Semua apa yang dilakukan manusia pasti memiliki nilai atau konsekwensi. Jika yang dilakukan perbuatan baik pasti bernilai dan berkonsekwensi baik. Sebaliknya, jika keburukan yang dilakukan akan mendapatkan nilai dan konsekwensi buruk.
Perbuatan ini tentu tidak hanya perbuatan yang terjadi di alam nyata, di alam maya atau yang sudah lumrah disebut sosial media pun juga ada nilai dan konsekwesinya. Begitu juga dengan nilai pahala, tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik di alam nyata seperti shalat atau baca Alquran, dzikir dan solawatan di masjid.
Bahkan orang yang membaca Alquran, dzikir, ngaji kitab dan solawatan yang direkam melalui video atau audio lalu diposting di sosial media juga bernilai pahala. Prinsipnya, kebaikan apapun dan di mananpun yang dilakukan akan bernilai baik dan berpahala.
Sebaliknya, jika perbuatan buruk yang dilakukan, semisal melakukan keburukan di sosial media dengan membuat status, komentar atau share yang mengandung unsur fitnah akan berkonsekwensi buruk. Jika fitnahnya merusak nama baik orang lain akan dituntut dan bisa dihukum.
Ini sebagai bukti bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia meski di sosial media, memiliki nilai dan konsekwensi. Sebagaimana menurut ulama ushul fiqh, merupakan kesepakatan para ulama bahwa setiap apapun yang muncul dari manusia baik berupa ucapan atau perbuatan ada konsekwesi hukum. (Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 11)
Oleh sebab itu, sosial media sudah menjadi bagian hidup manusia harus dijadikan media untuk melakukan kebaikan. Mungkin bisa dikatakan, sosial media bagian terbesar dalam hidup manusia di zaman 4.0. Karena manusia saat ini tidak bisa lepas dari yang namanya gadget yang isinya sosial media. Aktifitas sehari-hari sudah lebih banyak bersentuhan dengan sosial media.
Orang bekerja atau berbisnis sudah menggunakan alat komunikasi sosial media. Pun demikian, belajar agama sekarang lebih marak melalui sosial media. Karena konten agama saat ini sungguh luar biasa banyaknya. Setiap detik pasti ada konten agama yang muncul di beranda akun sosial media kita.
Dengan mudahnya belajar agama dan banyak konten agama yang kita dapatkan di sosial media, maka kita sudah seharusnya setiap detik mendapatkan pahala. Caranya sangat mudah, cukup dengan berbagi konten agama melalui klik “share” sudah mendapatkan pahala.
Namun tentu, tidak semua konten agama yang bisa mendapatkan pahala. Kita harus cerdas menyaring untuk sharing konten agama yang tersebar di sosial media. Yaitu konten agama yang disampaikan oleh seorang ‘alim (memiliki kapasitas ilmu-red). Ngeshare apa yang disampaikan oleh seorang ‘alim akan bernilai pahala.
Sebagaimana yang disampaikan Gus Baha pada acara ngaji bareng di Ma’had Aly Sukorejo Situbindo, “Kalau yang saya ngajikan itu baik, yang mendapatkan pahala yang menterkenalkan saya itu. Mungkin karena mereka tidak bisa mendapatkan pahala lewat ‘alimnya, ya sudah ngeshare saja”.
Share konten seorang ‘alim yang bernilai pahala, tentu tidak sembarangan siapa orang ‘alim itu. Artinya, kita harus melihat siapa orang yang menyampaikan konten agama. Jika ternyata kontennya mengandung unsur fitnah, caci maki, menghina, suka mngklaim, suka menyalahkan, suka ngadu domba maka kita tidak boleh share konten tersebut. Bukan pahala yang kita dapatkan malah dosa.
Jika ada yang tanya, “Tapi kan yang berbicara itu seorang ustadz dan berdasarkan Alquran dan Sunah juga”. Ya, dia dipanggil atau diberi gelar ustadz, tapi apakah dia ‘alim?…Ya, dia bisa mengucapkan ayat Alquran dan hadits, tapi apakah dia sendiri paham maksud ayat dan haditsnya? Jangan-jangan dia hanya hafal satu dalil saja dan dari buku terjemahan pula.
Kalau kita sebagai santri, yang di-share konten dari kiainya. Kalau kita orang NU, ya konten dari ulama NU yang di-share. Kalau kita masyarakat ‘awam maka konten dari ustadz, habib, kiai atau ulama yang pahamnya ahlussunnah wal jama’ah. Jangan sampai share konten dari ustadz yang isi kontennya suka membid’ahkan, menyalahkan, menyesatkan dan memecah belah persatuan kita. Orang ‘alim itu tidak akan menyampaikan sesuatu yang membuat orang yang mendengarnya menjadi membenci orang lain. Itu prinsipnya orang ‘alim. Karena yang disampaikan oleh orang ‘alim pasti demi kebaikan untuk semuanya. Terutama menyampaikan dakwah Islam, pasti menunjukkan Islam itu mudah dan menyenangkan. Inilah orang ‘alim. (laduni)