Sebagai peserta penggembira pada muktamar NU ke-33 di Jombang kemarin, aku banyak mencari ilmu di luar forum; mengikuti agenda tambahan dan berdiskusi dengan beberapa tokoh. Di malam menjelang pemilihan Rais Aam, aku duduk diluar forum.Kebetulan pas di depan tempat dudukku ada seorang kiai āromliā juga, dari salah satu MWCNU di Jawa Tengah. Kami banyak terlibat diskusi soal ke-NU-an, keislaman dan problem sosial kemasyarakatan lainnya. Karena kemudian ia tahu aku kader NU, maka ada nasehat khusus kepadaku. Di antara nasehatnya yang cukup “keras” nan panjang adalah sebagai berikut.
“Mas, sebagai kader muda NU, sampean jangan melupakan substansi dari ajarannya; yaitu Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Jangan sampai apa yang dilakukan baik secara pribadi maupun organisasi, bertentangan. Entah itu tujuannya, apalagi cara-caranya. Tujuan yang mulia harus dilakukan dengan jalan yang mulia. Jika tidak, itu akan sepi dari berkah, hanya membuang energi dan malah bisa jadi bumerang,” tuturnya sambil mengepulkan asap rokok. Aku menyimak.
“Sekarang, banyak sekolah maupun lembaga pendidikan mendapat bantuan dengan syarat ada potongan. Saya sendiri menyaksikan. Itu suap. Makanya saya nggak pernah mau menandatangani yang begitu-begituan.
āBagaimana kita mau jadikan anak didik jika sekolahnya saja dari uang yang tidak jelas. Bagaimana mau menghasilkan kader yang beretika jika gurunya saja ijazahnya beli dan hanya sibuk mengejar sertifikasim,” lanjutnya.
Pemilihan ketua umum berjalan. Kawalan Banser ketat. Hanya peserta ber-ID Card yang bisa masuk. Kusulut rokokku untuk mengimbangi.
Ia melanjutkan, “Sebagai kader NU, kamu jangan gampang main perempuan. Itu nggak bener. Anak muda sekarang banyak bikin acara se-majelis dengan perempuan. Bagaimana mau berkah? Mending jika kamu ada dan merasa dalam hati bahwa itu dosa, meski tetap melakukan. Hari ini tidak! Bahkan mengerti bahwa itu dosa saja tidak! Ini masalah,” tuturnya makin keras.
Batinku, bagaimana bisa ideal seperti itu hidup di zaman seperti ini. Meski begitu, aku membenarkan sambil berpikir. Tak menyanggah.
“Memegang akidah Ahlussunnah wal Jamaah itu tidak mudah. Sekarang semua serbauang. Apa-apa bisa dibeli dengan uang. Orang, ormas, institusi dan bahkan jabatan dibeli dengan uang. Itu apa-apaan?ā
āBagaimana mau berkah, bermanfaat dan maslahat jika caranya saja salah. Itu ibarat mencuci baju dengan air kencing,” tambahnya.
Aku tertunduk. Beberapa temanku juga larut dalam nasihat ini. “Sebagai anak muda, kamu jangan pernah berhenti belajar. Termasuk dari muktamar ini. Kamu belajar dari orang-orang tua NU di dalam. Apa yang baik ambil. Jangan menghakimi karena itu belum kelas kamu. Kamu boleh menilai dan berpendapat, tapi jangan menghina. Semua orang memiliki kebaikan. Pun dengan kita memiliki kekurangan,” ucapnya dengan sorot mata yang menikam.
“Perbedaan pendapat itu biasa. Justru itu kita oleh Allah disuruh untuk saling mengenal. Perbedaan itu banyak memberi kita hal dan perspektif baru. Sebagai contoh, kegaduhan antara yang setuju AHWA dengan yang tidak setuju ini, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil. Lagi, sesuatu meledak itu pasti karena ada sesuatu yang salah. Tak mungkin ada asap tanpa api. Di situlah kita perlu introspeksi diri.”
Aku masih terdiam, sambil sesekali meneguk kopi hitam.
“Memang, sebaik-baik kurun adalah kurun baginda Nabi. Namun, di tengah kehidupan yang serba kocar-kacir ini, minimal jangan sampai larut. Kamu harus punya prinsip dan pegangan yang kuat. Jangan mudah diombang-ambingkan. Jika kelak kamu memimpin organisasi, perkumpulan atau komunitas, tolong ada penopang ekonomi yang jelas. Ada usaha dan iuran anggota. Itu semata biar tidak mudah dibeli dan diintervensi. Pernah lembaga pendidikan saya menolak bantuan dari pemerintah. Itu justru kita semakin gagah, bisa mandiri dan punya integritas.”
Sorak-sorai pendukung bergantian pecah ketika nama kandidat disebut. Aku masih tertarik untuk mendengar kiai desa ini.
“Kemudian, niat benar-benar harus ditata dalam hal apapun. Jangan sampai salah niat. Sekarang orang banyak salah niat, sehingga hasil tak dapat, malah justru dapat buruknya akibat. Belajarlah niat dan melakukan segala sesuatu karena Allah, tulus dan jangan mengharap imbalan. Ini penting. Sekarang banyak orang bertindak hanya karena ego, nafsu sesaat, fanatisme kelompok; tidak melihat tujuan yang lebih besar dan maslahat. Jangan sampai terjebak dalam hal begituan. Kamu harus tahu mana ghayah (tujuan) mana wasilah (perantara),” terangnya panjang lebar.
“Maaf lho jika nasihatku terlalu kasar. Jangan diambil hati. Ini semata karena kamu kader NU,” imbuhnya. “Nggak Kiai. Aku justru senang ada yang mengingatkan,” jawabku.
Lalu riuh pemilihan ketua umum pecah. Kami berpisah. Dalam tahap pencalonan, Kiai Said unggul. Kiai As’ad menyusul. Kiai As’ad meminta mikrofon pimpinan sidang dan berdiri tegak dan menyatakan:
“Kiai Said orang yang hebat. Saya kalah pinter dan kalah alim. Semampu saya, saya akan terus membantu PBNU.”
Itu ungkapan tersirat. Semua mafhum. Akhirnya secara aklamasi Kiai Said ditetapkan sebagai ketua umum PBNU 2015-2020. Shalawat pun menggema menggetarkan arena.
Ahmad Naufa Khoirul Faizun, peserta penggembira di Muktamar Ke-33 NU
Sumber : NU Online