anaaakkk
assambayangko nutambung
pakajai amalkanu
mateko sallang
nanu sassalak kalennu
Kalimat-kalimat tersebut dinamakan kelong atau syair pengantar tidur atau meninabobokan bayi-bayi Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan. Makna dalam bahasa Indonesia syair itu adalah “tegakkanlah shalat terus menerus/perbanyak amalmu/kelak engkau wafat/dan engkau menyesali dirimu”.
Menurut sastrawan Makassar, Chaeruddin Hakim, ketika Islam datang ke wilayah Sulawesi, disebarkan oleh para ulama sekitar abad ke-13 Masehi, salah satunya melalui jalur kesenian, di antaranya melalui kelong tersebut. “Islam disampaikan tidak dengan Al-Qur’an terlebih dahulu, tapi dengan lokal genius, melalui alat musik dan sastra tutur atau kelong,” katanya.
Kelong, lanjut dia, adalah ungkapan-ungkapan tetua. Kelong (dalam bahasa Bugis elong) semakna dengan passang. Dalam bahasa indonesia artinya pesan atau amanat. Amanat tetua Islam tentang shalat, zakat, haji, puasa, disampaikan dengan cara seperti itu.
Sampai saat ini umumnya kelong bersifat anonim. Namun demikian, terdapat beberapa naskah manuskrip dengan huruf Lontara yang di dalamnya banyak terdapat kelong. Ketika sampai ke masyarakat, pengarangnya sudah tidak diketahui.
“Kelong itu dibacakan kepada anak-anaknya ketika mau tidur, dininabobokan, sambil diayun. Kalau di Makassar namanya eya eya oo. Kalau di Bugis namanya ejabelale. Syair-syairnya hampir sama yaitu harapan dan doa,” jelasnya.
Dari segi bentuk, ada yang kelong agama yang berisi ajaran-ajaran atau pesan, ada juga kelong simpung pa’mai’ (syair bersedih hati). Tapi masih ada jenis-jenis yang lain.
“Saya menekuni kelong sejak SMA tahun 80 sampai ke sekarang. Skripsi dan tesis serta rencana disertasi, pernah terdaftar di S3 Unes Semarang, tapi belum dilanjutkan, semua tentang kelong. Saat ini aktif sementara mendokumentasikan naskah-naskah sastra tutur yang tersebar atas biaya sendiri,”
Ketika ditanya kenapa menarik dengan kelong, bagi Chaeruddin, karena terdapat nilai-nilai religiusitas keislaman dan ajaran moral secara universal sehingga dapat dijadikan salah satu media dakwah alternatif. Dan ia memilih jalur itu sebagai dakwah.
Tapi sayang, para orang tua sekarang sudah sangat jarang meninabobokan anak dengan. Di antara penyebabnya, arsitektur rumah dan kebiasaan orang tua yang tidak lagi membuat ayunan untuk anak-anaknya.
“Kalaupun diayun sudah tidak lagi diiringi kelong. Salah satu penyebabnya karena penyebaran kelong dari generasi tua ke generasi muda tidak simultan.”
eyaa eyaa eyaa oo, eyaa eyaa eyaa oo (aduhai, aduhai)
tutuko maklepa lepa, anaaak (hati-hatilah berdayun sampan, anakku)
makbiseang rate bonto (berperahu di atas pematang)
tallangko sallang (KELAK engkau tenggelam)
nana sakkoko alimbukbuk (dan tersedak debu) (Abdullah Alawi)
Sumber : NU Online