Fokus Pesantren Tanfidz Al-Qur’an

0
882

Berbicara soal ulama tanfidz Qur’an, salah satu yang menjadi rujukan adalah KH Arwani Amin Said oleh lebih dikenal dengan panggilan Mbah Arwani. Para santri yang ingin menghafal Qur’an memiliki cita-cita untuk bisa belajar di pesantren Yanbu’ul Qur’an. Banyak pula yang sudah hafal tetap ingin ngalap berkah dan nyantri di pesantren ini.

images (3)

Cikal bakal pesantren dimulai pada 1942 setelah Mbah Arwani boyong dari Pesantren Krapyak Yogyakarta tempat ia belajar di bawah asuhan KH Munawir. Ketika pulang ke Kudus, ia mengajar di masjid Menara Kudus tetapi belum memiliki pesantren sendiri. Para santrinya masih bermukim di rumah warga. Baru pada 1970 berdirilah Pesantren Yanbu’ul Qur’an di dukuh Kelurahan desa Kajeksan Kudus dengan 45 santri lalu diikuti dengan pembangunan pesantren putri pada 1973 dengan jumlah santri 33 orang.

Dengan pijakan kuat dan pengelolaan yang baik, meskipun KH Arwani telah meninggal, para penerusnya, yaitu tiga serangkai yang terdiri dari dua orang putranya KH Ulinnuha dan KH Ulil Albab dan didampingi seorang putra angkat, yakni KH Manshur MA mampu mempertahankan dan mengembangkan pesantren yang dirintisnya. Meskipun tetap fokus sebagai pesantren tahfidz Qur’an, tetapi kini ada 11 lembaga pendidikan dibawah yayasan Arwaniyah yang membekali para santri bukan hanya ilmu Qur’an, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya yang sangat dibutuhkan saat bermasyarakat.

Gus Naim panggilan akrab dari Ahmad Ainun Naim, salah satu anggota keluarga Arwaniyah menjelaskan, perkembangan sejumlah lembaga pendidikan tersebut merupakan respon pesantren terhadap permintaan masyarakat, termasuk diantaranya pesantren tahfidz untuk anak-anak setingkat SD.

Untuk bisa menghafal Qur’an lebih dari 6000 ayat bukanlah hal yang mudah. Karena itu, perlu sejumlah metode khusus untuk memudahkan hafalan. Di pesantren ini, metode yang diterapkan diantaranya adalah pertama musyafabah, yaitu  metode tatap muka. Santri atau guru membaca yang kemudian disimak. Kedua adalah metode resitasi, yaitu guru menugaskan santri untuk menghafalkan ayat tertentu kemudian setelah hafal, dibacakan dihadapan guru. Ketiga, metodetakrir, yaitu mengulang-ulang, kemudian membacakannya dihadapan guru. Selanjutnya ada metode mudarasah, yaitu para santri menghafal secara bergantian dan berurutan. Masing-masing membaca tugas hafalannya yang kemudian didengarkan oleh santri yang lain. Mudarasah bisa dilakukan per ayat, per halaman (mushaf yang digunakan adalah ‘mushaf pojok’, setiap pojok halaman adalah akhir ayat) dan (per seperempatan juz).

Metode-metode itu terbukti efektif untuk menghafal Qur’an. Gus Naim menerangkan, tahun lalu ada siswa kelas 2 SD yang sudah diwisuda karena sudah hafal 30 juz.

Gus Ainun Naim menambahkan pengelolaan pesantren tanfidz anak merupakan hal paling sulit dibandingkan dengan pesantren dewasa. Dunia anak merupakan dunia bermain dan mereka belum bisa berpikir secara matang sehingga perlu pendampingan yang penuh. Dalam hal ini, pesantren memberikan waktu bermain yang cukup buat anak-anak. Dalam waktu tertentu mereka juga diajak rekreasi ke luar. Pada kelas empat atau lima SD, sudah banyak santri yang mampu menghafal 30 juz secara baik.

“Ada target tertentu tetapi kita tidak memaksakan mereka, takut melukai emosinya,” paparnya.

Pendirian pesantren tanfidz anak ini dilakukan pada tahun 1986 untuk memenuhi permintaan para wali santri yang sebelumnya mengirimkan anaknya di sebuah pesantren Qur’an untuk anak di Sedayu Gresik. Selain mengaji Qur’an, mereka juga bersekolah mengikuti kurikulum Kementerian Agama.

Tak mudah untuk bisa masuk karena tingginya jumlah peminat bisa sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan kapasitas yang tersedia. Untuk itu pesantren melakukan test terlebih dulu, diantaranya calon santri sudah bisa baca Qur’an atau belum serta tingkat kecepatannya dalam menghafal. Dalam hal ini calon santri ditunjukkan surat tertentu kemudian diminta mengulang-ulang berapa lama ia mampu menghafal surat tersebut.

Setelah pengembangan pesantren tanfidz anak, yayasan Arwaniyah juga mengembangkan Pesantren Tahfidz Remaja Yanbu’ul Qur’an (PTRYQ) pada 1997 yang diperuntukkan bagi anak-anak yang ingin melanjutkan belajar Qur’annya. Para wali santri menginginkan pesantren remaja agar hafalan Qur’an putra-putrinya tetap terpelihara.

Untuk pesantren dewasa yang pertama kali didirikan oleh Kiai Arwani, fokus kegiatan adalah hafalan Qur’an. Ada kajian kitab kuning, tetapi sifatnya hanya tambahan. Di pesantren dewasa juga dikaji Qira’ah Sab’ah (bacaan Al-Qur’an menurut 7 imam). Salah satu rujukannya adalah kitab Faidl al-Barakat fi Sabil al-Qira’at, karangan kiai Arwani sendiri.

Gus Zaim menjelaskan, santri di Arwaniyah umumnya sudah memiliki ikatan emosional. Banyak orang tua yang mengirimkan anaknya karena sebelumnya merupakan alumni pesantren ini.

Para alumni Arwaniyah kini sudah berkembang dan menyebar dimana-mana. Kalau dulu, mereka biasanya menjadi kiai, tetapi kini dengan berkembangnya zaman. Beragam profesi ditekuni sesuai dengan minat dan kesempatan yang ada. Para alumni juga menjadi ujung tombak penyebaran metode pembelajaran Qur’an Yambu’a.

Para alumni juga masih aktif menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan pesantren melalui Mudarasah Selapanan (36 hari sekali). Untuk mudrasah selapanan tiap Jum’at pon digilir per kecamatan di Kudus bekerjasama dengan PCNU Kudus. Pertemuan rutin tahunan digelar tiap tanggal 24-25 Rabiul Akhir sekaligus memperingati haul KH M Arwani Amin.

Wallahu a’lam bis showab

Sumber : NU Online

Tinggalkan Balasan