Harta Karun Nusantara

0
468

erma “harta karun” tentunya sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Dan biasanya, istilah tersebut seringkali dipahami sebagai benda berharga nan tak ternilai oleh apapun, yang mana sudah lama sekali terpendam dan tak muncul lagi dipermukaan. Kalau Anda pernah menonton film Jack Sparrow, maka akan Anda temukan betapa sulitnya seseorang yang ingin mendapatkan harta karun tersebut. Mereka harus rela menyeberangi lautan, menantang badai, dan tak jarang berhadapan dengan kematian. Semua itu tak lain adalah demi mendapatkan harta Karun tersebut.

Lalu kira-kira, apa maksud terma “harta karun” jikalau kita sandingkan dengan kata “Nusantara”? Mungkin secara sekilas, yang terbersit dalam benak kita adalah segala kekayaan alam bumi Nusantara yang masih perawan dan belum terjamah oleh tangan-tangan jahil kaum kapitalis matrealis itu. Memang tak bisa kita pungkiri bahwa kekayaan alam Nusantara yang melimpah ini merupakan salah satu “harta karun” Nusantara kita yang sangat luar Biasa dan harus kita syukuri, tapi juga perlu kita ingat, bahwa di sana ada harta karun lain yang nilainya lebih tinggi, lebih berharga dan bahkan akan selalu kekal dikenang oleh masa. Apakah harta karun itu?

Harta karun tak lain adalah buku-buku (kitab-kitab) yang merupakan hasil pergulatan intelektual dialektik para ulama Nusantara yang sangat panjang dan tentunya sangat melelahkan sekali. Kenapa saya katakan intelektual dialektik? Sebab para ulama kita di Nusantara ini tidaklah hanya mengutip, meringkas dan menjabarkan saja, akan tetapi juga melakukan kontekstualisasi khazanah keilmuan Islam yang sangat luas itu dengan alam Nusantara di mana mereka hidup, berkeluarga dan mengembangkan dakwah Islam di situ.

Para ulama Nusantara itu—rahimahumullah—tidak lantas menafikan ilmu-ilmu yang sebelumnya sudah bertempat dan ada terlebih dahulu di alam Nusantara kita, untuk kemudian menggantikannya dengan segala hal yang ada dalam kitab-kitab klasik ulama salaf yang tentunya ditulis guna menjawab tantangan era dan masanya sendiri. Tetapi para ulama Nusantara itu berusaha untuk mendialogkan kembali ajaran-ajaran para salafus shalih, untuk kemudian diolah, diramu sehingga memunculkan hasil ijtihad-ijtihad baru yang lebih bersifat Nusantara.

Kitab-kitab karya ulama Nusantara itu adalah harta karun berharga yang kekal sepanjang masa, sebab yang namanya pemikiran itu tidak akan pernah sirna. Bahkan ia akan selalu berkembang dan berkembang saat dikaji kembali, sebagai bahan sintesa untuk menemukan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan konteks kekinian. Hal itu tentunya sangat berbeda dengan harta karun Nusantara lainnya yang berupa batu bara, minyak dan lain-lain. Sebab semakin digali, maka akan semakin habis dan ujung-ujungnya akan hilang sirna.

Namun, yang sangat disayangkan adalah terabaikannya kitab-kitab karya ulama Nusantara tersebut. Banyak orang sekarang yang mengira bahwa karya-karya ulama Nusantara adalah pemikiran pinggiran yang bersifat lokal, sehingga tidak cocok jikalau kemudian digunakan sebagai rujukan guna menjawab problematika kehidupan modern yang kompleks dan global. Padahal kalau kita mau jujur, hampir sebagian besar teks-teks Al-Qur’an itu pun diturunkan berdasar pada asbab nuzul tertentu—walaupun tidak semua ayat Al-Qur’an turun atas sebab tertentu—yang pada konteks tertentu pula. Sehingga problem-problem yang diketengahkan oleh sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu lebih bersifat parsial (juz’i), bukan universal (kulli). Tetapi hal itu tidak lantas menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang bersifat lokal. Dan ulama pun tidak kalah cara guna mengatasi problem itu. Ada kaidah-kaidah Ushul/Tafsir yang menjawab masalah-masalah itu. Semisal kaidah “Al-ibrah bi ‘umumi-l-lafdzi la bi khushusi-s-sabab, masaliku-l-‘illah, dan seterusnya. Semua itu tak lain adalah guna membuktikan keuniversalan ajaran Al-Qur’an. Pola yang sama juga bisa kita terapkan dalam memahami turats ulama Nusantara yang menjadi harta karun berharga milik bangsa Indonesia dan Nusantara pada umumnya.

Nah, melihat kondisi kitab-kitab peninggalan (turats) ulama Nusantara yang terpinggirkan itu, salah satu teman saya—Gus Nanal—merasakan keprihatinan yang mendalam. Beliau berusaha untuk mengumpulkan karya-karya ulama tersebut, satu persatu, lalu dengan penuh kesabaran beliau mendigitalkannya dengan menjadikannya dalam bentuk file PDF. Lalu dengan ikhlas beliau membagikan hasil pendigitalan itu kepada teman-temannya, entah melalu akun facebook, blog, dan lain-lain. Semua itu tak lain adalah guna menjaga turats ulama Nusantara yang sangat melimpah tersebut. Tentunya itu bukanlah pekerjaan ringan, bahkan sangat berat dan membutuhkan kegigihan serta kesabaran yang super luar biasa.

Filosofi yang dijadikan rujukan oleh Gus Nanal adalah bahwa sesuatu yang dijaga oleh orang banyak, tentunya akan lebih aman terjaga daripada dijaga hanya oleh segelintir orang saja. Oleh karenanya, setelah melakukan digitalisasi, beliau tak segan-segan untuk membagi-bagikan hasil perkejaan melelahkannya itu kepada khalayak ramai, sebab tujuan utamanya tak lain adalah untuk menjaga warisan tadi. Lalu, sebagai kelanjutan upaya untuk menjaga, mengembangkang, menyebarkan dan bahkan mengenalkan kembali Turats ulama Nusantara tersebut, Gus Nanal akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang sudah berbadan hukum, dengan nama Turats Ulama Nusantara atau yang biasa disingkat dengan “TUN” saja.

Organisasi ini mempunyai beberapa program penting yang sangat banyak dan beragam. Di antaranya adalah dengan mencetak kembali kitab-kitab karya Ulama Nusantara, sehingga bisa dikenal kembali oleh masyarakat Indonesia secara khusus dan dunia Islam secara Umum. Dan tentunya ini bisa menjadi salah satu upaya untuk mensuarakan “Islam Nusantara” sebagai representasi wajah Islam yang membawa pesan rahmat, dan juga mengenalkannya ke ranah yang lebih global. Sebab buku-buku tersebut pada akhirnya akan dikonsumsi tidak hanya oleh orang-oran indonesia, tetapi juga luar Indonesia, paling tidak se-Asia tenggara. Dalam waktu dekat ini, lembaga TUN akan mengadakan pameran kitab-kitab ulama Nusantara, tepatnya di kota kretek, Kudus, bersamaan dengan acara 1 abad Madrasah Qudsiyyah.

Kenapa harus karya ulama Nusantara? Apa tidak cukup kitab-kitab ulama salaf? Ini bukan masalah cukup atau tidak cukupnya, tetapi perlu kita pahami bahwa setiap karya memiliki konteksnya masing-masing. Dan tentunya karya-karya ulama Nusantara akan lebih cocok jikalau digunakan menjawab problematika yang terjadi di Nusantara juga. Salah satu contoh riil-nya adalah kitab “Al-Belut” buah karya Syaikh Mukhtar Athorid al-Bughury.

Walhasil, upaya yang dilakukan Gus Nanal ini layak—dan bahkan harus—didukung oleh semua pihak, utamanya adalah insan pesantren. Karena tentunya sebuah upaya baik akan lebih mudah terlaksana jikalau diangkat dan secara bersama-sama dibawa oleh semua pihak. Bukankah ada sebuah adagium yg menyatakan bahwa manusia itu kuat dengan yang lain, dan lemah dengan dirinya sendiri, kawan? Semoga bisa, wallahu a’lam.

Penulis adalah pengaji naskah ulama Nusantara

Sumber : Nu Online

Tinggalkan Balasan