Buat anda apakah Gus Dur itu seorang Kiai, seorang budayawan atau seorang politisi?
Sewaktu menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur juga menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ini membuat sejumlah Kiai sepuh murka, “masak ketua NU ngurusi ketoprak!” Banyak yang kemudian juga terkaget-kaget ketika Gus Dur dengan enteng memimpin Forum Demokrasi dan sering mengeluarkan pernyataan mengkritik Presiden Soeharto. Sulit kemudian untuk memasukkan jimat NU ini ke dalam satu kategori saja. Tambah satu lagi, Gus Dur sangat menggemari musik klasik dan juga jago mengulas pertandingan sepakbola. Belum lagi ia rajin menulis kolom di Tempo dan Kompas. Apalagi kalau sudah ngebanyol, rasanya pelawak beneran seperti Miing Bagito aja kalah lucu sama Gus Dur.
Buat banyak orang, Gus Dur ini manusia paling aneh dalam sejarah pesantren”. Tapi keanehan itu bukan cuma dimiliki Gus Dur sendirian. Misalnya bagaimana anda sekarang memasukkan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam kategori apa? Seorang Kiai yang mengajar kitab kuning dan memberi fatwa? Seorang budayawan karena jago menulis dan membaca puisi? Seorang pelukis? Cerpenis? Kolumnis? Mantan politisi? Kiai kampung karena mengasuh pondok? atau Kiai modern karena pakai gadget dan iPad (dibaca “iped” dg gaya khas Gus Mus saat tampil di Mata Najwa)?
Sebetulnya keanehan kedua beliau itu karena kita sendiri yang aneh, yaitu memaksakan memandang orang hanya dengan satu kategori saja. Kalau seorang masuk kategori Kiai, maka kita akan merasa aneh kalau tiba-tiba Kiai mengulas musik klasiknya Mozart atau lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci. Atau misalnya ada anak muda bergaya metal yang ternyata fasih membaca Qur’an. Kita terkejut mendapati kenyataan bahwa kategori yang kita pakai untuk menilai orang lain itu ternyata terlalu sempit atau kaku.
Dengan kategori yang kaku itu pula kita akan bingung misalnya mendapati seorang profesor hukum yang ternyata di rumahnya dia jago masak. Dia tidak menganggap kemampuannya menganalisa pasal dalam undang-undang itu bertentangan dengan kemampuan dia meracik bumbu masakan. Dua-duanya bisa jalan sendiri-sendiri tanpa pernah tertukar antara pasal dan bumbu.
Begitulah kawan…sebenarnya diri kita ini sangat multi fungsi dan dapat berperan sesuai dengan kemampuan dan situasi yang kita hadapi. Dan berbagai peran itu sebenarnya saling terhubung satu sama lain. Nabi Muhammad menyadari hal ini sehingga ketika para sahabat bertanya mengenai amalan apa yang paling utama, Nabi memberi jawaban berbeda-beda tergantung konteks dan tergantung siapa yang bertanya.
Dalam satu kesempatan Nabi SAW menjawab bahwa amalan yang paling utama itu beriman kepada Allah; di lain kesempatan Nabi menjawab “al-shalatu ala waqtiha”; atau pada waktu lain Nabi menjawabnya dengan “zikrullah”. Nabi pernah pula menjawab pertanyaan yang sama dengan ” Engkau bersedekah makanan dan mengucapkan salam kepada yang kau kenal dan yang tidak kau kenal.” Suatu waktu Nabi menjawab “berjihad di jalan Allah” dan juga ada riwayat lain dimana Nabi mengatakan “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al Qur’an”.
Begitulah kawan…Nabi Muhammad tahu bahwa kondisi kita berbeda-beda sesuai dengan perbedaan peran dan kapasitas kita. Maka banyak sekali pilihan amal yang bisa kita lakukan. Tidak perlu memaksa orang lain mengikuti amalan kita; atau mencemooh karena orang lain memilih prioritas amal yang berbeda dengan kita. Semakin banyak peran yang kita jalankan, semakin banyak ladang amal yang bisa kita kerjakan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu Chrisye, “Aku tak akan bisa menjadi seperti yang Engkau minta…”
Dan hatiku berdesir menjawab, “Tapi Aku tak pernah meminta apa-apa…cukup menjadi dirimu sendiri, wahai hamba Allah!”
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Monash Law School
Sumber : Moslem For All