Siapa Bilang Muslim Tidak Boleh Memikirkan Masa Depan?
Jika berencana di bilangnya panjang angan.
Terlalu duniawi.
Kalau ditanya tentang eh ntar gimana?
Ya gimana ntar aja.
Sebenarnya panjang angan itu yang gimana sih?
Kebayang gak kalau Nabi di tanya para sahabat.
“Wahai Nabi bagaimana perjuangan kita nantinya?”
Terus Nabi jawab. Ya gimana ntar aja. Anyep gak sodara sodara..
Pernah saat perang Khandaq, 10 ribu pasukan kafir Quraisy akan melawan 3 ribu pasukan muslim.
Sehingga atas strategi Salman Al Farisi.
Di buatlah parit parit.
Logikanya jika 10 ribu melawan 3 ribu.
Bisa jadi akan ciut nyali.
Mungkin sahabat yang pesimis akan bertanya.
Menang gak nih? Waah kalah nih? Mati gua.
Tapi para sahabat merupakan orang yang optimis luar biasa.
Saat menggali parit. Panas terik.
Telah jelas kalah jumlah.
Mereka malah bertanya apa pada Nabi?
Kota manakah yang akan takluk lebih dahulu wahai Nabi, Roma atau Konstantinopel?
(Optimist banget kan)
Nabi dengan tegas menjawab
“Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dulu,
yaitu Konstantinopel”
(HR Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim)
Dan setelah mendengar jawaban itu, para sahabat lebih bersemangat lagi perjuangan mereka.
Mereka bisa bergembira di tengah kesulitan.
Tapi coba kalau Nabi penganut “gimana ntar”.
Mana yang akan takluk lebih dulu wahai Nabi. “Ya gimana ntar aja deh”.. wuaduh…
Salah satu ciri pemimpin itu dia punya visi.
Yang bisa jadi tidak terlihat.
Entah saking jauhnya visi itu atau saking amazingnya visi itu.
Tapi sangat ia yakini.
Ia berusaha lalu bertawakal di atasnya.
Bukan yang semena mena ceroboh tidak memikirkan masa depan sama sekali.
Al Qur’an tak pernah jadi mushaf jika para sahabat tidak memikirkan bagaimana keberlanjutan generasi selanjutnya.
Dan ulama’ tidak akan repot menulis tentang ilmu agama yang di wariskan ke generasi selanjutnya jika segala sesuatu “gimana ntar aja”.