Tiga Pencari Harta Karun

0
427

Tamsil cerita di bawah ini sudah cukup masyhur di kalangan pesantren. Dahulu ketika penulis masih di pesantren tidak jarang mendengar cerita hikmah ini, biasanya disampaikan oleh rekan peserta acarakithobahan, jam’iyahan, muhadorohan atau apapun istilah untuk nama kegiatan yang intinya ajang berlatih santri dalam berpidato.Belakangan penulis juga menjumpai kisah yang tak jauh berbeda disampaikan oleh KH. Ali Masyhuri Tulangan Sidoarjo. Meskipun banyak versi dalam kisah ini karena pada umumnya disampaikan secara lisan, tapi  substansinya tetap sama.

images (1)

Syahdan,  pada zamannya Raja Iskandar Zulkarnain, dikisahkan ada tiga orang penggembara  yang hendak mencari harta karun. Versi lain menyatakan mereka hendak mencari mata air keabadian, yang konon bila seseorang minum air tersebut ia akan bisa hidup abadi. Ketiga orang itu pun lalu pergi mengembara mengelilingi berbagai daerah demi menemukan harta karun atau mata air keabadian dimaksud.

Di tengah-tengah perjalanan, saat mereka bertiga sampai dan masuk di sebuah gua yang gelap dalam usaha mendapatkan apa yang mereka cari, tiba-tiba terdengar suara gaib seraya menyeru, “Wahai kalian bertiga. Di hadapan kalian terserak aneka pasir dan batu. Ambillah sebanyak mungkin pasir atau batu-batu itu. Nanti kalian akan menyesal begitu cahaya sudah menerangi gua, sementara kalian belum sempat mengumpulkannya. Ingat! Nanti yang mengambil banyak  akan menyesal. Yang mengambil sedikit lebih menyesal lagi. Yang sama sekali tidak mengambil, dia yang akan paling kecewa dan menyesal. Dan sudah tidak ada kesempatan lagi setelah itu.” Demikian seru suara gaib itu.

Respon tiga orang pengembara dalam menanggapi seruan suara gaib tersebut berbeda-beda. Orang pertama tanpa pikir panjang langsung mempercayainya. Dia pun segera mengumpulkan pasir dan batu hingga memenuhi kantong yang dibawanya. Sementara orang kedua dihinggapi keraguan antara percaya dan tidak, tapi dia tetap mengambil pasir meski hanya secukupnya, sebagai antisipasi barangkali anjuran suara gaib itu membawa hoki. Dan pengembara ketiga yang paling mengabaikan imbauan suara gaib tadi tidak ikut mengambil sedikitpun pasir maupun batu yang berserakan di dalam gua.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ketiga pengembara itu sudah berada di ruangan yang luas dan terang benderang. Alangkah terkejut dan kecewanya mereka. Ternyata, pasir-pasir dan batu-batu yang harus mereka kumpulkan saat dalam gua adalah batu-batu berharga: emas, perak, intan, berlian, permata, dan mutumanikam.

Begitu mereka bisa menyaksikan apa yang terjadi sejatinya, orang pertama yang meskipun tadinya merasa sudah mengambil banyak, ternyata masih tetap menyesal, ia megandaikan harusnya megambil lebih banyak lagi dari barang yang sudah dibawa. Orang kedua yang cuma mengambil sedikit merasa lebih menyesal lagi kok kenapa ia hanya mengambil sekadarnya saja, padahal sangat memungkinkan untuk mengambil lebih banyak. Tentu saja orang ketigalah yang paling menyesal lantaran tidak mendapatkan apa-apa.

Kisah di atas, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Solawat, Tulangan Sidoarjo, Gus Ali Masyhuri, hakikatnya menggambarkan dua alam kehidupan manusia: dunia dan akhirat. Kondisi gua yang gelap beranalogi dengan kehidupan dunia. Saat di dunia Allah memerintahkan manusia untuk mengumpulkan bekal amal saleh sebanyak mungkin. Sayangnya tidak semua manusia menuruti. Di akhirat kelak, Allah akan menyingkap semua tabir-tabir kegelapan itu. Tidak ada lagi rahasia. Semuanya terlihat jelas. Manusia menyesal saat melihat amalnya. Ahli ibadah menyesal, orang awam menyesal. Manusia menyesal mengapa tidak berzikir kepada Allah, padahal ketika berada di dunia begitu banyak kesempatan untuk melakukannya. Seseorang akan menyesal mengapa hanya bersedekah seribu, padahal ia sanggup bersedekah lebih banyak lagi dari itu.

Kisah di atas juga relevan dianalogikan bagi para penuntut ilmu di pondok pesantren. Antara santri atau pelajar yang tekun dengan santri yang tidak tekun sama-sama kelak akan menyesal setelah mereka pulang. Bahwa Santri yang sudah merasa tekun mengaji ketika masih di pondok, setelah pulang masih juga menyesal, ternyata menyadari banyak kekukarangan dan kelemahan atas ilmu yang selama ini diperoleh, sehingga ia membanyangkan andai waktu bisa diputar balik ia akan lebih tekun lagi dari yang dahulu. Bila yang sungguh-sungguh saja masih menyesal, maka tentu yang kurang tekun jelas lebih merasa menyesal lagi.

Begitulah kurang lebih analogi cerita ini. Walaupun hingga kini penulis belum mengetahui dari mana sumber kisah ini dirujuk, tetapi seyogianya kisah-kisah semacam ini memang patut dilestarikan sebagai salah satu bahan inspirasi agar senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi diri.

Wallahu a’lam

Sumber : NU Online

Tinggalkan Balasan