Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) tidak saja memanggil warganya sendiri hingga media massa untuk hadir di Jombang, Jawa Timur, tempat kelahiran Presiden ke – 4 RI KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Sejumlah akademisi dan pengamat dari luar negeri juga hadir dan membaur dengan warga NU, salah satunya Guru Besar Studi Kurdi Universitas Utrecht, Belanda, Martin van Bruinessen.
“NU harus mempunyai strategi jika ingin benar-benar kembali kepada khittah,” ujar Martin yang mengaku telah mengamati beberapa kali perhelatan lima tahunan NU atau muktamar berlangsung, di Jombang,, Rabu (5/8).
Dalam praktiknya, di mana pun tempat dan organisasinya, kata Professor Studi Kurdi di Freie Universität (Universitas Bebas) Berlin (1996-1997) itu menambahkan, para peserta yang mengikuti setiap kegiatan berlokasi jauh seringkali berharap mendapat imbalan.
“Sebagai organisasi besar, NU seharusnya bisa mengambil iuran anggotanya secara sistematis dan mengelolanya secara transparan,” kata Dosen tamu pascasarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1991-1993) itu pula.
Tetapi sebagai konsekuensi logis atas hal itu, ujar dia pula, NU akan memerlukan badan yang menjalankan transparansi.
Pendiri International Institute of the Study of Islam in Modern World (ISIM) itu mengandaikan, kalau orang dari Sulawesi Utara datang ke Jombang, apa mungkin swadaya atau mungkin harus ditolong oleh ‘sponsor’?
Martin yang menjadi konsultan metode penelitian di LIPI pada 1986-1990 itu lalu menambahkan, dana diperoleh NU dari anggotanya atau sponsor bisa dipakai untuk menjamin transportasi sehingga bisa membantu wakil cabang peserta datang ke muktamar.
“Dalam hal ekonomi, pola semacam itu bisa membantu,” demikian Martin van Bruinessen, penulis buku “Kitab Kuing: Pesantren dan Tarekat” itu.
Sumber : NU Online