Memahami Hakikat Ujian Nasional

0
419

Ujian Nasional (UN) telah lama mendapat penilaian dan penyikapan dari masyarakat. Berbagai kalangan merespon keberadaan UN, yang sarat dilema. Keberadaan UN yang telah diberlakukan puluhan tahun ini, tidak serta merta menjadi pemecah bagi kebuntuan masalah pelajar di Indonesia. UN tidak menjawab substansi pokok masalah pelajar di Indonesia. Penilaian itu akhirnya berdampak pada UN tidak dijadikan satu-satunya alat penentu kelulusan. Kelulusan ditetapkan oleh sekolah sesuai standar prosedur yang diberlakukan.

IPNU sebagai organisasi pelajar Nahdlatul Ulama termasuk yang gencar mengkritik UN. UN tidak sedikit menjadi masalah bahkan ujian moral, baik bagi sekolah, guru, siswa bahkan orang tua siswa. Kritik yang tajam, akhirnya merespon pemerintah bertindak lebih hati-hati dalam menetapkan kebijakan UN. Hasilnya seperti yang disaksikan di media hari ini, UN tidak menjadi momok yang menakutkan pelajar. Namun demikian, dunia pelajar masih menghadapi ujian lain yang lebih serius. Bagaimana ujian pelajar Indonesia sesungguhnya dan apa solusi yang perlu dijalankan?

Ujian Dunia Pendidikan 

Dunia pendidikan Indonesia tidak lepas dari pelbagai ujian. UN hanya satu metode pengujian saja. Masih banyak persoalan lain, yang perlu diuji dengan pelbagai metode lain, untuk mendapatkan kesimpulan yang paling benar, apakah ujian pelajar Indonesia masih sanggup ditangani, atau perlu treatment lain yang lebih, untuk membangkitkan kemajuan pelajar Indonesia.

Harapan besar, semua generasi saat ini adalah pendidikan menjadi ujung tombak dari segala bentuk kemajuan, untuk tujuan pembangunan bangsa, yang bermoral, bermartabat, maju dan berkemajuan. Harapan besar itu berhadapan dengan tantangan serius, seperti narkoba dan penyakit masyarakat lainnya. Harapan besar ini tentu memerlukan pengorbanan yang besar pula. Jika sejauh ini pemerintah sudah mengagendakan pelbagai kegiatan untuk pembangunan, maka tugas kita menunggu hasil yang dikerjakan, namun jika tidak kunjung tampak hasil, maka tugas kita mendorong bersama-sama.

Masalah yang paling urgen adalah kompetensi dan daya saing pelajar Indonesia. Tuntunan era ini, tidak hanya sekedar secara formalitas memiliki ijazah pendidikan tinggi, tapi lebih dari itu perlu sekali standar kompetensi, yang terukur sesuai dengan matrik dan variabel yang ditetapkan pemerintah. Urgensitas masalah daya saing karena menyangkut aspek kemandirian dan produktivitas pelajar Indonesia. Jadi daya saing dan kompetensi menjadi kunci yang harus dijawab di era ini.

Ujian yang paling aktual yang dihadapi pelajar adalah kompetensi. Wajib belajar 12 tahun menghasilkan standar kompetensi yang masih belum optimal. Pelajar Indonesia masih memiliki indeks daya saing yang lebih rendah dibanding negara tetangga; Singapura dan Malaysia. Tugas kita mengejar ketertinggalan, dengan terobosan dan inovasi di dunia pendidikan.

Ujian Pelajar Indonesia

Ujian Nasional yang berlangsung sejak kemarin (tingkat SMA/SMK 4-6 April dan tingkat SMP/Sederajat 9-12 Mei 2016) adalah ujian kecil bagi pelajar Indonesia. Ujian nasional sudah tidak menjadi penentu. UN hanya dijadikan alat ukur bagi kemajuan dunia pendidikan. Jika sudah terukur dan sudah diketahui hasilnya, apakah dunia pelajar kita sudah selesai menghadapi tantangan eranya? Insan pendidik dan para pelaku pendidikan perlu memperhatikan serius.

Ujian nyata bagi pelajar Indonesia adalah masalah akses yang terbatas, sarana yang kurang memadai, serta tidak adanya dorongan masif dari berbagai pihak, sehingga pendidikan di Indonesia menemukan model yang paling optimal. Model yang sejuah ini dipakai masih model pendidikan barat, atau bahkan model negara lain sekalipun. Ujian nyata pelajar Indonesia ini pada ahirnya tidak terjawab dari masa ke masa, sehingga dunia pendidikan berotasi namun tidak mengalami perkembangan dari skala proyeksi. Tujuan utama menghasilkan manusia Indonesia yang bekarakter unggul, pada ahirnya menjadi utopia, karena pada saat yang sama akses mereka terbatas.

Jika pemerintah hendak menjamin kebutuhan dasar, berupa sandang, pangan dan papan serta kesehatan melalui sistem BPJS yang dibangun, maka dunia pendidikan juga mengharapkan pada jaminan pelajar Indonesia, untuk dapat menikmati pendidikan dasar menengah, bahkan hingga pendidikan tinggi secara terjamin. Inspirasi sejenis kartu pintar, yang terbit dibeberapa Pemprov dan Pemda  adalah inisiatif yang sangat baik. Sistem ini bisa kita lirik sebagai bagian penting dalam rangka memberi garansi bagi pelajar Indonesia untuk mendapat akses yang mudah pada sarana belajar dan buku di pelbagai perpustakaan.

Pelajar Indonesia masih membutuhkan akses dan sarana yang memadai, yang dapat mendukung potensi dan pengembangan pribadinya. Jika saat ini konsen pemerintah masih pada taraf wajib belajar 12 tahun (atau setara jenjang SMA/SMK/MA), maka pemerintah masih punya tugas menjembatani pelajar Indonesia hingga ke jenjang pendidikan tinggi, yang murah, terjangkau dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan tantangan pelajar Indonesia yang dihadapkan pada era kompetisi global yang sangat pelik. Jika pendidikan tinggi dapat dikembangkan dengan masif, dan pelajar Indonesia diberi kemudahan dalam mengakses pendidikan tinggi, maka tidak mustahil daya saing pelajar Indonesia akan meningkat sehingga siap berkompetisi di manapun.

Hakikat Ujian

Optimisme harus terus tumbuh walau dalam keterbatasan. Jika pendidikan formal tidak menjembatani masalah, maka pendidikan non formal akan melengkapinya. Pada titik tertentu, akan lahir model baru pendidikan yang berbasis pada kompetensi, namun tidak asal-asalan. Pendidikan yang benar-benar mendorong keinginan pelajar Indonesia untuk maju lewat dunia pendidikannya. Bukan dunia pendidikan yang membebani apalagi justru menjadi masalah bagi pelajar sendiri.

Semua tidak bisa dilimpahkan ke pemerintah selaku otoritas pemangku kebijakan bidang pendidikan. Namun, semua lapisan masyarakat perlu ikut bertanggung jawab terhadap masalah pelajar di Indonesia. Hal yang paling diharapkan adalah pendidikan dapat menjadi alternatif bagi pemecah masalah dan persoalan di masyarakat. Pendidikan bisa diharapkan menjawab tantangan masyarakat, menciptakan kader-kader unggul yang baru, yang tidak lepas dari masalah akarnya.

Pelajar Nahdlatul Ulama adalah bagian dari kalangan pelajar Indonesia. Pelajar NU sejauh ini terlibat dalam pengembangan SDM Indonesia pada ranah non-formal. IPNU membentuk jaringan, melakukan kaderisasi dan membangun sistem distribusi, untuk mencapai peningkatan SDM yang berkualitas di semua sektor. Harapannya, tentu semua terlibat dalam pemecahan masalah dasar pendidikan. Hingga pada masanya nanti daya saing meningkat dan kita menjadi kiblat bagi pengembangan SDM melalui pendidikan dan model pendidikan yang ada. Kuncinya semua harus terlibat membangun pendidikan.

Jika pelajar berhasil menghadapi tantangannya sendiri, pemerintah akan lebih mudah membentuk karakter, kepribadian dan kompetensi yang hendak dicapai. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah sepanjang masa, yakni menuntaskan agenda mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai mukadimah UUD 1945. UN hanya bagian kecil dari assement pendidikan, uji pendidikan sesungguhnya adalah ketika generasi pelajar ini terjun di masyarakat, apakah para pelajar ini akan menyelesaikan masalah di masyarakat, atau justru menjadi masalah bagi masyarakat itu sendiri. [NU]

 

Tinggalkan Balasan