Tradisi Ruwahan Dalam Pandangan Islam

0
1586

Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yg dilestarikan sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan. Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yg berkaitan dengan pengiriman arwah orang-orang yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbul rasa terima kasih. Oleh karena itu, jika bulan Ruwah tiba pasar-pasar tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan, diantaranya beras, bumbu dapur, lauk semuanya laris untuk kebutuhan selamatan Ruwahan.

Yang patut dipahami bahwa doa dari org yg hidup kepada org yg mati itu bermanfaat. Dalil yg mendukungnya adalah firman Allah,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yg dapat diberikan oleh org yg masih hidup kepada org yg sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yg ditujukan pada org yg masih hidup dan org yg telah meninggal dunia.

Dari Ummu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yg mustajab (terkabulkan). Di sisi org yg akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yg bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim).

Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti suatu adat kebiasaan yg diturunkan oleh nenek moyang yg masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, sesuatu yg dianggap bermakna baik atau luhur sampai dengan saat ini. Nah, demikian pula untuk tradisi Ruwahan. Tradisi ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan/mandi. Dalam tradisi tersebut yg diagungkan adalah roh nenek moyang dan para dewa.

Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai2 luhur yg sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah krn Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dsb.

Dalam ajaran para wali songo tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misal :

1. Tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kpd datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.

2. Tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yg shaleh kepada ortunya, sebagai amal yg tak putus2 (birul walidain).

3. Bersih desa, lebih menitik beratkan kpd kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?

4. Kenduri dan megengan (kirim2 hantaran makanan; yg di tradisi Aceh harus dengan daging = “meugang”) adalah manifestasi dari paktik do’a bagi semua keluarga sanak saudaranya yg masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yg suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

5. Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yg kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yg indah dan yg baik dari diri mereka yg telah mendahului.
6. Mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.

Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yg masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat). Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yg bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak2 dan keluarganya, misal untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yg baru, kitab Qur’an yg baru, dan kain2 untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan2 kebutuhan selama awal2 minggu di bulan puasa. (Masih ingat kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)

Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol2, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :

1. Ketan yg lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,

2. Kolak yg manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan, dan

3. Apem berarti jika ada yg salah maka sekiranya bisa saling memaafkan. Apem dari kata afwan minhum (arab) yg berarti kata maaf dari mereka. Bahkan di beberapa tempat yg mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Mudiknya org Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yg dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

Nah, begitu kiranya dasar pelaksaan tradisi ruwahan tersebut dalam kaca mata islam. Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat kan bahwa kunci dari semua amalan adalah NIATNYA?

Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Beberapa faedah fikih yg bisa ditarik:

1. Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yg tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yg tertidur dan gila. Sedangkan orang yg berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Oleh karenanya, Ibnu Qudamah mengatakan,

لو كلَّفنا الله عملاً بلا نيَّة لكان من تكليف ما لا يُطاق

“Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yg tidak dimampui. [Kitab Dzammul Muwaswisin karya Ibnu Qudamah, hal. 15].

2. “Setiap orang akan mendapatkan apa yg ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala sesuai kadar niatnya. Jika niatannya baik, maka diganjar dengan kebaikan. Sebaliknya, jika niatannya jelek, diganjar pula dengan kejelekan.

3. Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Niat tidak perlu dilafazhkan untuk amalan apa pun berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’). Sebagian ulama Syafi’iyah belakangan menganjurkan melafazhkan niat.

4. Niat ada dua macam: (1) niat amalan, (2) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut.

Niat amalan ada dua fungsi: (1) membedakan ibadah dan non-ibadah, (2) membedakan ibadah yg satu dan ibadah lainnya.

Sedangkan yg dimaksud dengan niat jenis kedua adalah niat tersebut ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yg dimaksud dengan niat yang ikhlas.

5. Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya.

6. Jika manusia dalam keadaan udzur untuk beramal, ia akan tetap diganjar. Karena seandainya ia tidak ada udzur atau halangan, tentu ia akan beramal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya amalan seperti ia dalam keadaan mukim dan sehat” (HR. Bukhari no. 2996).

7. Jika berbeda antara yg diucap dengan yg diniatkan dalam hati, maka yg jadi patokan adalah niatan di hati.

8 Masalah niat pada masuk dalam setiap bab fikih karena niat adalah syarat untuk setiap amalan. Sehingga sebagian ulama berkata,

لو صنَّفتُ الأبوابَ ، لجعلتُ حديثَ عمرَ في الأعمالِ بالنِّيَّةِ في كلّ بابٍ

“Seandainya aku menulis berbagai bab, maka aku akan jadikan hadits ‘Umar ini di awal setiap bab.” Inilah perkataan ‘Abdurrahman bin Mahdi sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab Jami’ul wal Hikam.

Oke kalau begitu, kita harus bisa membedakan mana yg termasuk niat (ibadah) ruwahan dan mana tradisi dan budaya (non ibadah) yang hanya menjadi simbol atau kiasan dari sebuat amalan ibadah seperti kue apem, kolak dan ketan yang telah saya sebutkan diatas, dan mari kita sambut Ramadhan dengan suasana yang lebih maju dan modern lagi. Yuk beli ipad atau gadget lain untuk memudahkan menghafal Qur’an, minimal Juz Amma lah. Atau beli Quran yg lengkap dengan terjemah per-kata dan asbabun nuzul dan haditsnya yg sesuai. Hantaran ke tetangga pakai Bebek Goreng pak Slamet, gudheg Yu Jum, atau Kepiting Cak Gundul pun boleh. Yang penting, lillahi taálla. Bukan begitu bro?

Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamamini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin

Kajian tersebut kami kutip dari fb Asimun Ibnu Mas’ud

=======

Seperti diketahui Tradisi ruwahan dan nyadran biasanya dilakukan oleh penduduk desa pada bulan ruwah /sya’ban. Di masyarakat Jawa seperti Magelang dan Yogyakarta biasanya pada bulan Sya’ban setiap hari mereka bergantian keliling rumah melakukan tahlilan dengan mendoakan arwah leluhurnya yang telah terlebih dulu menghadap sang pencipta. Biasanya tahlilan mendoakan arwah leluhur di pimpin oleh ulama/kiai setempat dan diikuti oleh jamaah pengajian.

Lain di Yogyakarta lain juga didaerah lain. Tradisi ruwahan di Kabupaten Demak dan sekitarnya dalam menghadapi bulan sya’ban /ruwah biasanya masyarakat demak melakukan bacaan Alqur’an hingga khatam disebuah kuburan. Dan sebelum pembacaan alquran dimulai biasanya kiai setempat mengkhususkan pahala pembacaan alquran tersebut dihadiahkan kepada semua ahli qubur yang ada di kuburan tersebut. Setelah pembacaan alquran selesai, masyarakat desa bersama-sama kekuburan membaca tahlil bersama dengan dipimpin oleh seorang kiai untuk semua arwah keluarga jamaah yang hadir di tempat tersebut. setelah tahlil berjamaah selesai biasanya diisi dengan pengajian dengan mendatangkan kiai dari daerah lain.

(KBAswaja/Enka)

Sumber : Moslemforall.com

Tinggalkan Balasan