Dr. Fathiyu al-Daroiny mengatakan, bahwa terdapat dua hal dalam pensyari`atan hukum, pertama; mabda’ (prinsip dasar dan tujuan utama) dan kedua, Tathbīq (bentuk dan operasional). Jika bentuk operasional tidak bisa diaplikasikan disebabkan faktor lingkungan dan realita yang ada, maka disinilah fungsi dari mabda` berbicara (al-Manāhij al-Ushūliyah, hal. 35).
Dua hal tersebut inilah yang menjadi titik temu dimana terdapat keselarasan prinsip dasar (maqosid as-syari’ah) antara Fiqih jinayah dalam Islam dan hukum pidana di Indonesia. Aturan-aturan yang terdapat dalam Islam ataupun negara adalah memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kedamaian antar umat manusia. Walau tidak diambil dari nash-nash al-Qur`an maupun al-Hadits, namun hukuman tindak pidana di Indonesia sudah selaras dengan prinsip dasar yang ditetapkan dalam fiqih jinayah.
Pembahasan lebih lanjut, Hukum Pidana Islam dibagi dua macam: Pertama,`Uqūbah Nashshiyah, pidana yang telah ditegaskan atau ditetapkan dalam al-Qur`an dan hadist, yaitu had, qishos dan kafarat. Kedua, `Uqūbah Tafwīdliyah, pidana yang tidak ditetapkan dalam nash dan bentuk atau jenis sanksinya diserahkan kepada pemerintah atau penguasa, yaitu ta’zir. Penentuan sanksi hukuman ta`zir, baik jenis bentuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus tetap mengacu kepada maqōsid al-syarī`ah dan kemashlahatan umum. Syara’ hanya memberikan prinsip-prinsip umum yang harus ditegakkan dalam pemberian saknsi.
Dalam konteks negara Indonesia peraturan-peraturannya dikenal dengan istilah hukum Positif (al-Qonūn al-Wadh`iy). Dari sini, hukum Positif merupakan produk (hasil pemikiran) manusia untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat temporal dan kasuistik. Tujuannya tak lain biar nuansa kehidupan ini senantiasa harmoni. Adanya sanksi ini, menjadi sebuah keharusan demi menjaga stabilitas kehidupan manusia dalam Interaksi sosial, hubungan antar personal ataupun pribadi yang berakibat pada tatanan kemasyarakatan. Dengan sanksi yang jelas dan berlaku mengikat terhadap semua komponen masyarakat, tanpa terkecuali (Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyāsah al-Syar`iyah, hal.225).
Negara Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan. Hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi.
Mengenai problem belum teratasinya berbagai kasus yang terjadi, utamanya tentang korupsi dan semakin meningkatnya para penjilat uang negara tidaklah serta merta menyalahkan hukum yang berlaku dan menuntut adanya amandemen secara menyeluruh. Hal paling utama adalah bagaimana supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan dijalankan. Para penegak hukum, baik hakim maupun polisi harus menangani kasus korupsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai “virus” yang menjangkit negara ini malah menular kepada mereka, dan jangan sampai “kongkalikong” jual-beli hukum semakin menyebar dalam tubuh mereka. sehingga menodai simbol yang melekat padanya sebagai “penegak supremasi hukum”.
- Imam Syafi’i, M.H (Alumni Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pengajar di Ma’had Aly Zainul Hasan & Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong Probolinggo)