–Tak ada kerajaan Islam di Jawa Timur. Fakta ini turut mengondisikan agama Islam di wilayah ini berkembang secara berbeda dari wilayah lain di Jawa. Kerajaan Majapahit dan keruntuhannya ternyata menjadi puncak tahta dan senjakala kekuasaan Hindu-Buddha di Jawa.
Setelah Majapahit tamat, kerajaan-kerajaan Islam berdiri di Jawa Tengah (Demak), Yogyakarta (Mataram) dan Jawa Barat (Cirebon dan Banten). Kerajaan-kerajaan Islam ini menjadi sumber legitimasi politik dan kekuasaan atas perkembangan agama Islam di Jawa misalnya melalui misionaris Islam dari kalangan wali dan sunan yang dekat dengan kekuasaan kerajaan.
Seusai era Majapahit, Jawa Timur tak lagi menjadi pusat kekuasaan kerajaan dan wilayah ini berada di pinggiran yang perkembangan masyarakatnya lebih bebas dari jangkauan politik dan kekuasaan, termasuk perkembangan agama Islam.
Jombang merupakan wilayah yang dekat dari pusat kekuasaan Majapahit. Trowulan (di daerah Mojokerto) adalah pusat penting Kerajaan Majapahit dan wilayah ini sekarang adalah tetangga Kabupaten Jombang. Majapahit adalah tempat dan masa terpuncak dan sekaligus titik akhir kekuasaan Hindu-Buddha yang paling berpengaruh di Jawa.
Perkembangan agama Islam di Jombang lebih kultural, artinya berlangsung lebih bebas dari pengaruh politik kekuasaan karena di Jawa Timur tak ada kerajaan Islam. Yang menjadi pusat legitimasi perkembangan agama Islam di wilayah ini adalah pondok pesantren.
Para perintis dan pengembang pondok pesantren di Jombang sebagian besar dari Jawa Tengah. Mereka adalah para kiai atau kalangan sipil religius yang mengembangkan agama Islam secara kultural atau tanpa melibatkan dominasi kekuatan legitimasi politik dan kekuasaan.
Minusnya kekuatan politik dan kekuasaan dalam perkembangan agama Islam di Jombang membuat perubahan sosial-religius berlangsung tanpa upaya dominasi sehingga sisa-sisa pengaruh agama resmi Kerajaan Majapahit di Jombang berhadapan secara bebas dengan kehadiran misi penyebaran agama Islam. “Masyarakat hijau” dan “masyarakat merah” di Jombang hidup bersanding dan saling memberi pengaruh.
Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Hasyim Asy’ari adalah para kiai yang ber tumbuh dalam kondisi sosial-religius semacam itu. Selain kondisi lokal itu, mereka juga mereguk pengaruh pergaulan kosmopolitan Islam lantaran mereka pernah belajar agama Islam dan hidup di Mekkah.
Ketika dua pemuda Jombang itu di Mekkah, kota suci tempat kelahiran Nabi Muhammad ini adalah pusat pergaulan dunia pengetahuan Islam dan masyarakat Islam. Di Mekkah banyak pelajar dari berbagai dunia menimba pengetahuan Islam dan berkumpul masyarakat Islam yang berhaji dari beragam bangsa.
Sepulang dari Mekkah, Kiai Wahab dan Kiai Hasyim berkiprah di pondok pesantren dan ketika itu gerakan pemurnian agama Islam merebak di tanah air dan di Mekkah diberlakukan kebijakan penunggalan anutan mazhab. Khazanah tradisi masyarakat lokal hendak dibersihkan sama sekali dari praktik berislam oleh gerakan pemurnian ini.
Ketegangan religius pun terjadi oleh gerakan pemurnian dan ini membuat Kiai Wahab dan Kiai Hasyim memutuskan melakukan pendekatan dan protes kepada penguasa Mekkah kala itu serta mengembangkan organisasi sosial-agama di tanah air yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan global. Singkat cerita, kemudian tercetuslah Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 1926 di Jawa Timur.
Keislaman di Jombang yang sejak mula berkembang tanpa dominasi dan legitimasi politik dan kekuasaan membuat para kiai itu memiliki kesadaran beragama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan global. Dengan demikian, Jombang telah menciptakan suatu sikap keislaman dan masyarakat yang khas. Kiai Wahab dan Kiai Hasyim adalah produk lokalitas Jombang yang bergaul dengan dunia global melalui Mekkah.
Maka, “Nahdlatul Ulama” barangkali kurang mewakili integritas kenyataan sosial-budaya di Jombang. Keulamaan Kiai Wahab dan Kiai Hasyim beserta visi kultural keislamannya yang lahir dari kenyataan sosial-budaya di Jombang mestinya juga melahirkan “Nahdlatul Jombang” yaitu kebangkitan seluruh elemen budaya masyarakat Jombang, bukan sebatas kebangkitan kaum agamawan.
***
Dari latar sejarah dan sosial-agama di Jombang itulah lahir visi dan karakter kultural NU sebagai organisasi sosial-agama. Dan keislaman yang dikembangkan di pondok pesantren adalah akar tradisi NU. Pondok Pesantren adalah komunitas pengetahuan (kitab kuning) dan komunitas dengan etos beragama yang mempertimbangkan tradisi lokal dan global.
Para santri yang ditempa di pondok pesantren adalah benih-benih masyarakat yang tercerahkan dan terbentuk oleh pengetahuan dan etos beragama yang mempertimbangkan tradisi lokal dan global. Kiai Wahab dan Kiai Hasyim adalah sebagian contoh modelnya.
NU terilhami visi besar semacam itu. NU adalah bukan gerakan politik. Politisasi NU adalah penyimpangan dari garis awalnya. Sebuah penyempitan dan pengerdilan yang membuat NU dangkal dan kehilangan daya yang lebih luas dan mendalam. NU memimpin ummah, bukan memimpin golongan atau massa parpol tertentu.
Dinamika NU tentu tak selalu berada di rel visi ke-ummah-an dan hal ini merupakan dampak dari perkembangan masyarakat yang mestinya dicermati dan dikoreksi agar arah NU tak bergerak menuju yang bukan tujuan awalnya.
Melalui realitas pondok pesantren saat ini sebenarnya bisa ditakar bagaimana dan akan ke mana arah NU di masa depan. Realitas pondok pesantren adalah cermin NU. Barangkali ada pendapat lain menyanggahnya. Namun, bila bukan realitas pondok pesantren, di mana NU akan menemukan basis dan tempat bercermin yang semestinya?
Binhad Nurrohmat, Penyair, Penulis Buku Kumpulan Puisi Kwatrin Ringin Contong, dan Pengasuh Asrama Al-Hambra Pesantren Darul Ulum Jombang.
Sumber : NU Online