Pondok Pesantren Salafiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisah, karena pondok pesantren menjadi lumbung tersendiri bagi keberadaan NU hingga saat ini. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Assalafiyah.
Pesantren ini merupakan basis pertahanan ajaran dan tradisi ke-NU-an di pantai utara (pantura) Jalan Blanakan Dusun Sidamulya/Keboncau Desa Ciasem Baru Kecamatan Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat.
Pada tahun 1970-an Di dusun Karangsuwung (sekarang Karangmulya), KH. Haromain mendirikan sebuah majelis taklim yang diberi nama sama al-Ittihad. Di Majelis tersebut beliau dengan istiqomah mendidik masyarakat baik yang sudah lanjut usia, remaja, maupun anak-anak untuk mengenal agama Islam yang sesuai dengan ajaran Ahlussunah waljama’ah an_Nahdiyyah
Seiring waktu, santri yang datang dari luar Subang semakin banyak, seperti dari Kabupaten Indramayu, Cirebon, Karawang, Pekalongan, Jakarta, Lampung Barat, Lampung Selatan dan daerah lain dan dorongan masyarakat untuk mendirikan pondok pesantren.
Kemudian pada tahun 1980-an, pesantren tersebut berdiri dan diberi nama Assalafiyah, menurut penuturan Pengasuh sekaligus Pendiri Ponpes Assalafiyah, KH. Haromain kepada NUOnline,beberapa waktu lalu bahwa nama Assalafiyah mengandung makna dan tujuan, yaitu untuk mempertahankan tradisi pengajian salaf, seperti cocogan (sorogan) dan bandongan. Nama tersebut tabarukan (memohon berkah) agar kelak santri yang menjadi alumni, memiliki semangat juang dan pengabdian kepada masyarakat yang mereka tempati.
Jenjang Pendidikan Formal
Sebagaimana pesantren salaf pada umumnya, Pesantren Assalafiyah memiliki cara tersendiri agar para santri dapat membaca dan memahami kitab kuning.
Untuk kelas Ula (pemula) santri mempelajari ilmu sharaf, dengan kitab Tashrifan Kempek dan Sharaf Kempek dengan metoda hafalan. Kedua kitab tersebut yang paling dasar dalam mempelajari ilmu shorof yang dikarang salah satu ulama Indonesia, beliau KH. Umar Sholeh (W 1999) Pondok Pesantren Kempek Cirebon. Kitab tersebut sangat mudah dihafalkan karena disusun secara rapi dan bisa dilagukan dengan indah.
Kelas wustha, Pelajaran yang harus dikaji oleh para santri ialah ilmu nahwu dengan kitab Jurumiyah karya Syekh Sonhaji, Salah satu kitab dasar yang mempelajari ilmu nahwu. Setiap santri Assalafiyah yang menginginkan belajar kitab kuning wajib menghafal kitab tersebut terlebih dahulu. Karena tidak mungkin bisa memahami tanpa menghafal terlebih dahulu (alfahmu ba’dal hifdzi: faham setelah hafal), kemudian dilanjutkan dengan Kitab Mukhtashor Jiddan Jurumiyah Karya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan kitab Syarah Al-Jurumiyah karya Syekh Kholid dengan metoda klasikal.
Sedangkan untuk kelas ulya pelajarannya adalah kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, dan at-Tahrir dibarengi dengan ilmu nahwu tahap lanjut, yaitu kitab al-Fiyyah ibnu Malik.
Santri tahap takhasus, diwajibkan untuk mengkaji kitab Fathul Wahab dan kitab usul fikih Jam’ul Jawami’ dengan metode diskusi.
Dengan perkembangan zaman dan minat masyarakat terhadap pendidikan formal tanpa menghilangkan jati diri dan latar belakang metodologi tradisional salaf (Klasikal dan Kitab Kuning), Pesantren Assalafiyah Sidamulya pada tahun 2002 mulai menjalin kerja sama dengan SMP Negeri 1 Ciasem dan membuka SMP Terbuka dengan lapor dan ijazah SMP Negeri 1 Ciasem.
Kemudian pada tahun 2005 pesantren Assalafiyah terus menjalin kerjasama dengan SMA Negeri 1 Ciasem, untuk mengakomodiri lulusan SMP yang ingin melanjutkan ke SMA.
Berkat kegigihan dan ikhitar pengasuh dan pengurus Pondok Pesantren Assalafiyah, dan tidak lepas dari izin dan rida Allah SWT. SMP Terbuka Assalafiyah pada tanggal 02 Februari 2010 telah resmi menjadi SMP Reguler (SMP Mandiri) dengan nama SMP Plus Assalafiyah begitu pula dengan SMA yang dahulu kerjasama dengan SMA Negeri 1 Ciasem, sekarang sudah mandiri menjadi SMA Plus Assalafiyah.
Pada tahun 2009, Pesantren Assalafiyah membuka Sekolah Tinggi Islam (STAI) yang bekerja sama dengan STAI AI Shalahudin Al-Ayyubi Jakarta sebagai upaya untuk menjembatani lulusan SMA Plus Assalafiyah yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Jumlah santri Pondok Pesantren Assalafiyah mengalami pasang surut, sebelum reformasi memiliki jumlah 400 santri, setelah reformasi dan krisis moneter sekitar tahun 1999-2001, pesantren Assalafiyah sempat hanya memiliki 50 santri, namun setelah membuka pendidikan formal, jumlah santri meningkat pesat sekitar 600 santri putra dan putri. Seluruh siswa dan siswi yang sekolah di SMP dan SMA diwajibkan mondok di Pesantren.
Haul dan Khatmil Qur’an
Setiap tanggal 12-14 bulan Sya’ban, Pondok Pesantren menyelenggarakan haul (ulang tahun) dan khatmil Qur’an bagi santri yang telah menghatamakan al-Qur’an bin nazdar baik yang 30 Juz maupun Juz Amma. Pada acara rutinan tersebut dihadiri oleh puluhan ribu orang, yang meliputi orang tua wali, alumni dan masyarakat.
Pada bulan Ramadhan dari tanggal 21 sampai 27, pesantren mengadakan ujian al-Qur’an bagi para wisudawan khatimul Quran menggunakan bacaan imam ‘Ashim dengan riwayat imam Hafsh dan imam Syu’bah sekaligus.
Ujian al-Quran tersebut biasa dikenal dalam di Pesantren Assalafiyah dengan istilah idarohan(santri membaca al-Quran secara bergiliran)
“idarohan merupakan kegiatan rutinitas setiap bulan Ramadhan, yang diikuti oleh para santri putra dan putri yang telah diwisuda pada bulan Sya’ban kemarin” Jelas Abah Umen
“Selain itu juga, tujuan utama idarohah ialah mengajarkan dan pembacaan al-Qur’an yang memiliki sanad yang musalsal, diakui kebersambungannya hingga Rasulullah SAW. Untuk sedar diketahui saja, saya dahulu belajar Al-Qur’an dari KH Umar Kempek Cirebon, terus beliau belajar kepada KH. Muanwwir Yogjakarta dan seterusnya sampai sambung kepada Rasulullah SAW. Kalau dalam Urutannya saya urutan ke 36,” tegas pengasuh.
Adapun waktu idarohan menurut salah satu pengurus Assafiyah, Nanang Abdullah, dimulai pagi pukul07.00 s/d 11.30, sore jam 03.30 sampai berbuka puasa dan malam usai salat tarawih sampai pukul 00.00 malam.
“Dengan adanya acara haul, khatmil Qur’an dan dilanjutkan idarohan justru meningkatkan minat orang tua untuk memondokan putra-putrinya ke pesantren ini” pungas Nanang.
Sumber : NU Online