KH Nawawi lahir di Dusun Les Padangan Desa Terusan Kabupaten Mojokerto dari pasutri Munadi dan Khalimah pada tahun 1886. Beliau lulusan Hollandsch Inlandsche School Partikelir (HIS-P) atau setingkat SD.
Semasa remaja, Kiai Nawawi pernah menjadi santri Hadratussyiakh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Selain itu, pernah menjadi santri KH Qosim Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, serta KH Sholeh Mojosari dan KH Kholil Kademangan Bangkalan.
Kiai Nawawi aktif dalam organisasi keagamaan dan pertama kali mendirikan organisasi NU di Mojokerto pada tahun 1928. Beliau juga pernah menjadi komandan laskar Sabilillah dan turun langsung memimpin pergerakan melawan penjajah di wilayah pergerakannya yakni di Mojokerto, Kedamean Gresik, Sepanjang dan Sukodono Sidoarjo.
Tanggal 10 Nopember 1945, sekutu memaksa untuk mendaratkan pasukannya, maka pertempuran pun tak terhindarkan. Seluruh Pasukan Hisbullah, dan laskar-laskar rakyat yang ada di Mojokerto berangkat ke Surabaya, menghadang masuknya kembali penjajah Belanda. Dengan berbekal senjata seadanya, dan kendaraan seadanya mereka berbondong-bondong ke Surabaya, memasuki kancah peperangan dengan modal tekat Jihad fi Sabilillah.
Sementara itu penduduk Surabaya yang sudah manula, atau masih balita dan kaum Ibu, diungsikan keluar dari Surabaya, menuju daerah sekitar di Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Lamongan dan Jombang,
Surabaya telah menjadi medan pertempuran. Meskipun laskar rakyat kalah dalam persenjataan, namun tidak mudah bagi Sekutu untuk menguasai Surabaya, karena selain memberikan perlawanan langsung dengan senjata seadanya, arek-arek Suroboyo juga melaksana-kan “gerilya” kota. Laskar Rakyat yang tidak memiliki senjata api, mulai keluar kota, mereka bertahan di Sepanjang, Waru, Porong dan Gresik.
Karena Sekutu sudah mulai menguasai wilayah perko-taan, maka daerah-daerah pinggiran mulai dihujani mortir, dan serangan udara. Mojokerto-pun mulai digunakan sebagai Pos Komando Laskar Hisbulloh. Markas Kompetai di selatan alun-alun, dijadikan Markas Hisbulloh, sedang Pos Kompetai yang berada di Timur Alun-alun digunakan sebagai Markas Sabilillah.
Saat itu KH Nawawi memimpin peperangan usai diminta Walikota Surabaya Rajiman Nasution Gelar Sutan Komala Pontas. Dalam sebuah serangan di Sepanjang, tepatnya di desa Klopo Sepuluh, K.H. Nawawi dari Laskar Sabilillah gugur dikeroyok pasukan Belanda dengan menancapkan empat tusukan pisau bayonet tepat di lehernya.
Dalam beberapa kesempatan KH. Nawawi telah berhasil merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan payung.
Jenazah KH Nawawi terpaksa dibawa melalui jalan berliku hingga akhirnya tiba di rumah KH Nawawi di Mojokerto. Sebab tentara Belanda tidak menginginkan jenazah KH Nawawi dibawa pulang menuju Mojokerto. Butuh perjuangan, karena tentara Belanda berusaha menghadang jenazah KH Nawawi agar tidak dibawa ke Mojokerto.
Kiai Nawawi gugur pada 22 Agustus 1946 sebagai syuhada’ Jenazahnya di bawa ke Mojokerto, dan dimakamkan di TPU Losari Dukuh Petak Mangunrejo Mojokerto. Untuk memperingati perjalanan dan perjuangannya, selalu diadakan napak tilas setiap tahun dari Desa Plumbungan Sukodono Sidoarjo menuju kediamannya.
Wallahu a’lam bis showab
Sumber : Moslem For All