-kira generasi masa depan seperti apa ya yang akan terbentuk?

Sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, yang tertera dalam firman-Nya Q. S. at-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Berdasarkan ayat di atas, tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak tidak mutlak hanya dibebankan pada kaum lelaki, tetapi juga perempuan. Istri yang menjadi ibu merupakan elemen utama dalam amalan ini. Rumah tangga merupakan benteng akidah Islam, yang mana tidaklah cukup hanya Ayah yang bertugas menjaganya dari serangan paham liberalisme dan sekulerisme yang semakin menggurita di berbagai belahan dunia. Peran ibu juga dibutuhkan di sini. Bahkan amat penting karena mereka-lah pondasi utama demi terbentuknya generasi cemerlang dambaan umat manusia. Perempuan dalam pandangan Islam merupakan ummu wa robbatul bayt (ibu dan pengurus rumah tangga) dan sekaligus menjadi madrasah pertama (madrasatul ‘ula) bagi anak-anaknya.

Bagaimana mungkin seorang ibu akan dapat menjadi benteng akidah Islam yang kokoh bagi anak-anak dan keluarganya jika tidak memiliki ilmu untuk mengatasi segala macam bahaya dan racun pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat di akhir zaman ini?

Selain itu, tak bisa dipungkiri, sebagian besar dari kita tentu berharap dapat memiliki anak yang shaleh, cerdas, berbakti kepada orang tua dan menjadi kebanggaan di masa depan. Tanpa ilmu yang memadai, harapan-harapan ini hanya akan menjadi angan-angan tanpa realisasi. Cita-cita membutuhkan usaha untuk dapat mewujudkannya. Dalam hal ini, hukum sebab-akibat berlaku. Ingin anaknya cerdas, ya ibunya juga harus cerdas. Meskipun banyak fakta lapangan yang kita temui, bahwa tidak semua perempuan berpendidikan tinggi dapat melahirkan anak-anak yang cerdas di kemudian hari. Bagaimana tidak? Dengan status berpendidikan tinggi tersebut, mereka lebih memilih untuk bekerja, mengorbankan anak-anak dengan menyerahkan perihal pengasuhan dan pendidikan kepada baby sitter, nenek-kakeknya atau day care dan sekolah-sekolah yang mereka anggap mampu untuk mendidik. Akhirnya tugas mendidik anak terbengkalai begitu saja.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orang tua yang meninggalkan mereka dan tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya.”

Lah terus, kalau pendidikan kita S1 atau S2, apa tidak boleh bekerja atau berkontribusi mengamalkan ilmu di tengah masyarakat, begitu?

Boleh, tentu saja boleh. Asalkan perempuan tidak melalaikan tugas utamanya di dalam rumah sebagai ummu wa robbatul bayt serta madrasatul ‘ula tadi. Mendidik anaknya dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang. Memangnya mau anak-anak kita menjadi generasi masa depan yang rusak karena kelalaian kita dalam mendidiknya? Tentu saja tidak, ‘kan?

Sumber : Gaul Fresh

Tinggalkan Balasan