Mudah dan memudahkan. Begitu kesan saya setelah membaca buku ini. Buku ini membahas persoalan keagamaan kontemporer, terutama masalah waqi’iyyahbagi mereka yang tinggal di luar negeri. Memang, sebagaimana diutarakan penulis, buku ini sebagian besar berisi refleksi dialog keagamaan yang dialami penulis selama tinggal di luar negeri, terutama di Brisbane, Australia. Didominasi warna orange dan dikemas dengan gaya nge-pop, buku ini menghadirkan pandangan yang segar, menarik dan disajikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Buku ini terdiri dari tiga bagian dan belasan bab ini, mendiskusikan masalah fiqih, tafsir dan inspirasi dari para Nabi sampai soal wacana Islam di Australia.
Sebagai seorang Muslim yang tinggal di luar negeri dan berinteraksi dengan banyak perbedaan agama dan budaya dari berbagai belahan dunia, penulis membahas secara jelas problematika yang dihadapi oleh orang Muslim khususnya dalam beradaptasi dan menyikapi hal-hal yang sering menghadirkan keraguan, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum agama. Sebagai contoh adalah persoalan makanan halal. Muslim di luar negeri seringkali dihadapkan pada soal bagaimana misalnya membeli daging tidak dari halal butcher. Persoalan semacam ini acapkali memicu polemik dan memantik perdebatan sengit di antara sesama Muslim. Sebagian serta merta mengharamkan karena bukan sembelihan Muslim, sebagian lagi menghalalkan, sementara sisanya tidak mau ambil pusing dan memilih yang praktis sesuai kebutuhan.
Menanggapi hal ini, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya sembelihan ahlulkitab menurut Al-Qur’an itu halal dan tentu saja boleh dikonsumsi oleh Muslim (h. 5). Ini merujuk pada QS Al-Maidah [5]:5:“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan al-Kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka”. Lalu, kalau bukan ahlulkitab, bagaimana hukumnya? Sementara di luar negeri, seperti di Australia, cukup sulit mengatahui keberagamaan atau ketidakberagamaan seseorang karena ini tidak menjadi urusan adminitrasi negara sebagaimana di Indonesia yang harus ditulis tegas di KTP. Soal ahlulkitab pun kerap dipersoalkan, misalnya apakah Kristen hari ini masuk kategori ahlulkitab, belum soal agama yang lain seperti Hindu, Budha, Sikh dan lain-lain.
Perihal ini, penulis merujuk pada kitab Shahih Bukhari “Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak. Maka Nabi SAW menjawab: “Bacalah bismillah atas sembelihan itu olehmu dan makanlah. Hadis senada diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi tentang keju yang diambil dari perkampungan orang Majusi dan kemudian dimakan oleh Nabi SAW. Tindakan Nabi ini “diinterupsi” oleh sahabat yang mengatakan bahwa keju itu bukan berasal dari binatang yang disembelih menurut Islam. Nabipun menjawab: bacalah bismillah dan makanlah. Merenungkan dua hadis ini tentu akan membantu membuka cakrawala berpikir kaum muslim yang sering dihadapkan pada soal kebolehan membeli daging dari toko yang tidak berlabel halal. Menambah penjelasan soal ini, penulis merujuk pada kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd yang menyebut bahwa terdapat tiga pendapat soal wajib atau tidaknya membaca basmalah saat menyembelih: wajib mutlak, wajib, dan sunnah. Masing-masing diberi argumen yang mendasari hukum itu.
Soal lain tentang makanan adalah kode E471. Pertanyaan ini termasuk sering ditanyakan banyak orang yang sedang berada di luar negeri. Buku ini memberi jawaban yang memuaskan. E adalah singkatan dari European Union dan 3 angka di depannya adalah kode nomer jenis bahan dimana kode 471 merujuk pada emulsifier: bahan pengemulsi yang fungsinya sebagai aditif pada makanan dan memudahkan proses percampuran bahan minyak dan air. Banyak yang menganggap bahwa bahan yang dipakai untuk emulsifier ini tidak halal karena berasal dari hewan. Padahal, secara keilmuan, bahan yang dipakai tidak selalu dari hewan, bisa juga dari tumbuhan yang jelas kehalalannya. Nah, bagaimana statusnya kalau dari hewan? Selain babi, pembahasannya kembali kepada penjelasan di muka. Bagaimana kalau berasal dari babi, binatang yang jelas diharamkan dalam Al-Qur’an?
Membahas hal ini, penulis merujuk pada konsep istihalah dalam fiqih. Istihalah adalah perubahan hukum satu hal ke hal lain. Sebagaimana disebut dalam Radd Al-Mukhtar ala Al-Durr Al-Mukhtarapabila babi tenggelam di laut lalu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam, maka garam tersebut halal. Jika najis sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam yang sudah berubah tadi tidak dikatakan najis lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah menjadi tanah. Sedangkan Imam Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa istihalahberlaku ketika proses perubahan yang terjadi melalui proses alami, tanpa melibatkan unsur manusia dan kimiawi. Tapi bila perubahan zat itu karena unsur rekayasa kimiawi dan tekhnologi pangan maka teori istihalah tidak berlaku. Contohnya, kalau perubahan khamar ke cuka melalui proses alami, Mazhab Hanafi dan Syafi’i sepakat istihalah bisa diterapkan.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan dan komunikatif. Juga diselingi dengan canda dan humor di antara bahasan serius. Selain persoalan di atas, masih banyak hal lain yang dibahas dalam buku ini seperti etika menyantap makanan/minuman yang mengandung alkohol, perihal berwudlu di wastafel, hukum shalat Jum’at di saat ada kewajiban yang harus dilakukan di saat yang sama dan sebagainya. Bagi kalangan Muslim konservatif, buku ini sangat menghentak kesadaran karena pandangan yang ditawarkan sangatlah progresif. Namun demikian, bagi mereka yang open-minded, buku ini akan menjadi panduan praktis bagi para muslim yang sedang atau akan tinggal di negeri-negeri di mana Muslim adalah kelompok minoritas.
Namun demikian, ada beberapa catatan yang bisa disempurnakan. Pertama, soal time frame,kurun waktu penulisan cerita. Memang, buku ini bercerita tentang perjalanan, pergaulan dan diskusi antara penulis dengan kolega, terutama di Brisbane, namun kapan waktunya tidak disebutkan dengan jelas. Lebih lanjut, dialog yang terjadi dalam buku ini terjadi dalam sekuel waktu yang berbeda dan bertaburan. Penyebutan time frame ini penting karena bisa menjadi refleksi kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Misalnya pada halaman 194-195, yang menceritakan komunikasi Ujang dengan kawan bule-nya tentang Islam. Bule ini tadinya agak sinis terhadap Islam, namun kemudian menjadi penasaran dan simpatik. Pada konteks inilah isutime frame menjadi penting. Bisa jadi, kesan semacam ini tidak akan kita temukan atau malah akan berbalik ketika terjadi pada akhir-akhir ini di mana fenomena Islam ISIS menjadi horror bagi dunia Barat. Di Australia sendiri, hal ini menjadi PR besar bagi pemerintah karena banyak warga Australia yang ikut berbagung dengan ISIS. Time frame yang jelas bisa membantu kita untuk mengatahui perubahan atau ke-konsisten-an sebuah pandangan dari masa ke masa terkait dengan sebuah peristiwa.
Kedua, soal citation. Buku ini memang sudah memberikan banyak rujukan yang diambil dari kitab-kitab ulama klasik dengan nama kitab dan ragam pendapat ulama dengan jelas. Hanya saja, ini bisa disempurnakan lagi, sebagaimana tradisi pengutipan, dengan memberikan informasi penerbit, tahun terbit dan halaman dimana rujukan itu dikutip. Ini penting karena kitab yang beredar di Indonesia bisa jadi diterbitkan oleh penerbit yang berbeda, dan terkadang halamannya juga tidak sama. Belum lagi soal salah cetak yang kerap ditemukan juga. Signifikansi lain dari kelengkapan kutipan adalah agar bagi mereka yang ingin membaca langsung kitab yang dimaksud dapat segera membacanya tanpa harus membolak-balik halaman, apalagi kalau kitabnya cukup tebal sepeti Syarh Al-Muhadzdzab. Meski tidak mengurangi manfaat kehadiran buku ini bagi khalayak, bagi saya, dua hal ini penting untuk menambah kesempurnaan buku ini, sehingga tidak hanya enak dan ringan dibaca, tapi juga menambah bobot “serius dan ilmiah”. Akhirnya, selamat membaca.
Data buku
Judul Buku: Dari Hukum Makanan Tanpa label Halal Hingga Memilih Mazhab Yang Cocok
Pengarang : Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D
Penerbit : Mizania
Tahun Terbit: Juni 2015
Jumlah Hal : 227 halaman
Peresensi : Husnul Atiyah, penikmat buku, tinggal di Melbourne, Australia
Sumber : NU Online