Saya meyakini kebenaran sabda Nabi Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama tentang bidah. Terlebih hadis tersebut diriwayatkan oleh para Huffadz al Dunia, seperti Imam al Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan sebagainya.
Namun yang masih menjadi perbedaan saat ini adalah tuduhan segala yang baru itu bidah, dan semua bidah sesat. Terlebih saat ini bidah dijadikan alat untuk melegitimasi pendapatnya sendiri untuk menyalahkan amaliah orang lain. Padahal kita tahu bahwa mayoritas ulama ahli hadis seperti al Hafidz Ibnu Hajar, Imam al Nawawi, bahkan hingga Imam Syafii dan lainnya membagi bidah dalam dua bentuk, hasanah dan sayyiah.
Ada jawaban yang bersumber dari ulama Timteng saat ini, baik dari Mesir atau Yaman, untuk menghadapi tuduhan bidah. Misalnya dari Syaikh Athiyah, Mufti Mesir, ketika beliau ditanya tentang berbagai macam peringatan, baik Maulid, Isra’, peringatan kebangsaan dan lain sebagainya, beliau berkata: “Yang menjadi penilaian adalah subtansinya, bukan namanya”. Demikian pula dengan Syaikh Jad al Haq, juga Mufti Mesir, beliau menyebut ‘khilafah, riayah, imarah dan presiden’ adalah satu istilah dalam kepemimpinan yang sama.
Terakhir kita mendengan uraian Islam Nusantara dari Rektor al Ahqaf, kata beliau kalimat itu tergantung dari sisi orang yang melihatnya. Bagi beliau jika yang dimaksud adalah penyebaran Islam yang didakwahkan oleh wali 9 dan diteruskan oleh KH Hasyim Asyari, maka tidak ada masalah dengan istilah itu, sebab sejatinya itu juga yang diamalkan oleh ulama Yaman. Namun jika yang dimaksud adalah untuk melegitimasi nikah agama dan pemikiran liberal lainnya, maka jelas menyimpang.
Kaedah yang dipakai oleh ulama masa kini adalah:
العبرة بالمسميات لا بالاسماء
“Penilaian itu terletak pada subtansi isinya, buka pada sebuah nama”
Wallahu A’lam
Gus Ma’ruf Khazin/Surabaya