–Bencana yang tidak henti-hentinya merundung Indonesia dalam beberapa dasarwarsa terakhir telah menelan banyak korban jiwa, harta, dan sumber daya. Laporan UNEP, United Nations of Environmental Programe (Komisi PBB untuk pembangunan dan ligkungan hidup) memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah.
Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Kasus paling mutakhir adalah kebakaran hutan di sejumlah wilayah di Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau yang tengah berlangsung hingga kini.
Kebakaran hutan terjadi karena penggunaan api dalam pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), pertanian, dan perkebunan. Kebakaran hutan juga disokong oleh adanya global warming dan kemarau yang ekstrim.
Degradasi dan deforestasi (kerusakan hutan) menjadi ancaman yang nyata di Indonesia. Selama periode 1997-2004 Indonesia kehilangan hutan seluas 4-7 kali luas lapangan bola per-menit atau setara dengan 2-3,8 juta hektar pertahun. Departemen Kehutanan merilis bahwa selama periode 2003-2006 laju pengrusakan hutan di Indonesia mencapai 1,17 hektar per-tahun, atau 2% dari total hutan asli Indonesia. SementaraThe UN Food and Agriculture Organization mencatat angka deforestasi Indonesia periode 2000-2005 adalah 1,8 juta hektar pertahun.
Tidak mencengangkan jika Indonesia menjadi negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia, dalam rekam Guiness Book of The Record. Sedangkan gambut yang terbakar di Indonesia melepas emisi karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia.
Ironisnya, sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang dilakukan secara sengaja maupun lalai, baik oleh pelaku industri atau peladang, dan hanya 0,1% yang diakibatkan alam (petir atau larva gunung berapi).
Sejatinya, berbagai bencana yang melanda Indonesia, telah mendorong keterlibatan aktif ulama dan umat Islam, utamanya sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan pembicaraan mereka tidak hanya terbatas pada bencana di dalam negeri namun juga alam semesta secara umum. Di antaranya adalah “Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim” yang diikuti oleh para pemimpin dan ulama Muslim dari sekitar 20 negara di Istanbul, Turki, bulan Agustus lalu (17-18/8/2015) mereka sepakat tentang perlunya perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim.
Dalam deklarasi tersebut dihimbau kepada negara-negara muslim penghasil BBM fosil untuk berusaha serius melahirkan energi terbarukan menjelang pertengahan abad 21, dan menyatakan bahwa 1,6 miliar muslim turut memikul amanah menghadapi perubahan iklim. Deklarasi juga menyerukan negara-negara kaya untuk mengurangi konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih tersisa dari sumber alam yang terbarukan.
Sebelum adanya Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim, MUI telah menerbitkan fatwa yang secara spesifik memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram. MUI juga telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya Fatwa MUI No 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan; Fatwa No 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Wujud kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, hutan utamanya, juga telah lakukan olehIndonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) pada 9-12 Mei 2004. Forum yang mengusung tema “Menggagas Fiqh Lingkungan” tersebut telah merumuskan gagasan fiqh lingkungan dan mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Secara substansial fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.
Sebagaimana dinyatakan oleh Harun Nasution (1992: 542), dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.
Bahaya kerusakan lingkungan semakin masif disadari dengan munculnya beberapa ulama NU dalam Halaqah (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNKL PBNU). Program ini  memberikan tausiyah tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup (NU Advice on Forest Protection and Environment) pada tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Dalam forum tersebut ditegaskan bahwa pencemaran lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dharar (kerusakan), hukumnya dinyatakan haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Setelah mencermati fatwa para ulama dan upaya umat Islam di atas, pertanyaan yang timbul, kenapa hal tersebut nampaknya tidak efektif? Hal ini mengisyaratkan perlunya kesalehan ekologis guna menumbuhkan kesadaran kaum muslimin tentang perlunya penyelamatan lingkungan ekosistem sebagai upaya mengurangi akumulasi dampak perubahan iklim.
Esensi kesalehan ekologis, sebagaimana dinyatakan oleh Muhbib Abdul Wahab, adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan hidup manusia, harmoni terhadap alam raya, sekaligus memberikan kenyamanan dalam beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik. Dengan memiliki kesalehan ekologis, diharapkan seorang muslim hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitarnya, serta menjadikan masalah lingkungan hidup inheren dalam kepribadiannya, karena mereka juga yang akan merasakan akibatnya jika tidak bersikap saleh terhadapnya.
Kesalehan ekologis hendaknya dijadikan sebagai sistem nilai yang senantiasa dipegang oleh masyarakat muslim baik dalam dimensi ekonomi dan pendidikan, adat istiadat atau budaya setempat, serta proses politik. Inilah salah satu amanah untuk setiap muslim ekologis.
Sumber : NU Online