Pesantren merupakan saka guru pendidikan di Indonesia. Kesimpulan tersebut tidak berlebihan jika mencermati kehadiran pesantren di Nusantara (baca: Indonesia) ternyata berjejak sampai dengan ratusan tahun yang lampau. Istilah “pesantren” sendiri sangat khas Nusantara.Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an. Kata “santri” diambil dari bahasa Jawa atau Sanskerta yang artinya adalah “murid”.
Terkemudian, kata “pesantren” sering dipadupadankan dengan kata “pondok”. Kata “pondok” diambil dari bahasa Arab,“funduq” yang berarti “penginapan”. Tambahan kata yang berasal dari bahasa Arab tersebut membuat istilah pesantren yang semakin dekat dengan Islam dan kegiatan pembelajarannya.Sehingga ketika disebut “pondok pesantren”, hal itu merujuk pada pembelajaran para murid yang diasramakan untuk tujuan menimba ilmu agama Islam.
Para sejarawan berpolemik mengenai kapan persisnya lembaga pesantren hadir di Indonesia. Akan tetapi, Howard M. Federspiel, seorang indonesianis kenamaan di dalam The Oxford Encyclopedia of the Islamic World meyakini bahwa lembaga pendidikan pesantren sebagaimana kini dikenal telah hadir di tanah Jawa sejak abad ke-16.Bukti akan hal itu, katanya, dengan dijejakinya catatan mengenai merosotnya pengaruh kerajaan atau keraton yang bercorak Hindu-Buddha di kalangan masyarakat yang dekat dengan pesantren pada abad tersebut. Artinya, pada sekitar abad tersebut, pesantren telah muncul sebagai pusat gravitasi yang baru bagi kehidupan bermasyarakat. Bahkan pada abad berikutnya, dikatakan bahwa strata sosial kalangan santri dan priyayi menjadi setara.
Bagaimana prosesnya sehingga pesantren menjadi pusat gravitasi baru kehidupan masyarakat? Mengenai hal ini ia mengemuka dua teori. Pertama, pesantren muncul seiring dengan melembaganya pengajian tarekat di masyarakat yang berlangsung sejak abad ke-15. Pengajian tarekat tersebut merupakan perkembangan lebih lanjut dari dakwah Islam ke Nusantara yang sudah dimulai sejak abad ke-8.
Kedua, kemunculan pesantren merupakan proses akulturasi budaya Islam dengan tradisi mandala atau pertapaan yang lebih dahulu berkembang dalam pengajaran agama Hindu-Buddha.Teori ini berangkat dari fakta tidak ditemukannya model lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.
Setelah kekuasaan kerajaan maupun keraton Hindu-Buddha di Nusantara runtuh, dan seterusnya di masa-masa berikutnya, peranan pesantren bagi kehidupan bermasyarakat semakin diperhitungkan. Pesantren terkemudian tidak berhenti sebatas lembaga pendidikan belaka. Dalam satu fase, para tokoh atau kiai dari pesantren yang kerap dimintai bantuan oleh kerajaan atau keraton dalam menyikapi suatu masalah. Kiai atau tokoh agama Islam dalam hal itu menjadi semacam penasehat kerajaan atau keraton baik secara resmi maupun tidak resmi.
Pada fase lebih lanjut, atau selama terjadinya gelombang kolonisasi penjajah terhadap Nusantara, pesantren kerap dijadikan masyarakat sebagai basis untuk menggelorakan perlawanan. Pada fase ini, kiai dan pesantren menjadi agen perubahan sosial maupun politik dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Pesantren tidak melulu menjadi agen penggerak masyarakat.Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren juga turut dipengaruhi oleh masyarakat, terutama ketika terjadi modernisasi pendidikan seiring dengan kolonialisasi di Nusantara.Model pendidikan klasikal yang ditanamkan Belanda selama penjajahannya merupakan tantangan tersendiri buat pesantren.Pada akhirnya, pesantren mau tak mau juga mengadopsi model pendidikan klasikal yang sempat diterapkan Belanda.
Kemudian berkembanglah tiga model pendidikan di dalam pesantren. Ada model pendidikan Pesantren Salafiyah, yang sistem dan metode pengajarannya sangat tradisional dengan mempertahankan model pembelajaran seperti awal kemunculannya atau aslinya. Pesantren model ini hanya mengajari pembelajaran dari kitab-kitab kuning. Model kedua adalah Pesantren Khalafiyah (Ashriyah/Modern) yang tetap melestarikan ciri khas aslinya dengan kajian kitab kuning, akan tetapi juga menyediakan sekolah-sekolah umum yang bebas dimasuki oleh para santri dengan kurikulum umum yang berasal dari pemerintah.
Selain Pesantren Salafiyah dan Pesantren Khalafiyah, ada pula yang disebut dengan Semi modern. Pesantren jenis ini mengajarkan santri secara klasikal untuk diajarkan kitab kuning dan pelajaran umum. Bedanya, untuk pelajaran-pelajaran agama hanya diajarkan sesuai kebutuhan. Bisa saja santri tidak wajib untuk mengikuti pelajaran kitab kuning, jika ia memilih pendidikan umum. Begitu pula sebaliknya, santri yang memilih pendidikan kitab kuning tidak wajib mengikuti mata pelajaran umum.
Umumnya, pesantren-pesantren yang dapat beradaptasi dengan modernisasi dan menyerap kebutuhan masyarakat masih terpelihara eksistensinya sampai kini, sekalipun sudah berdiri puluhan bahkan hingga ratusan tahun. Kiat inilah yang dilakukan pesantren-pesantren yang berpengaruh yang termuat di buku ini, sehingga bukannya tertinggal dari peta persaingan dunia pendidikan, malahan semakin membesar dan mempunyai banyak santri.Lihat saja kiprah Buntet Pesantren di Cirebon, Pesantren Darul Ulum dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Lirboyo di Kediri, Pesantren Darussalam di Martapura, Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Pesantren As‘Adiyah di Sengkang, Sulawesi Selatan, atau Pesantren Al-Ittifaqiah di Indralaya, Sumatera Selatan. Pesantren-pesantren semacam itu mampu menancapkan pengaruhnya sedemikian luas bagi dunia dakwah Islam dan pendidikan di Indonesia, bahkan hingga tingkat regional.
Indikator luasnya pengaruh tersebut antara lain, harumnya nama kiai pendiri pesantren baik semasa hidup maupun setelah meninggal, popularitas pesantren yang terpelihara sejak didirikan sampai sekarang, banyaknya jumlah lulusan (mutakharrijin) yang kemudian turut mendirikan pesantren maupun madrasah, banyaknya jumlah santri yang mondok saat ini, dan beberapa indikator lainnya.
Eksistensi sebuah pesantren dan pengaruhnya yang luas itu tentu saja ditopang oleh mulusnya proses peralihan kepengasuhan dari generasi ke generasi berikutnya. Bukan rahasia lagi, cukup banyak pesantren yang didirikan oleh seorang kiai karismatik, namun cahaya pesantren langsung meredup begitu sang kiai pendiri pesantren tersebut meninggal dunia. Sekalipun proses peralihan tidak berjalan mulus, sebagian memang masih ada yang selamat dikarenakan fondasi sistem kepesantrenan telah terbangun dengan kukuh. Namun, lebih banyak lagi adalah yang gulung tikar atau berubah jati dirinya tidak menjadi pesantren lagi.
Catatan terakhir, jumlah 20 pesantren yang dimuat di dalam buku ini tentu saja belum cukup representatif untuk mewakili 27.230 pesantren yang ada di Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 3.759.198 orang (Kementerian Agama, 2012). Selain keterbatasan ruang, subjektivitas pemilihan pesantren-pesantren yang termuat di buku ini mungkin pula masih dapat diperdebatkan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan corak pesantren di Indonesia yang amat beragam. Tentu saja, entah disengaja atau tidak, sangat dimungkinkan ada nama pesantren lain yang seharusnya masuk ke dalam entri buku ini. Namun demikian, buku ini sangatlah bermanfaat bagi siapa pun yang ingin lebih mengenal dunia pesantren di Indonesia dengan segala dinamikanya. Wallahua’lambish-shawab.
Data buku
Judul : Pesantren-Pesantren Berpengaruh di Indonesia
No. ISBN : 9786020935157
Penulis : Olman Dahuri & Nida M. Fadlan
Penerbit: Emir (Imprint Penerbit Erlangga)
Terbit : Agustus 2015
Jenis Cover : Hard Cover
Tebal : 17.50 cm x 25.00 cm
Berat Buku : 757.20 gr
Tebal : 248 Halaman
Harga : Rp168.000 (disc. 20%)
Peresensi : Andriansyah Syihabuddin, editor buku