Istri Bukan Tukang Cuci

0
659

Istri Bukan Tukang Cuci

Seorang teman saya, laki-laki, pernah mengatakan satu hal yang saat itu membuat saya tercenung, karena tak pernah terpikir oleh saya bahwa ia akan mengatakan hal itu. Saat itu, kami beramai-ramai sedang ngobrol  santai sambil menunggu dosen masuk kelas. Obrolan merambah ke barbagai hal hingga tentang pernikahan. Di tengah obrolan itu saya sempat melontarkan kalimat gurauan, “Udah… habis lulus kamu nikah aja. Biar ada yang nyuciin tuh baju…”. Gurauan saya disambut senyum geli teman-teman lain. Tetapi tidak dengan teman yang menjadi sasaran gurauan saya tersebut.

“Enggak, aku nggak seperti itu. Kalau cuma buat nyuci aja aku bisa beli mesin cuci.”

Saat itu saya belum menangkap ke mana arah jawabannya itu. Saya pikir, ada benarnya kalau dia mempu beli mesin cuci, ya biar beli saja. Saya tak menyangka jawaban itu masih ada kelanjutannya.

“Seorang istri itu bukan pembantu yang bisa kita manfaatkan buat nyuci, ngepel, dan lain-lain. Seorang istri itu pendamping, bukan tukang cuci.”

Astaghfirullah… saya baru menyadari bahwa kalimat gurauan saya tentang istri yang bisa mencucikan  bajunya ternyata mendapatkan tanggapan serius, dan justru memberi saya wawasan baru tentang paradigma pernikahan. Dan hal itu diucapkan oleh seorang laki-laki.

Namun setelah kami sama-sama lulus, perjalanan nasib yang berbeda dan waktu yang seakan berputar cepat telah membuat saya hampir lupa dengan kalimat teman saya tersebut. Takdir menempatkan saya sebagai seorang ibu dan istri, seperti yang terjadi pada rumah tangga lainnya, di mana tugas saya memang berkisar pada pekerjaan domestik yang tak ada habisnya. Apalagi setelah kelahiran anak ke dua, saya memilih untuk fokus di rumah mengurus rumah dan anak-anak.

Ternyata apa yang menjadi bayangan saya, bahwa pekerjaan rumah tangga adalah surga wanita, tak selamanya terasa seperti itu. Tiba-tiba saja saya merasakan satu kejenuhan  dan merasa bahwa saya harus merubah semua yang sudah berjalan. Saya merasa tak memiliki kekuatan apa pun, atau sesuatu yang bisa dibanggakan. Sementara pekerjaan tak ada habis-habisnya, takut tak mampu mengerjakan dengan baik, takut salah, takut dicela suami jika satu hal belum beres saya kerjaan, meski suami tak sering menegur.

Timbul pertanyaan di hati saya:

Benarkah ini jalan hidup yang harus saya jalani seumur hidup saya?

Benarkah saya sudah harus berpuas diri dengan pekerjaan domestik saja tanpa ada kegiatan lain?

Benarkah takdir saya cukup sampai di dalam rumah dan anak-anak saja?

Tidak bolehkah saya menjadi sesuatu, atau memiliki prestasi yang bisa membuat saya terhibur di samping menjadi ibu rumah tangga?

Benarkah saya tak memiliki kemapuan apa-apa selain mencuci, menjaga anak, dan beres-beres rumah?

Benar, saya mengalami perasaan seperti dalam kurungan waktu itu. Meski sesungguhnya di rumah adalah pilihan saya setelah pernah bekerja di luar rumah yang memang menyita waktu. Saya seolah akan meledak.

Saat itu apa yang saya lakukan? Saya menelepon seorang Guru Bahasa Indonesia, dan menanyakan apakah saya bisa mengikuti kegiatan grup teater yang beliau kelola. Namun beliau lebih menyarankan saya untuk menulis saja dan mengirimkan ke media, karena untuk latihan teater harus meninggalkan rumah dan kadang sampai malam, padahal saya mempunyai bayi.

Mungkin karena Allah mendengar jeritan hati saya, atau memang ini sudah menjadi sebagian dari skenario-Nya untuk hidup saya, saya berkesempatan menjadi seorang penulis meski belum melanglang buana di media. Dan… di sinilah titik balik dari semuanya,  hidup saya berubah.

Bukan berarti saya tak lagi mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi saya merasa memiliki sesuatu yang bisa saya jadikan sarana berkarir, berkreasi, berbagi, dan menghibur diri. Saya pun merasa bahwa suami makin bangga dengan istrinya yang ternyata bisa berprestasi meski  belum seberapa. Bukan tentang rupiah, tapi tentang “profesi lain” selain ibu rumah tangga, yang tak pernah ia sangka bahwa saya bisa melakukannya.

Saat ini, pekerjaan domestik tetap saja penting, tapi bukan hal utama yang bisa memicu pertengkaran atau menjadi beban saya hidup saya. Rumah berantakan tak lagi menjadi kerisauan bagi saya, yang penting anak-anak makan. Tidak meyetrika tak apa jika isa dilimpahkan pada orang lain. Tetapi saya mencuci, memasak, meladeni makan anak-anak dan suami, dengan perasaan bahagia.

Saya juga sadar, untuk menuju pada kondisi seperti ini, dulu juga butuh proses. Proses bagi saya sendiri, proses bagi suami, dan juga anak-anak. Kami saling memahami  dan menghargai kondisi  serta profesi masing-masing, sehingga saya masih leluasa menulis di antara pekerjaan-pekerjaan domestik itu. Dengan catatan, saya harus bisa memprioritaskan mana yang lebih penting. Saya sangat bersyukur, suami saya sangat mendukung dan siap sedia membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga kami.

Dan pada suatu ketika saya dihadapkan pada kejenuhan itu lagi, saat mesin cuci saya mati. Saya harus mencuci manual, sementara anak-anak butuh perhatian dan rumah berantakan. Saya bingung harus mulai dari mana mengerjakan semuanya. Tiba-tiba ingatan saya seakan terlempar pada bertahun-tahun silam di kampus, tentang kalimat teman laki-laki saya, “Istri bukan tukang cuci, kalau hanya untuk mencuci aku bisa beli mesin cuci atau nyuruh orang lain.” Saya tersenyum mengigat kalimat itu. Dan suami saya memang sebelumnya sudah menawarkan, “Nanti biar aku saja yang nyuci, kamu yang lain aja…”

Saya makin tersenyum lebar dan bersyukur memiliki suami yang sadar sepenuhnya bahwa seorang istri bukanlah sekedar  “konco wingking” (Bahasa Jawa:  teman belakang), tetapi pasangan hidup, partner dalam mengarungi samudera kehidupan, yang harus sama-sama saling  menghargai profesi, keahlian, hobi, bahkan selera masing-masing. Itulah cinta yang sesungguhnya. Saya masih suka mencuci, dan memang setiap hari mencuci. Tetapi saya mencuci dengan penuh cinta kepada suami dan anak-anak, bukan karena suami memberi tugas saya sebagai seorang tukang cuci. Saya mencuci dengan penuh cinta karena suami benar-benar menghormati dan menghargai saya sebagai seorang istri, bukan sebagai pembantu rumah tangga. Ahamdulillah…

Mencuci hanyalah salah satu dari seabreg kegiatan dalam rumah tangga, dan penulis hanyalah salah satu contoh profesi yang bisa digeluti seorang istri. Tapi dari pengalaman saya tentang mencuci dan menulis, mewakili kondisi ideal yang seharusnya ada pada sebuah rumah tangga. Bahwa, seorang istri meski memilih di rumah, sudah sepantasnya dihargai sebagai seorang manusia yang setara, yang butuh diajak berdiskusi, membuat kesepakatan-kesepakatan, dan pembagian pekerjaan rumah. Bukan otomatis semua pekerjaan rumah adalah beban istri seumur hidup. Seorang istri punya perasaan, punya otak untuk berpikir, punya kemampuan dan kreatifitas, maka selayaknya suami mempertimbangkan hal itu jika selama ini berpikir bahwa “istri adalah tukang cuci”.

Sumber : Ummi Online

Tinggalkan Balasan