Ada dua versi terkait perjalanan spiritual nabi Ibrahim, dan ini -jika dianalisa dengan pandangan sejarah- masih belum menyentuh fakta historis karena hanya bersumber pada penuturan verbal dari generasi ke generasi.
Pertama, dalam tradisi biblikal disebutkan, Ibrahim melakukan perjalanan spiritual dari Kota Ur sampai ke Kan’an saja. Dalam tradisi biblikal yang tercantum dalam folklore -cerita Yudaisme- perjalanan spiritual tersebut merupakan aplikasi kehidupan para nabi, berpindah tempat dari tanah kelahiran ke kota tujuan, folklore yang berkembang di masyarakat Yudea-Yerussalem ini terus berkembang karena Ibrahim diyakini sebagai Bapak Monotheisme. Sudah tentu, cerita perjalanan Ibrahim dari Kota Ur sampai ke Kan’an ini mengabaikan jika Ibrahim dalam versi lain pernah singgah ke Padang Haran (Makkah, Bakkah).
Kedua, perjalanan Ibrahim versi Arab-Islam, diyakini dalam tradisi lisan orang-orang Arab baik pra Islam mau pun setelah mereka menganut Islam, Ibrahim pernah singgah ke Makkah, beliau menempatkan Hajar (Hagar) dan Ismail di tempat dimana sekarang telah menjadi tempat pelaksanaan Ibadah Haji Kaum Muslimin. Bahkan dari tradisi lisan orang-orang Arab tersebut disebutkan, setelah Ismail dewasa, Ibrahim mengunjungi lagi Makkah untuk membangun kembali Ka’bah yang telah diabaikan oleh orang-orang Arab pra-Islam. Hingga diyakinilah, bangunan Ka’bah (Kubus Batu) ini telah dibangun oleh Ibrahim dan Ismail.
Kontradiksi dan paradoks cerita tentang Ibrahim ini tidak hanya pada perjalanannya saja. Dalam tradisi Yudaisme disebutkan, anak Ibrahim yang harus disembelih atas perintah Tuhan adalah Ishaq, sementara dalam tradisi lisan orang-orang Arab disebutkan Ibrahim menerima perintah Tuhan pada dua hari sebelum 10 Dzulhijjah, pada masa Tarwiyyah, harus menyembelih Ismail sebagai akibat dari Nadzar Ibrahim : Jika aku memiliki anak lelaki, kemudian Tuhan memerintahkanku untuk menyembelihnya, maka aku akan memilih untuk menyembelihnya karena kecintaanku kepada Tuhan.”
Lantas, kenapa sampai ada dua versi cerita tentang Ibrahim dan cerita besar lain sebagai kisah turunan dari cerita utama? Apakah kedua kelompok antara orang-orang Yudea dengan orang Arab memiliki motif tertentu dengan adanya klaim bahkan sampai dimasukkan ke dalam kitab suci? Padahal, kita sama sekali tidak akan pernah tahu, siapa orang yang pertama kali datang ke sebuah tempat di mana kegersangan dan gunung-gunung batu mengelilinginya.
Dan munculnya klaim Ibrahim pernah mengunjungi Makkah ini telah beredar sejak sebelum Rosul diutus di Makkah. Orang Arab telah meyakini sepenuhnya, Ka’bah sejak semula dibangun oleh Ibrahim dan Ismail terus dijaga oleh suku pilihan dari Bani Hasyim sebagai turunan dari Ibrahim dan Ismail. Dan puncaknya adalah saat Tuhan mengutus Nabi dari kalangan mereka sendiri, olok-olok yang dilakukan oleh kelompok Yudaisme terhadap orang Arab sebagai bangsa yang dianaktirikan oleh Tuhan karena tidak pernah memiliki nabi dan kitab suci dalam bahasa Arab terjawab setelah Muhammad diutus dan diyakini telah membenarkan kembali fondasi ajaran yang telah diwariskan oleh Ibrahim dan Ismail. secara turun-temurun.
Jauh sebelum Islam menguasai Jazirah Arab, telah berkembang cerita, bahwa Ka’bah (Kubus Batu) sebagai kuil suci rumah Tuhan bukan hanya ada di Makkah saja. Beberapa suku Arab lain pun telah membangun Ka’bah karena adanya kesamaan keyakinan mereka waktu itu, penganut paganisme. Penamaan Ka’bah sebagai Rumah Tuhan pun tidak lepas dari sikap orang Arab pra Islam yang menempatkan patung dan berhala sebagai tuhan mereka di dalam Ka’bah, sekitar 360 berhala ditempatkan di dalam Ka’bah, mereka menyebut, Ka’bah sebagai Rumah Tuhan, tradisi penyebutan ini sampai sekarang masih dijaga dengan menyebut Ka’bah sebagai “Baitulloh”.
Ka’bah lain yang dibangun oleh orang Arab selain di Makkah misalnya di Yaman. Sebagai kepala Suku, Abrahah memiliki pandangan sederhana, agar tradisi Hajj yang biasa dilakukan oleh orang Arab pra Islam bersifat efektif, maka sudah sewajarnya di setiap kabilah dibangun Rumah Tuhan. Namun secara politis bagi suku terbesar di Arab waktu itu (Suku Quraisy) pernyataan seperti beberapa kabilah akan merugikan baik kemasyhuran mau pun secara ekonomis. Sebagai suku terbesar di Jazirah Arab, kaum Quraisy memiliki keharusan untuk menstabilkan keadaan. Strategi pertama, para pembesar Quraisy mengagendakan, pasar kesenian atau pameran besar-besaran setiap satu tahun sekali, disebut Ukaz sebagai karnaval dan pentas seni serta bercengkrama setiap kabilah di jazirah Arab. Ikatan emosional terbangun, hubungan interpersonal tiap kabilah terwujud, bahkan, para penjaga Ka’bah di Makkah memberikan sikap toleran dengan membolehkan setiap kabilah menyimpan berhala sesembahan mereka di dalam Ka’bah. Orang Quraisy berpandangan Ka’bah ini milik setiap kabilah dibalik motif ekonomi sebagai penyangga utama kehidupan di Makkah waktu itu.
Kedua, aliansi Quraisy dengan kabilah-kabilah lain telah membentuk menjadi kekuatan besar, maka sudah seharusnya jika ada riak kecil yang mengganggu stabilitas harus dihentikan. Aliansi kekuatan ini melakukan penyerbuan ke setiap kabilah yang disinyalir telah berani menghembuskan issue pembangunan Ka’bah di setiap kabilah. Banyak kabilah yang dihancurkan, cerita ini dikembangkan secara kiasan oleh para penyair Arab dalam bingkai metafora, aliansi kekuatan Quraisy dan sekitar 300 lebih kabilah diilustrasikan sebagai burung-burung yang diutus Tuhan untuk melindungi RumahNya dari serbuan siapa pun.
Oleh : Warsa Suwarsa akrab disapa Kang Warsa, budayawan, tinggal di Sukabumi. Ia bisa ditemui di Twitter: @Kang_Warsa
Sumber : NU Online