Saat ini ada dua generasi di era global berbasis digital dan internet, yaitu Digital Native dan Imigran Native. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Agama dan Nasionalisme, Surya University, Imam Malik Riduwan dalam Workshop Metode dan Best Practice mengenai Countering Violent Extremism (CVE), Rabu (9/9) di Hotel Golden Palace, Mataram, NTB.
Malik menjelaskan, yang diamaksud dengan Digital Native bisa dikatakan sebagai penduduk asli dunia maya. “Artinya, seseorang lahir, di mana internet sudah ada dengan beragam media sosialnya,” jelasnya.
Sedangkan Imigran Native, terangnya, yaitu peralihan seseorang dari dunia tanpa digital ke dunia digital. Dijelaskan Malik, bahwa kelompok ini saat lahir tidak ada internet, tetapi bimbingannya sangat dibutuhkan oleh generasi Digital Native dalam menyikapi segala sesuatu yang berkembang di dunia maya.
Kelompok Imigran Native saat lahir tidak ada internet dihadapannya, kata Malik, tetapi kelompok inilah yang berkewajiban memberikan edukasi sehingga generasi muda tidak mudah terpengaruh dengan informasi-informasi negatif yang cenderung menanamkan paham radikal.
“Sebab itulah, kegiatan-kegiatan seperti ini merupakan upaya dari Imigran Native dalam membimbing generasi muda di era digital,” tegasnya.
Dalam sesi dua bertopik ‘Pengembangan Program CVE dalam Penguatan Toleransi dan Penanggulangan Radikalisme serta Terorisme di Indonesia’ ini menghadirkan narasumber lain, yaitu Aktivis Pendidikan Anak, Irfan Amali, Aktivis Media Sosial, Budi Trisna, dan dari Edukasi 101, Winastawan Gora Swajati, serta Herry Sudrajat dari BNPT.
Sumber : NU Online